PRESIDEN SOEHARTO: STABILITAS BUKAN BERARTI INGIN KURANGI HAK AZASI

PRESIDEN SOEHARTO: STABILITAS BUKAN BERARTI INGIN KURANGI HAK AZASI

 

 

Jakarta, Angkatan Bersenjata

PRESIDEN Soeharto hari Senin menegaskan bahwa kalau Pemerintah selalu menyatakan Indonesia memerlukan stabilitas nasional maka hal itu bukan berarti Pemerintah selalu ingin mengurangi kebebasan dan hak-hak azasi yang dimiliki oleh perorangan atau golongan.

Penegasan itu dikemukakan langsung oleh kepala negara kepada wartawan. Senin, ketika menjelaskan kaitan antara program kependudukan dan pembangunan nasional, dalam pesawat DC-10 Garuda yang membawanya kembali ke tanah air setelah menyelesaikan kunjungan di Amerika Serikat.

Presiden yang di dampingi Ibu Tien Soeharto menjelaskan kepada wartawan bahwa stabilitas nasional merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan nasional di berbagai bidang.

Pembangunan nasional itu sendiri, sambungnya, merupakan amanat rakyat yang menang harus diamankan agar bisa terlaksana dengan baik.

“Jadi, dalam keadaan bagaimanapun juga, pembangunan harus bisa jalan,” tandasnya.

Oleh karena itu pula, kata presiden, dalam menghadapi berbagai larangan, baik dari dalam maupun dari luar, pemerintah selalu mengambil kebijaksanaan dengan titik tolak pandangan, “yang penting pembangunan “.

Diingatkannya bahwa hanya dengan melaksanakan pembangunan maka pertumbuhan akan terjamin dan hanya karena ada pertumbuhanlah maka pemerataan dapat terlaksana .

“Dengan demikian hendaknya kita pahami bahwa pembangunan memang harus selalu kita amankan agar dapat terlaksana dan untuk melaksanakan pembangunan diperlukan stabilitas nasional,” kata presiden.

 

Tujuan KB

Presiden Soeharto berkunjung ke AS sejak 7 hingga 9 Juni lalu dalam rangka memenuhi undangan Sekjen PBB Jaiver Perez de Cuellar untuk menerima penghargaan PBB bidang kependudukan (UN Population Award) 1989, atas jasa­jasanya dalam memajukan program KB di Indonesia.

la tiba kembali di Jakarta Senin pagi setelah istirahat semalam di Jenewa, Swiss (sama dengan ketika berangkat) untuk penyesuaian waktu.

“Saya dan pemerintah sebenarnya tidak mengharapkan penghargaan itu karena yang kita harapkan adalah sukses pembangunan. Tetapi, karena diberi, tentu kita perlu bersyukur kepada Tuhan bahwa dunia ternyata mengamat-amati benar apa yang kita lakukan selama ini, khususnya di bidang kependudukan,” katanya.

Kepala Negara menjelaskan bahwa pembangunan, termasuk program kependudukan dan KB, pada dasarnya bertujuan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dengan begitu, tambahnya, program KB bukan semata-mata program untuk membatasi penduduk, melainkan untuk mengendalikan jumlah penduduk agar kehidupannya bisa menjadi lebih baik.

Dengan melaksanakan program KB terus menerus, kata presiden, pada suatu saat penduduk Indonesia tidak mengalami pertumbuhan lagi, melainkan berada pada posisi stasioner atau tetap.

Berdasarkan perhitungan kasar Presiden Soeharto, angka pertumbuhan nol itu dapat dicapai paling tidak sekitar tahun 2.050. yakni pada saat rakyat Indonesia berjumlah sekitar 250 juta orang.“Dalam kondisi pertumbuhan nol seperti itu, lebih mudah bagi kita untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran,” katanya seraya mengakui bahwa meningkatkan kesejahteraan rakyat sebanyak itu bukan pekerjaan mudah.

 

Bayar Hutang

Menurut Kepala Negara, prinsip “yang penting pembangunan” juga diterapkan oleh pemerintah dalam mengambil kebijaksanaan pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri Indonesia, yang kini dirasakan berat akibat adanya apresiasi sejumlah mata uang asing.

Oleh karena itu, tegasnya, pemerintah RI bertekad mengambil langkah-langkah untuk tetap melaksanakan kewajiban membayar hutangnya meskipun dirasa berat.

Dengan tetap membayar hutang, Kepala Negara yakin bahwa Indonesia akan tetap mendapat Kepercayaan negara lain sehingga proses pembangunannya juga dapat terus berjalan.

Dia mencatat, ada sejumlah negara di kawasan Amerika Latin yang tidak mau membayar hutangnya. Pada tahun-tahun pertama mereka memang bisa tetap melaksanakan pembangunan, namun kemampuan itu tidak bisa bertahan sampai tahun-tahun berikutnya.

Padahal, di saat kemampuan perekonomian mereka ambruk, kepercayaan negara lain untuk memberi bantuan kepada mereka sudah hilang.

“Jadi, bagi kita, melaksanakan kewajiban membayar hutang sebenarnya juga untuk mengamankan jalannya pembangunan kita,” tegasnya.

 

Salah Pengertian

Selain menerima penghargaan, Presiden Soeharto dalam kunjunganya di AS juga mengadakan pertemuan dengan Presiden George Bush. Diungkapkan oleh Presiden Soeharto bahwa pembicaraannya dengan Presiden Bush bertujuan meningkatkan kerjasama bilateral, di samping pula dalam rangka mengamankan pembangunan nasional, khususnya di bidang perdagangan.

Presiden Soeharto mengatakan, AS tetap akan membantu Indonesia memberikan pinjaman. Namun, lambat laun dirasakan bantuan AS itu berkurang karena Indonesia dianggap sudah tidak kesulitan dana lagi.

Menurut Presiden Soeharto, dalam pertemuan dengan Bush, ia sempat mengemukakan bahwa pandangan bahwa Indonesia sudah tidak menghadapi kesulitan dana lagi merupakan pandangan keliru.

“Soal pembayaran hutang dengan AS kita memang tidak ada masalah karena pinjaman kita berbentuk dolar sehingga tidak ada apresiasi. Tetapi justru karena tidak ada masalah, rupa-rupanya kurang dimengerti oleh pihak AS,” katanya.

Berdasarkan catatan Presiden Soeharto, yang kurang mengerti tentang posisi Indonesia dalam masalah bantuan tersebut adalah para pejabat AS yang duduk di lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia.

“Karenanya saya menekankan pada Presiden Bush supaya kalau perlu kita berdiskusi soal itu agar nantinya tidak ada lagi penilaian keliru terhadap Indonesia,” katanya.

Presiden Bush pada dasarnya menghargai penjelasan itu dan berjanji akan memberi perhatian pada kesulitan ekonomi yang masih dihadapi Indonesia, demikian Presiden Soeharto.

 

Tiba di Tanah Air

Presiden Soeharto Senin pagi tiba kernbali di tanah air dengan selamat setelah menyelesaikan kunjungannya di Amerika Serikat untuk menerima penghargaan PBB bidang kependudukan, di samping mengadakan pertemuan dengan Presiden George Bush.

Pesawat DC-10 Garuda yang ditumpangi Kepala Negara dan Ibu Tien Soeharto bersama rombongan mendarat di Bandara Halim Perdanaku suma, Jakarta, pukul 08.20 WIB setelah menempuh penerbangan sekitar 15 jam dari, Jenewa, Swiss, termasuk kurang lebih satu jam singgah di Abu Dhabi untuk mengisi bahan bakar.

Kedatangan kembali Presiden dan rombongan yang ternyata lebih awal sekitar setengah jam dari jadwal tiba, disambut Wakil Presiden dan Ny. EN Sudharmono.

Tampak ikut menyambut kedatangan Kepala Negara dan rombongan di Halim Perdanaku suma, Menko Ekuin Radius Prawiro, Menko Kesra Soepardjo Rustam, Menhankam LB. Moerdani, Menmud Seskab Saadilah Mursyid, Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno serta para pejabat tinggi lain, baik sipil maupun militer.

Selama kunjungan di AS, Kepala Negara disertai pula oleh Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Moerdiono.

Presiden Soeharto menerima penghargaan PBB bidang kependuduk an (UN Population Award) di Markas Besar PBB, New York, Kamis 8 Juni sore atau sekitar Jumat 9 Juni 1989 subuh WIB.

Penghargaan itu terdiri atas sebuah medali, piagam dan cek bernilai 12.500 dolar AS. Semuanya itu diserahkan langsung oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar.

Atas pertanyaan wartawan di pesawat sebelum mendarat kembali di tanah air Senin pagi, Presiden Soeharto menjelaskan bahwa penghargaan berupa cek tersebut ia sumbangkan kembali kepada Bank Dana Kependudukan PBB untuk melaksanakan kegiatannya.

“Saya tahu, banyak negara lain yang memerlukan bantuan lebih besar,”ucapnya.

 

Singgah di UAE

Presiden Soeharto mengakhiri kunjungannya di AS hari Jumat itu juga. Beberapa saat setelah tiba kembali di New York dari Washington, Kepala Negara dan rombongan langsung menuju Jenewa, Swiss, untuk beristirahat penyesuaian waktu semalam, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke tanah air.

Ketika singgah di Abu Dhabi dalam penerbangan Jenewa-Jakarta Minggu malam, sambil menunggu pengisian bahan bakar pesawat, Presiden Soeharto sempat turun dari pesawat dan mampir ke Ruang VIP Kepresidenan di Bandara Abu Dhabi.

Kepala Negara dijemput di atas pesawat oleh Kepala Protokol Kementerian Luar Negeri Persatuan Emirat Arab (UEA), Al Segal. Tiba dibawah, ia disambut Menteri Kesehatan UAE, Hamad Al Medfa.

Presiden dan Menkes UAE sempat berbincang-bincang selama kurang lebih setengah jam. Ikut menyambut kedatangan Presiden di Abu Dhabi, Kuasa Usaha Tetap Rl di UAE Drs. D. Soesjono.

 

 

 

Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (13/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 229-233.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.