PRESIDEN SOEHARTO TIBA DI RIO DE JANEIRO: Sebagian Besar Pembicaraan masih alot

PRESIDEN SOEHARTO TIBA DI RIO DE JANEIRO: Sebagian Besar Pembicaraan masih alot[1]

Rio de Janeiro, Media Indonesia

Presiden Soeharto hari Kamis sekitar pukul 06.10 WIB (08.10 waktu Rio de Janeiro) tiba di Bandara Galeao Rio de Janeiro setelah terbang selama 28 jam dari Halim Perdana Kusuma melalui Abu Dhabi dan Las Palmas, Spanyol. Kepala Negara RI itu disambut oleh pejabat Kementerian Luar Negeri Brasil dan Dubes RI untuk Brasil Ismail Rhousdy Soeryatmadja.

Dari sana, Presiden menuju penginapan di Hotel Horsa Nacional. Setelah beristirahat beberapa jam, menurut rencana Kepala Negara akan mengadakan pembicaraan bilateral dengan Kanselir Jerman Helmut Kohl.

Hari Jumat ini, Presiden Soeharto akan menghadiri sidang Pleno KTT Bumi. Demikian dilaporkan wartawan Kompas Ansel da Lopez yang mengikuti rombongan Presiden Soeharto.

Presiden AS George Bush dan Pemimpin Cuba Fidel Castro diharapkan mendarat di Rio de Janeiro, Brasil hari ini (Kamis pagi) waktu setempat.

Masih Alot

Sementara dalam Sidang KTT Bumi (Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan UNCED) yang terbagi dalam kelompok-kelompok kerja, beberapa masalah yang pernah ramai dibicarakan seperti Coenvention on Biodeversity hampir bisa dikatakan tidak ada perdebatan lagi. Tapi isu alih teknologi masih belum mencapai pembicaraan final. Persoalan terbesar yang masih belum nampak tanda-tanda penyelesaiannya adalah masalah pendanaan, khususnya mengenai jumlah bantuan untuk pembangunan untuk pembangunan berkelanjutan.

Pada pembicaraan mengenai air bersih, negara negara yang terancam desertifikasi seperti daerah Sahara dan Sahel, menuntut adanya konvensi dan pembiayaan global untuk mengatasi desertifikasi. Mengenai Principles on Foresty, India menentang beberapa butir isinya, karena hutan, bagi India tidak menyangkut soal devisa, melainkan menyatu dalam struktur sebagai pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari seperti kayu bakar, makanan temak dan lain-lain. India tidak menjadikan hutannya sebagai alat penghasil devisa seperti untuk pembuatan kertas, ekspor kayu gelondongan yang dilakukan negara berkembang lain.

Menurut wartawan Kompas Denny Sutoyo dan Maria Hartiningsih dari Rio de Janeiro, Brasil, India tidak setuju kalau Principles on Foresty diglobalkan dan meminta agar beberapa butir isinya ditinjau kembali.

Sikap India, ditambah sikap negara maju, membuat pembicaraan mengenai prinsip-prinsip kehutanan tidak bisa diselesaikan dan akan dibawa kepembicaraan tingkat menteri. Dengan demikian masih tetap terbuka kemungkinan untuk mengubah non legal binding document.

Negara OPEC

Negara-negara anggota OPEC dari Timur Tengah juga tetap bersikukuh pada sikapnya, menolak menandatangani Konvensi mengenai Perubahan Iklim. Melihat hasil-hasil riset versi OPEC, mereka menyimpulkan masih belum ada bukti yang meyakinkan bahwa perubahan atmosfir bumi disebabkan oleh materi karbondioksida (C02) yang dihasilkan dari proses produksi minyak bumi.

Produsen minyak yang termasuk negara-negara Dunia Ketiga dihadapkan pada beberapa usulan KTT Bumi dalam upaya mengurangi polusi udara diantaranya adalah pemungutan pajak karbon. Salah satu sumber karbon adalah bahan bakar fosil yang kebanyakan adalah minyak bumi.

Sektretaris Jenderal OPEC Subroto, hari Selasa (9/6) dalam pidatonya mendesak para delegasi KTT Bumi agar menunggu bukti-bukti ilmiah yang tepat sebelumnya mengambil keputusan yang bisa melukai pengekspor minyak mentah. Ia juga mengatakan semua tindakan terhadap lingkungan hidup harus mendukung pertumbuhan ekonomi yang terlanjutkan.

“Pusat perhatian internasional dan kecurigaan terhadap bahan bakar fosil secara umum dan emisi karbondioksida khususnya juga merupakan kekhawatiran kami,” kata Subroto.

“Pajak karbon seperti yang diusulkan oleh komisi eksekutif Masyarakat Eropa, akan melukai negara-negara eksportir minyak bumi dan gagal mencapai tujuannya karena perusahaan-perusahaan akan memindahkan kegiatan yang padat energi ke negara Dunia Ketiga,” tambahnya.

“Terus terang sangat sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa tujuan sesungguhnya usulan itu bukan untuk mengurangi emisi karbondioksida yang berarti dengan tindakan yang rasional, seperti kata pihak yang mengusulkan, tetapi malah sebagai tirai asap untuk menutupi serangan mereka pada minyak bumi, terutama minyak OPEC,” kata Subroto keras.

Walaupun negara-negara Barat terus mendesak diberlakukannya pajak karbon, OPEC tidak akan tinggal diam, tambahnya.

“OPEC harus secara serius mempertimbangkan memasukkan kurangnya sumber dana untuk meningkatkan dan menguras kapasitas produksi minyak bumi sesuai dengan kenaikan proyeksi permintaan dunia,” tegas Subroto.

“Saat ini kami tidak punya pilihan kami harus membela diri membela industri karni dan mata pencarian negara kami dengan segala sumber daya sesuai kehendak kami”.

Subroto tidak menjelaskan lebih jauh keterangan itu, hanya menambahkan negara-negara konsumen minyak bumi harus berpikir dua kali mengenai segala konsekuensinya sebelum memanfaatkan ketakutan kerusakan lingkungan dengan menambahkan pajak minyak yang memang sudah tinggi.

OPEC, katanya, mempunyai hak mengharapkan pendekatan yang seimbang dan adil dalam membicarakan apakah membakar bahan fosil akan menyebabkan perubahan iklim dunia. Subroto mengharapkan negara-negara penghasil minyak bumi meningkatkan usaha memberikan informasi kepada umum mengenai masalah-masalah lingkungan hidup yang sebenarnya.

Dalam pembicaraan mengenai pasal 9 Agenda 21, negara Arab didukung oleh India dan AS menekankan bahwa masalah petrolueum yang diangkat ke Agenda 21 terlalu keras. Sikap tersebut sangat disayangkan anggota kelompok kerja mengenai Perubahan iklim di Agenda 21, bahkan Swedia sebagai pimpinan sidang mengingatkan, sikap ini bisa memporak-porandakan pembicaraan seluruh isi Agenda 21.

Semakin jauh pembicaraan, semakin nampak mencuatnya kepentingan nasional beberapa negara berada di atas kepentingan global. Sejak awal pembicaraan mengenai berbagai isu yang belum terselesaikan dalam Komite Persiapan (Prepcom) IV di New York, kelompok negara berkembang (G 77) sudah nampak terpecah dengan munculnya sikap beberapa negara yang tidak sesuai dengan kesepakatan Kuala Lumpur. Sementara Jerman berada pada posisi terdepan di Kelompok Eropa yang berusaha menyatukan pendapat 12 negara anggota Masyarakat Eropa (ME).

Pembiayaan Makin Rumit

Konvensi Keanekaragaman Hayati yang ditolak AS, kemarin ditandatangani oleh Inggris dan Perancis. Tapi masalah pembiayaan berkembang semakin rumit karena permintaan negara berkembang mengenai tarnbahan menjadi 0,7 persen GNP negara maju (atau 70 milyar dolar AS dari 55 rnilyar dolar AS sebelumnya) melalui Bantuan Resmi Pembangunan (ODA) untuk membiayai pelaksanaan Agenda 21, masih belum diterima. Pembicaraan mengenai masalah ini masih berlangsung sampai Selasa tengah malam waktu setempat.

Isu mengenai alih teknologi juga belurn terselesaikan, karena adanya Intellectual Property Right yang di negara maju (khususnya AS) dimiliki swasta. Permintaan negara berkembang agar pemerintah negara maju membelinya dari swasta dan kemudian melakukan alih teknologi ke negara berkembang, belum disetujui karena keengganan mengeluarkan dana. Dalam pembicaraan mengenai hal ini di Agenda 21, Inggris memveto pasal mengenai alih teknologi.

Dilepas Wapres

Keberangkatan Presiden Soeharto bersama rombongan hari Rabu (10/6) dilepas Wakil Presiden Sudharmono di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta menuju ke Rio deje nerio. Ikut melepas Presiden dibandara antara lain Menko Kesra Soepardjo Rustam, Menlu Ali Alatas, Menhankam LB Moerdani , Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno serta para pejabat tinggi lainnya.

Sumber: MEDIA INDONESIA (28/12/1992)

___________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 486-489.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.