PRESIDEN SOEHARTO WAJAH INDONESIA TAHUN TUJUH PULUHAN

PRESIDEN SOEHARTO

WAJAH INDONESIA TAHUN TUJUH PULUHAN [1]

 

Jakarta, Merdeka

Keputusan untuk menetapkannya kembali sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun mendatang ini tidak menghabiskan banyak waktu. Dan dalam kira2 sepuluh menit yang diperlukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersidang umum hari Kamis malam untuk memilih kembali Presiden Soeharto untuk jabatan tertinggi dibidang eksekutif negara itu, berwujudlah sudah salah satu aturan main demokrasi di Indonesia yang ditetapkan lembaga tersebut.

Dan dengan pengambilan sumpah jabatan yang dilakukan hari jumat selesailah juga pengukuhan pilihan rakyat Indonesia untuk mempercayakan kembali kepada Soeharto pengendalian kemudi negara akan tetapi yang lebih mengandung arti mungkin adalah bahwa pengukuhan jabatan itu untuk kedua kalinya dalam sejarah seperempat abad lamanya Indonesia bernegara bersumber pada suatu pemilihan umum.

Presiden Soeharto pada hari jumat itu berdiri didepan lembaga demokrasi tertinggi itu diambil untuk sumpahnya maka negaranya berdiri pula pada suatu titik dalam sejarah dimana hasil lima tahun berselang sudah dapat diukur dengan kepuasan ataupun dengan kekecewaan dan lima tahun mendatang penuh dengan harapan baru.

Terpilihnya kembali Presiden Soeharto itu bukanlah hanya merupakan pengukuhan kepercayan rakyat atas kepemimpinnya yang dijalankannya selama lima tahun terakhir ini, akan tetapi seperti dikatakan oleh seorang peninjau politik di Jakarta. Sekaligus suatu jaminan akan harga saham2 Indonesia dalam hubungan negara itu dengan dunia luar.

Makna lain yang dilihat dengan terpilihnya kembali Presiden Soeharto itu adalah bahwa untuk Indonesia berakhirlah pula segala kesementaraan yang selama seperempat abad berselang ini meliputi segala bidang kehidupan dan kegiatan bangsa.

Dan bagi Presiden Soeharto sendiri menurut peninjau tersebut hal itu berarti bahwa pada lima tahun mendatang ini ia akan harus lebih menerapkan kecakapan dan keterampilannya sebagai seorang negarawan mengingat latar belakang perobahan2 yang dewasa ini sedang dan akan berlangsung dibagian dunia dimana negara terletak.

Tanggung Jawab

Sebagai seorang anak keluarga petani yang lahir 52 tahun yang lalu di desa Kemusu yang terletak di sebelah barat Laut kota Yogyakarta, kedudukannya sebagai pemimpin suatu bangsa yang berjumlah 125 juta jiwa, memang tidak pernah diimpikan. Dikehendakipun tidak “Saya tidak pernah menginginkan kedudukan kepresidenan itu”, demikian pernah dikatakan oleh Presiden Soeharto kepada seorang wartawan beberapa tahun yang lalu. “Hanya tanggungjawab saya sebagai seorang Indonesia dan juga hanya karena untuk memenuhi permintaan rakyat saja jabatan itu saya terima”. demikian ditegaskan oleh kepala negara kepada wartawan itu.

Pada waktu ia banyak dikritik akan tetapi lontaran penilaian itu ditanggapi dengan sikap bahwa “jika rakyat Indonesia tidak menghendaki saya sebagai presiden saya rela untuk mengundurkan diri”.

Kepemimpinan Presiden Soeharto dalam lima tahun yang telah lewat telah ditandai perobahan2 yang menurut pendapat seorang asing yang hidup di Jakarta kadang2 rupanya diterima seperti seharusnya demikian.

Dibanding dengan keadaan yang berlaku di bawah rejim yang berkuasa sebelum itu, maka lima tahun terakhir ini tidak hanya memperlihatkan perobahan secara fisik saja akan tetapi pada pola pandangan dan sikap bangsa Indonesia sendiri. Xenophobia yang hingga pertengahan dasawarsa enampuluhan seakan2 mencengkram suasana di Indonesia tidak menguasai keadaan lagi.

Sifat mercusuar dalam pandangan dan tindakan yang menghasilkan hal2 yang tidak produktif seperti antara lain suatu pabrik besi baja yang dibangun disuatu tempat yang dianggap tidak memenuhi persyaratan ekonomis, dewasa ini diganti oleh pendekatan2 pada permasalahan2 yang didasari sikap pragmatis dan realitas.

Politik luar negeri yang pada tahun 1965 dengan gagasan poras Jakarta-Phnom Penh­Hanoi- Pyongyang-Peking oleh seorang wartawan Belanda dinamakan sama kirinya dengan ketentuan untuk menempuh bagian kiri dari jalanan yang berlaku di Indonesia, sekarang ini sudah “direlkan” kembali kepada prinsip2 politik luarnegri non blok yang bebas dan aktif.

Taat

Lingkungan pedesaan dimana ia dibesarkan dan pendidikan agama yang ia peroleh semasa kecilnya masih saja berbekas pada diri Presiden Soeharto. Sejak masa kanak2nya ia setiap pagi masih saja bangun pukul 05.00 untuk segera bersholat subuh.

Kesederhanaan yang merupakan bagian daripada hidup ditempat kelahirannya itu hingga sekarang ini masih tetap menguasai kehidupannya sehari2.

Kehidupannya dalam dunia ketentaraan selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir ini banyak merajai tindakan2nya. Akan tetapi tulus sebuah majalah di Jakarta, hal itu tidaklah berarti bahwa Presiden Soeharto berjiwa militer. Menurut penilaian majalah itu ia “berjiwa sipil dengan daya fikir seorang militer”.

Sifatnya “alon alon asal kelakon” (pelan2 akan tetapi penuh kepastian akan berhasil) telah membuktikan kebenaran dalam banyak tindakan yang diambilnya selama lima tahun terakhir ini sebagai Kepala Negara setelah suatu perabahan perebutan kekuasaan oleh PKI pada akhir tahun 1965.

“Saya tidak buru2 mengambil tindakan militer” cerita Presiden Soeharto mengenai keadaan yang dihadapinya pada tanggal 1 Oktober 1965 ketika perebutan kekuasaan PKI itu dilancarkan.

Sifat “alon alon asal kelakon” pada hari itu ternyata membawa hasil yang maksimal, kekuatan militer komunis dapat dipatahkan dengan pengorbanan sekecil mungkin. (DTS)

Sumber: MERDEKA (27/03/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 331-333.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.