PRESIDEN SOEHARTO:
SOLIDARITAS SOSIAL PERLU BAGI PEMBANGUNAN [1]
Jakarta, Angkatan Bersenjata
Dalam masyarakat yang sedang membangun maka rasa solidaritas sosial sangat perlu: sebab masyarakat yang merasa dirinya terikat dalam kesatuan dan memiliki rasa senasib akan mampu menghadapai tugas2 bersama yang besar.
Tugas2 pembangunan itu kini masih terbentang luas didepan kita, demikian sambutan Presiden Soeharto selesai sembahyang Idul Fitri bersama puluhan ribu ummat Islam di Mesjid Istiqlal Selasa pagi.
Menurut Presiden solidaritas sosial itu berpangkal tolak dari rasa persaudaraan yang satu. Karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama. “Beda manusia yang satu dengan yang lain hanyalah ditentukan oleh iman dan amalnya”, demikian ditegaskannya. Menyinggung arti penting dari pada ibadah puasa.
Presiden berpendapat bahwa berpuasa adalah menjadikan manusia lebih taqwa dan tunduk kepada Tuhan “Tunduk karena sadar bahwa dihadapan Tuhan manusia itu sesungguhnya sangat kecil artinya”.
Dengan perasaan ini telah mendorong manusia untuk tidak berbuat secara berlebihan baik kekayaan, pangkat atau kedudukan. “Kecil dihadapan Tuhan membuat kita mengembalikan segala2nya kepada kekuasaanNya.
Artinya dalam menghadapi sukses kita bersyukur dalam menghadapi kesulitan kitapun mengembalikan-Nya sebagai cobaan,” demikian menurut Presiden.
Dapat Pulihkan Persatuan
Pada kesempatan itu Presiden juga mengupas makna dari pada hari Idul Fitri, dimana ummat Islam saling kunjung mengunjungi dan saling bermaafan. Meminta maaf kepada orang lain atas kesalahan sendiri mengandung pelajaran untuk terus menerus mawas diri. “Suatu hal yang sangat perlu bagi bangsa yang sedang membangun”.
Lebih lanjut kepala Negara menegaskan arti lain dari pada kebiasaan silaturahmi dan maaf itu ialah pulihnya kembali persatuan ummat dari kemungkinan timbulnya retak2 diantara sesama bangsa Indonesia selama setahun yang lewat. Persatuan ummat ini juga sangat Penting artinya bagi kelangsungan hidup bangsa kita. Lebih2 sebagai bangsa yang sedang membangun demikian Kepala Negara.
Akhirnya Kepala Negara menyampaikan permintaan maafnya atas kehilafannya baik sebagai pribadi maupun dalam memimpin bangsa. Hadir pada sembahyang Idul Fitri di Mesjid Istiqlal para Menteri Kabinet Pembangunan. Ketua MPR DPR Idham Chalid para Dubes Negara Islam serta puluhan ribu ummat Islam. Jalannya sembahyang Idul Fitri tahun ini nampak lebih tertib dibanding tahun2 yang lalu. Sebelum itu telah memberikan khotbah Idul Fitri Menteri Mukti Ali selaku khotib. Sedangkan K.H. Mohammad Assiry bertindak sebagai imam.
Perlu Dipikirkan Cara Baru
Sementara itu Menteri Agama Prof. Mukti Ali menegaskan bagi umat beragama dalam masalah zakat ada beberapa hal2 yang perlu diperhatikan dan diperuntukan bagi fakir miskin dan orang yang berhak menerima zakat. “Memang perlu diperhatikan, maka benar – benar lembaga zakat itu akan merupakan obat yang paling manjur untuk menciptakan pergaulan hidup yang adil”, demikian kata Mukti Ali di hadapan puluhan ribu ummat Islam. Selaku chotib dalam sembahyang Idul Fitri hari Selasa.
Menteri lebih lanjut mengambil contoh penduduk Jakarta yang kini jumlahnya 46 juta orang. Kalau yang membayar zakat fitrah saja umpamanya 3 juta orang dan zakat fitrahnya bernilai kurang lebih Rp. 200 tiap orang maka ini berarti hasil zakat fitrah di Jakarta saja akan terkumpul Rp. 900 juta.
Kepada para ulama dan cerdik pandai diminta petunjuknya apakah zakat fitrah, zakat perdagangan, zakat pertanian dapat dipergunakan untuk usaha2 yang produktip, umpamanya untuk membeli saham, membeli tanah, membeli rumah, mendirikan perusahaan dan sebagainya yang semuanya itu diperuntukkan bagi fakir miskin dan orang2 yang berhak menerima zakat.
Inilah yang kami minta dipikirkan sedalam2nya bagaimana supaya fakir miskin ini dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia yang merupakan salah satu “musuh” yang harus dibasmi dengan persediaan dan pengaturan yang baik, demikian Menteri Agama Prof. Mukti Ali. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (09/11/1972)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 61-62.