Irigasi, Riwayatmu Kini
Proyek pembangunan jaringan irigasi selama Orde Baru mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah. Tapi kini, 52 persen jaringan itu rusak dan sisanya hanya mampu mengairi 800 ribu hektar.
SEKITAR 18 kilometer dari Binjai, atau 30 menit berkendara roda empat, kita akan menemukan sebuah tempat wisata asri. Ia dinamakan Pemandian Alam Pangkal Namu Sira-Sira, terletak di Desa Blinteng dan Durian Lingga, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pemandian alam ini sebenarnya adalah Bendungan Irigasi Namu Sira-Sira, yang dibangun untuk mengairi sawah petani. air yang jernih dan bersih serta pesona alam yang indah membuat bendungan irigasi itu menjadi salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi pada hari libur.
Suasana itulah yang terlihat hari-hari ini. Namun 42 tahun lalu, siapa yang bisa menduga warga Kecamatan Sei Bingai bisa memiliki irigasi yang mutifungsi seperti Bendungan Namu Sira-Sira. Ketika itu, sistem cocok tanam belum serempak. Warga menanam padi suka-suka sesuai selera masing-masing. Akibatnya, kerap terjadi selisih paham antarwarga karena memperebutkan aliran Sungai Bingai untuk mengairi sawah mereka.
Kondisi tersebut berubah saat Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan warga di Pasar IV Namu Terasi tepat pada hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1986. Mendengar masukan warga, Pak Harto pun mengeluarkan kebijakan untuk merehabilitasi irigasi Namu Sira-Sira dan membangun bendungan.
Kini warga bisa merasakan banyak manfaat dari keberadaan Bendungan. Selain bisa memperoleh air untuk sawah mereka, warga pun bisa menabur benih ikan di sepanjang saluran irigasi. Setiap satu pintu air mewakili satu kelompok karena di sepanjang saluran irigasi ini terdapat beberapa pintu air. Pada waktu yang disepakati, warga memanen ikan bersama-sama. Setiap anggota kelompok akan mendapatkan hasil panen sesuai kontribusi masing-masing. Kegiatan panen bersama ini bahkan menjadi tradisi yang mengundang wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Pendeknya, Bendungan telah menjadi sentra ekonomi yang meningkatkan taraf hidup warga.
Pada pemerintahan Pak Harto, rehabilitas dan pembangunan infrastruktur pertanian, terutama irigasi, menjadi fokus utama. Dalam Pidato Kenegaraan di hadapan DPR-GR pada 16 Agustus 1968, misalnya, Pak Harto menekankan pentingnya membangun irigasi. “Kita harus sadar bahwa kita harus memiliki bendungan-bendungan, memiliki irigasi-irigasi yang baik, agar air sungai bermanfaat buat pertanian dan mencegah banjir,” kata Pak Harto ketika itu.
Salah satu upaya mempercepat pembangunan irigasi, Pak Harto menginisiasi Operasi Bhakti yang dilakukan para prajurit ABRI. Di seluruh Indonesia, pada awal 1970-an saja, Operasi Bhakti berhasil memperbaiki dan membangun irigasi dan tanggul seluas 1,5 juta meter persegi.
Setidaknya dalam dua tahun pertama masa pemerintahannya, Pak Harto berhasil memperluas irigasi di sejumlah daerah sentra pangan. Yang paling terkenal adalah proyek Jatiluhur yang dapat memperluas area persawahan hingga 160 ribu hektar. Proyek utama irigasi lain di antaranya Proyek Serbaguna Brantas, Jawa Timur, Proyek Bendungan Tulungagung Selatan, Sumatera Selatan, Proyek Irigasi Karanganyar, Jawa Tengah, dan Proyek Irigasi Kelara, Sulawesi Selatan. Selain itu, masih banyak tersebar proyek irigasi kecil, seperti proyek Batanghari Utara, Sumatera Selatan, dan proyek Raman Utara (Lampung).
Pada Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus 1994, Pak Harto mengungkapkan bahwa selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, proyek pembangunan jaringan irigasi baru mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah sedangkan irigasi yang diperbaiki mencapai luas 2,9 juta hektar. Pembangunan irigasi juga mampu menyediakan air bersih sehingga cakupan penduduk yang menikmati air bersih mencapai 80 persen di perkotaan dan 50 persen di pedesaan. Padahal sebelumnya, hanya 20 persen penduduk di perkotaan yang memiliki akses ke air bersih. Yang lebih utama, kata Pak Harto, pembangunan irigasi telah membantu Indonesia mencapai swasembada pangan. “Pembangunan irigasi berperan besar bagi peningkatan produksi pertanian, terutama dalam mencapai swasembada pangan.”
Namun sayang, infrastruktur pertanian, terutama irigasi, kini kurang diperhatikan. Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar, misalnya, menilai kekeringan yang terjadi pada lahan pertanian di berbagai daerah disebabkan Pemerintah kurang memperhatikan infrastruktur pertanian. Selain itu, laju konversi lahan pertanian yang tinggi juga menjadi pemicu kekeringan.
Kurangnya pembangunan waduk atau bendungan baru menjadi sebab banyak sawah mengalami puso dan kekeringan yang berkelanjutan setiap tahun. “Kekeringan yang terjadi saat ini sesungguhnya bukan hanya karena musim kemarau yang panjang sebagai akibat anomali cuaca, tapi disebabkan minimnya alokasi anggaran dari Pemerintah terhadap pengembangan dan pembangunan infrastruktur pertanian,” ujarnya.
Masih menurut Rofi, investasi dalam infrastruktur pertanian cenderung terabaikan sejak reformasi, sehingga sektor pertanian mengalami stagnasi. Dia mencontohkan Provinsi Jawa Barat. Sebagai salah satu penghasil padi nasional, Jawa Barat mengalami kekeringan mencapai 37.000 hektar. Dari luas tersebut, sekitar 13.000 hektar di antaranya mengalami puso atau gagal panen. Ribuan hektare areal persawahan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menganggur atau tidak digarap petani selama musim kemarau akibat sulitnya pasokan air.
Jumlah bendungan yang ada di Indonesia saat ini sekitar 284 bendungan besar, hanya dapat mengaliri sekitar 800 ribu hektar atau 11 persen dari 7,5 juta hektar lahan irigasi teknis. Peran bendungan sangat vital untuk pertanian, terutama pada saat musim tanam ke dua dan seterusnya. Tersedianya air untuk irigasi merupakan faktor penentu dalam produksi beras sehingga kebutuhan pangan yang diharapkan dapat terpenuhi. Apalagi saat ini lebih dari 52 persen irigasi rusak sehingga bisa mengganggu peningkatan produksi pangan.
Perbaikan jaringan irigasi tersier lahan sawah sejak 2010-2012 baru terealisasi 808.968 hektar atau 21,3 persen dari total jaringan irigasi yang rusak, yakni 3,8 juta hektar sesuai hasil audit pada 2010. Berdasarkan hasil audit pada 2010, kondisi jaringan irigasi yang rusak mencapai 52 persen atau 3,8 juta hektar dari total luas lahan irigasi 7,5 juta hektar. Kondisi kerusakan jaringan irigasi itu dikategorikan dalam kerusakan berat 10 persen, rusak sedang 26 persen, dan rusak ringan 16 persen.
Kementerian Pertanian memiliki program perbaikan jaringan irigasi tersier. Jaringan tersier menjadi tanggung jawab petani, tetapi petani tidak mampu membenahi sendiri, sehingga Kementan ikut membantu perbaikan jaringan tersier yang rusak tersebut. Realisasi perbaikan jaringan tersier pada 2010 seluas 108.260 hektar, pada 2011 seluas 176.358 hektar, dan pada 2012, 524.350 hektar, sehingga total 2010-2012 seluas 808.968 hektar.
Karena sudah ada otonomi daerah, maka ini tanggung jawab jaringan irigasi pertanian ini dipikul bersama-sama oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap pengelolaan lahan irigasi seluas 2,32 juta hektar, provinsi 1,4 juta hektar, dan kabupaten/kota 3,5 juta hektar. Kriteria tangung jawab jaringan irigasi itu yaitu jaringan irigasi seluas lebih dari 3.000 hektar menjadi kewenangan pemerintah pusat, 1.000-3.000 hektar kewenangan provinsi, sedangkan kurang dari 1.000 hektar kewenangan kabupaten dan kota.[man]
Sumber: Harian Pelita, 1 Februari 2013