RI TETAP PERLUKAN DANA RUPIAH DALAM PINJAMAN LN
Jakarta, Kompas
Indonesia masih memerlukan tambahan dana rupiah yang lebih besar dalam setiap komitmen pinjaman luar negerinya guna membiayai berbagai proyek pembangunan di masa-masa mendatang.
Penegasan itu disampaikan Presiden Soeharto ketika menerima Menteri Negara Perencanaan Ekonomi Jepang, Tetsuo Kondo di Bina Graha, hari Rabu, “Pemerintah Jepang diminta untuk memikirkan secara positif tambahan penyediaan dana lokal tersebut,” kata Tondo mengutip Presiden Soeharto.
Kepala Negara menilai, kunjungan Tetsuo Kondo ke Indonesia untuk ketiga kalinya ini merupakan saat yang paling tepat, karena MPR mulai bersidang, dan pada bulan Maret nanti dibahas garis besar Repelita V Presiden mengharapkan pula agar tamu dari Jepang itu dalam kunjungannya sekarang bertukar pikiran dengan Bappenas untuk menyongsong era baru tersebut.
Presiden juga menjelaskan masalah yang dihadapi Indonesia akibat anjloknya harga minyak dipasaran dunia, serta berbagai langkah penyesuaian di bidang ekonomi untuk mengatasinya.
Dipertimbangkan
Ditanya tanggapannya untuk memperbesar dana lokal, Kondo mengatakan Pemerintah Jepang mempunyai prinsip bahwa komponen dana lokal tersebut besamya maksimal 30 persen dari jumlah pinjaman keseluruhan yang diberikan. ”Tapi karena ada permintaan lebih, maka hal itu akan dipertimbangkan cara positif,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, selama 20 tahun terakhir ini beberapa staf dari Pemerintah Jepang sudah bertugas dan membantu Bappenas, saat ini pun Badan Perencanaan Ekonomi Jepang tengah mengirimkan pejabatnya ke Bappenas, membahas perekonomian bilateral.
Menurut dia, pembahasan demikian bertambah penting dengan adanya kebijakan baru Pemerintah Jepang berupa restrukturisasi ekonomi yang diputuskan bulan Agustus lalu.
Kebijaksanaan baru itu termasuk perubahan kebijaksanaan ekonomi luar negeri Jepang, yang sebelumnya lebih menekankan pada ekspor kini beralih pada impor.
Kondo mengakui, kebijaksanaan lama telah menimbulkan masalah dengan berbagai negara lain, termasuk negara berkembang. Dengan AS misalnya, kebijaksanaan Jepang itu memperkuat semangat proteksionisme.
Sedangkan bagi negara berkembang, kebijaksanaan berorientasi ekspor menyebabkan negara bersangkutan kesulitan dalam membayar kembali pinjaman luar negerinya kepada Jepang.
Menurut Kondo, kebijaksanaan baru itu niscaya juga akan mempengaruhi berbagai industri yang telah tumbuh kuat di Jepang selama ini. Namun Pemerintah Jepang berencana untuk mengalihkan berbagai industri yang berorientasi ekspor itu ke bidang lain seperti perumahan, pekerjaan umum, dan industri canggih yang belum bisa dilaksanakan di luar negeri. “Dengan kebijaksanaan baru ini, impor Jepang dapat dilakukan secara stabil dan berkelanjutan,” kata Tetsuo Kondo yang baru selesai mengikuti sidang Dana moneter internasional (IMF) di Washington, AS.
Sumber : KOMPAS (01/10/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 546-547