PRESIDEN SOEHARTO: YANG PALING BERBAHAYA, ANCAMAN DARI DALAM

PRESIDEN SOEHARTO: YANG PALING BERBAHAYA, ANCAMAN DARI DALAM

 

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menegaskan, kalau ada orang kurang mendalami Pancasila dan UUD 45 dan melontarkan pemikiran yang lain, maka ini sudah merupakan satu gangguan dan satu ancaman. Kalau ini dibiarkan dengan sendirinya akan mengganggu minimal stabilitas nasional yang diperlukan bangsa lndonesia sebagai persyaratan untuk membangun.

Penegasan Kepala Negara itu dikemukakan di petemakan Tapos, Bogor, Jawa Barat, hari Minggu (2/2), ketika menerima sekitar 120 pemuda dari seluruh Indonesia yang merupakan peserta Penataran Kewaspadaan Nasional bagi Pemuda VIII. Ia menambahkan, meskipun tidak berarti tidak akan timbul lagi, tetapi kini ancaman dari luar mereda, dan yang justru paling berbahaya sekarang ini adalah ancaman dari dalam negeri. Dan, ini membutuhkan kewaspadaan nasional.

Presiden mengatakan, Bangsa Indonesia bertekad melaksanakan kemumian Pancasila dan UUD 45 dalam mencapai cita-cita perjuangan bangsa. Bangsa Indonesia hams bisa mengamalkan dan menghayati Pancasila dan UUD 1945, jangan hanya mengerti teorinya saja.”Minimal kita memang haruskuat meyakini Pancasila dan UUD 45, sambil meyakinkan kepada mereka supaya benar-benar mengetahui hak dan kewajibannya sebagai WNI yang landasannya adalah Pancasila dan UUD 45, untuk kemudian dimengerti.”

Bisa terjadi, lanjut Presiden, karena tidak mengerti, kemudian mereka ingin menjual dan menawarkan altematif lain yang seolah-olah itu lebih baik, padahal mereka belum menyelami. Karena itulah setiap warga negara sebenamya hams betul-betul membentengi diri dengan mengerti dan mengetahui apa Pancasila dan UUD 45. Karena dengan demikian juga akan mengerti pengelolaan negara RI yang berdasarkan

Pancasila dan UUD 45. Jadi jangan sampai mereka belum mengerti kemudian menilai itu salah. Mereka melemparkan gagasan mungkin karena belajar dari bangsa dan negara lain, kemudian sudah memvonis Pancasila dan UUD 45 salah, dan pendapatnyalah yang baik.

Sebagai usaha mengisi kemerdekaan, Presiden mengetengahkan Trilogi Pembangunan, yakni stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan yang ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam sejarah peljuangan bangsa manapun, yang tidak bisa menjamin baik stabilitas nasionalnya, ideologi politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, tidak mungkin membangun. Andaikata bisa membangun yang maju mundur, sehingga hanya ditempat.

“Jadi, hanya dengan stabilitas nasional kita bisa membangun. Hanya dengan pembangunan akan ada pertumbuhan ekonomi . Hanya dengan pertumbuhan ekonomi kita bisa memperbaiki taraf hidup rakyat dalam pemerataan, baik usaha maupun pemerataan menikmati kue hasil pembangunan itu. Karena dengan tidak ada kue lalu apa yang akan kita ratakan.”

 

Komunisme

Sebelumnya, Presiden bicara mengenai perubahan yang sangat cepat di negara­negara komunis di Eropa Timur, Rusia, RRC dan seterusnya. Ia mengutarakan, kita tidak menduga komunis akan runtuh bukan karena kejayaan negara yang menentangnya, Blok Barat. Tetapi justru kehancurannya dari dalam itu sendiri. Bukan karena pertentangannya tetapi kesadarannya terhadap kekeliruan komunisme. Ideologi yang dianut temyata tidak bisa memenuhi harapannya untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya, sehingga menyadari kekeliruan dan mengusahakan perubahan.

Anehnya, kata Presiden, ternyata sesudah komunisme rontok, mereka belum memiliki konsep pembaharuan. Akibatnya, dengan sendirinya mereka mencari ke sana kemari. Kemudian timbul keadaan yang tidak bisa segera mereka atasi dalam mencapai tujuan dari perubahan itu.

Uni Soviet maupun RRC mulai dari teljadinya perubahan hingga saat ini mengakui komunisme perlu koreksi dan mencari altematif lain. Karena belum mendapat altematif lain mereka tidak segan-segan menggunakan sistem sosialis komunis dengan sistem kapitalis yang tadinya mereka tentang.

Walaupun negara-negara komunisme kini sedang mengalami krisis, namun Presiden Soeharto tetap menekankan perlunya kewaspadaan. Dikatakan, komunisme tetap berbahaya. Inilah salah satu kewaspadaan yang belum diterapkan di dalam negen.

Diungkapkan, dulu komunisme dianggap berbahaya, karena mereka mempunyai doktrin untuk mengkomuniskan dunia dalam rangka menyejahterakan umat manusia ini.Tetapi ternyata, Jangankan menyejahterakan bangsanya sendiri saja tidak bisa. Karena itulah mereka menyadari dan kemudian mencari altematif lainnya. Dalam rangka ini, maka salah satu bahaya yang kita hadapi berkurang, karena masalahnya untuk memperbaiki dalam negerinya saja belurn menemukan yang tepat.

Menurut Presiden, sementara terjadi perubahan dan mereka (negara-negara komunis) belum mendapat bentuk altematif dari komunisme untuk bisa mewujudkan kesejahteraan bangsanya kemudian ada kelompok yang berpendapat, ternyata dalam proses pembaharuan yang diharapkan bisa menyejahterakan bangsa inilebih berat dan sulit daripada ketika menerapkan komunisme itu.

“Sehingga kemudian ada kelompok yang menyatakan bahwa bagaimanapun jeleknya komunisme temyata lebih baik daripada apa yang sekarang dihadapi atau diterapkan dalam perubahan itu. Bisajadi, mereka berpendapat kembali saja kepada komunisme. Karena perubahan temyata tidak bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan,” tutur Presiden.

 

Kekuatan Senjata

Pada kesempatan ini, Presiden juga mengutarakan tentang pertentangan Timur dan Barat yang kini mereda dan iniberarti meredanya Perang Dingin serta perlombaan senjata juga mereda, kemungkinan perang juga akan mereda.

Presiden mengingatkan sebuah teori yang mengatakan, penggunaan senjata untuk perang itu sebenamya adalah sebagai kelanjutan dari politik yang gagal. Tapi, lanjut Kepala Negara, teori itu tidak berlaku lagi secara utuh. Karena setelah Perang Dunia II, kekuatan senjata itu bukanlah yang menentukan segala-galanya. Hal ini terbukti dalam revolusi menentang penjajahan Belanda yang menggunakan senjata kuat, sementara para pejuang Indonesia menggunakan senjata sederhana.

Contoh lain di Vietnam dalam perang kemerdekaan menghadapi Perancis dan yang lebih mencolok adalah ketika menghadapi Amerika Serikat. “Akhirnya AS harus menarik diri dari Vietnam, kemudian negara ini memperoleh kemerdekaan lengkap tidak hanya Vietnam Utara tetapi juga Vietnam Selatan yang kini menjadi utuh sesuai cita-cita Ho Chi Minh,” ujar Presiden.

Bahkan kini, Presiden mengatakan, ternyata dalam kemajuan teknologi sekarang, senjata juga tidak bias memaksakan kehendak kepada lawan-lawan .Malahan mereka kemudian dapat dikatakan gagal, kalau belum bisa dikatakan kalah. Sebab, rakyat yang tidak memiliki kekuatan senjata bukan berarti bisa dibuat menyerah begitu saja.

Mereka masih memiliki kek:uatan bila dihimpun dalam kek:uatan nasional. Mulai dari kekuatan ideologi politik, kekuatan ekonomi, kek:uatan sosial budaya dan kekuatan hankam.

Semua kek:uatan yang dihimpun, dibina dan dikelola sehingga memiliki keuletan dan ketangguhan sedemikian rupa untuk sanggup menghadapi tantangan yang timbul dari dalam maupun dari luar. “Inilah yang disebut ketahanan nasional bangsa untuk menghadapi tantangan dari dalam dan luar,” kata Presiden.

Di jelaskan, ketahanan nasional sebenamya adalah penyusunan semua potensi yang dimiliki-dari yang kecil hingga yang besar-kemudian dihimpun dalam kekuatan baik politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam yang kemudian dibina dan dikelola sehingga mempunyai kekuatan dan keuletan yang sanggup menghadapi segala tantangan dari dalam dan luar negeri.

Perlu disadari,tegas Presiden, kehancuran satu bangsa itu tidak hanya disebabkan dari luar tetapi juga bisa dari dalam negeri. Dan, tantangan itu tidak hanya dari kekuatan militer tetapi juga dari ideologi komunis serta ideologi fanatisme lainnya yang bisa menghancurkan kelangsungan kehidupan negara dan bangsa Indonesia. “Dari sudut ekonomi pun juga bisa menghancurkan kehidupan negara dan bangsa. Karena itu, kewaspadaan tidak selalu digambarkan dari senjata dan ideologi, tetapi juga ekonomi bahkan kebudayaan.”

Menurut Presiden, ancaman ideologi harus dihadapi dengan ideologi yang didukung kekuatan nasionallainnya. Ancaman ekonomi pun demikian dihadapi dengan kekuatan ekonomi yang didukung bidang lainnya.

 

 

Sumber : KOMPAS (03/02/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 61-64.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.