PRESIDEN SOEHARTO TOKOH PENDIDIKAN INTERNASIONAL

PRESIDEN SOEHARTO TOKOH PENDIDIKAN INTERNASIONAL[1]

 

Oleh Priyambodo R.H Jakarta, Antara

“Kadang saya menangis sendiri karena saya ingin sekolah terns dan ingin jadi orang pandai,” tulis seorang siswa dari Kediri kepada Presiden Soeharto, Agustus 1987. Surat remaja putri itu hanyalah salah satu dari ribuan surat anak-anak yang melayang kepada Kepala Negara, yang sebagian terbesar menjadikannya sebagai “penampung keluh kesah “karena ingin mendapat pendidikan.

Hari Sabtu (19/6), Bapak Pembangunan Indonesia itu mendapat penghargaan “Avicenna Medals” (Medali Ibn Sina) pertama dari UNESCO yang sekaligus pengakuan sebagai tokoh pendidikan internasional.

Organisasi pendidikan, kemasyarakatan dan kebudayaan dunia (UNESCO) memberikan penghargaan itu karena Presiden Soeharto mampu mengembangkan sistem pendidikan dasar yang tepat bagi bangsa Indonesia dan dapat dicontoh negara lain.

“Sejak 1989 sebetulnya Dirjen UNESCO sangat tertarik dengan kemampuan Pesiden Soeharto mengembangkan sistem pendidikan yang universal,” kata Prof. DR dr. Marsetio Donoseputro, mantan Dubes RI untuk UNESCO, kepada ANTARA.

Dirjen UNESCO Prof. Federico Mayor, ketika pertama kali berkunjung ke Presiden Soeharto di Jakarta, menurut dia, sangat memuji wawasan Pak Harto itu karena memahami berbagai kondisi pendidikan secara luas. Marsetio mengemukakan, Mayor dengan antusias bertanya, “Apa latar belakang pendidikan Presiden Soeharto, dia pastilah seorang berjiwa pendidik yang penuh perhatian. “Pada pertemuan sekitar 45 menit itu, Mayor terlihat berkali-kali terkesan dengan jawaban Presiden Soeharto berkaitan dengan kendala yang dihadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia dan diuraikan pula beberapa tahapan penyelesaian jangka pendek maupun masa mendatang.

“Presiden Soeharto memiliki konsep universal tentang dunia pendidikan, karena mampu memaparkan secara terinci kendala yang dihadapi bangsanya, sekaligus memiliki konsep penanggulangannya, “kata Marsetio mengutip pendapat Mayor.

Mayor mungkin akan semakin kagum, bila saja mengetahui kemampuan Presiden Soeharto memaharni kondisi pendidikan di Indonesia antara lain justru dari kalang paling bawah, seperti kiriman surat siswa sekolah yang sebagian kecil di antaranya termasuk dalam buku “Kumpulan surat anak-anak kepada Presiden Soeharto” (1992).

 

Avicenna Medals

Marsetio yang juga mantan Rektor Universitas Air langga (Unair) di Surabaya mengatakan, penghargaan “Avicenna Medals” memiliki predikat tertinggi bagi UNESCO. Dan Presiden Soeharto adalah penerima yang pertama kalinya.

“Penghargaan ini membuktikan keberhasilan Presiden Soeharto yang mendapat dukungan dan perhatian dari masyarakat dunia karena sebelumnya memperoleh penghargaan dari PBB melalui FAO dan WHO,”katanya mengenai penghargaan dari organisasi pangan dunia (FAO) dan organisasi kesehatan dunia (WHO).

Menurut Marsetio, UNESCO memiliki dua jenis penghargaan utama kepada seseorang yang dianggap berjasa, seperti pemberantasan buta huruf dan menggalakkan minat baca masyarakat yang mendapat anggaran dari lembaga khusus negara donatur.

“Untuk Avicenna Medals diberikan kepada seseorang yang mampu mengembangkan seluruh misi UNESCO, yaitu mengembangkan kemajuan pendidikan dan kebudayaan masyarakat dalam arti luas,”ujarnya.

Istilah Avicenna itu mengacu dari nama cendekiawan muslim yang berprofesi sebagai dokter, pendidik maupun juru dakwah. Semasa hidupnya (980-1037 M), Avicenna yang nama aslinya Abu Ali al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina tersebut banyak menyumbangkan pikiran sebagai peneliti ilmu kedokteran maupun keagamaan yang dituangkan dalam bentuk buku.

Marsetio berpendapat, beberapa kriteria UNESCO memberikan “Avicenna Medals” adalah mengacu dari kepribadian cendekiawan muslim tersebut, seperti mampu menjadi pendidik yang memiliki konsep dan mampu menuangkannya dalam bentuk tindakan nyata.

“Selama ini tim UNESCO masih mencari tokoh dunia yang mampu mencerminkan sikap Ibn Sina. Dan bangsa Indonesia tentunya patut bersyukur karena Presiden Soeharto menjadi pilihan yang utama, serta untuk pertama kalinya,” ujar Guru Besar Patologi Universitas Airlangga itu.

Beberapa prestasi  Presiden Soeharto dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, menurut dia, terlihat dari kondisi saat ini berupa angka partisipasi anak usia enam hingga 12 tahun yang menikmati pendidikan mencapai 97 persen.

Bentuk lembaga pendidikan dasar tersebut bukan hanya SD negeri atau swasta saja, melainkan melalui lembaga atau organisasi keagamaan dan kebudayaan, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Taman Siswa dan pesantren anak-anak.

Komitmen Presiden Soeharto terhadap pengembangan pendidikan nasional, menurut Marsetio, yang banyak mendapat perhatian UNESCO adalah program pemberantasan “Tiga Buta”, yaitu buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia, serta buta pendidikan dasar.

Porsi anggaran pendidikan dalam APBN, menunjukkan kian mendapat prioritas mendampingi sektor petanian selama 25 tahun era pembangunan jangka panjang tahap (PJPT) I. Dan untuk APBN 1993-1994, porsi anggaran untuk bidang pendidikan mencapai 11 persen dari Rp 62,322 triliun.

“Kebijakan pemerintah membagi porsi APBN terbesar untuk pertanian dan pendidikan inilah yang menunjukkan komitmen Presiden Soeharto untuk memajukan kesejahteraan umum,”tambah Marsetio.

Biaya Besar

“Pendidikan memerlukan biaya yang sangat besar. Perekonomian nasional dan keuangan negara harus mampu memikul biaya pendidikan yang besar itu,” demikian pendapat Presiden Soeharto seperti dikutip G Dwipayana dan Ramadhan KH dalam buku ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ (1989).

Presiden menyambut gembira gerakan Wajib Belajar pada 1984 untuk memberikan kesempatan bagi anak usia tujuh hingga 12 tahun mendapat pendidikan dasar, bahkan pada 1986 usia minimalnya menjadi enam Gerakan nasional tersebut, menurut Soeharto, dibarengi pula oleh pendidikan di luar sekolah untuk memenuhi pesan pembukaan UUD 1945 tentang kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam makna yang lebih luas dan lebih dalam.

Kegiatan pendidikan kemasyarakatan tersebut antara lain melalui program kelompok belajar (Kejar) Paket ‘A’ yang sejak tahun anggaran 1979-1980 hingga 1982-1983 menyebarkan 44,3 juta eksemplar buku untuk menambah wawasan masyarakat.

Dalam program pemberantasan “Tri Buta”, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto sampai dengan tahun anggaran 1989-1990 telah mencetak buku Paket ‘A’ mencapai lebih dari 135,3 juta yang disebarkan ke seluruh pelosok daerah.

Program itu mampu menurunkan jumlah penduduk Indonesia yang buta huruf dari 39 persen di pada 1971 menjadi hanya sekitar 16 persen untuk 1990.

Kebijakan yang terlihat penting selama lima tahun terakhir ini adalah disahkannya Undang-undang No.2/1989 tentang sistem pendidikan nasional dengan persetujuan DPR, kemudian  ada Peraturan Pemerintah  No. 27/1990 tentang pendidikan pra sekolah, PP No. 29/1990 tentang pendidikan menengah, PP No.30/1990 tentang pendidikan tinggi, dan No.73/1991 tentang pendidikan luar sekolah.

Memasuki PJPT II, Presiden Soeharto terlihat berupaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan ciri kehidupan bangsa Indonesia.

“Secara khusus saya menyadari betapa penting penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan bangsa kita di masa mendatang,” kata Presiden.

Berbagai pengembangan dalam sistem pendidikan nasional yang menjadi perhatian Presiden adalah menyiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat yang kompleks, sehingga menjadi anggota yang berguna bagi masyarakat dan turut aktif dalam kegiatan pembangunan dengan ideologi Pancasila.

“Negara kita bukan negara agama. Apalagi negara berdasarkan satu agama. Bukan! Pancasila melindungi semua agama. Negara kita bukan pula negara sekuler. Bukan negara yang memisahkan agama dengan negara. Bukan! Camkanlah hal ini untuk bidang pendidikan,” demikian salah satu komitmen Presiden Soeharto dalam upaya mencerdaskan bangsa Indonesia. (T.PRH/SBY-006/S POl/17/06/93 13:00)

Sumber: ANTARA(l7/06/1993)

___________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 709-712.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.