RIZAL RAMLI: PEMERINTAH HARUS KAJI ULANG FASILITAS FISKAL[1]
Jakarta, Antara
Penurunan investasi didalam negeri, baik PMA maupun PMDN merupakan suatu sinyal bahwa pemerintah hams mengkaji ulang fasilitas fiskal yang selama ini dirasa kurang memadai. Pengamat ekonomi DR. Rizal Ramli ketika dihubungi ANTARA di kantornya di Jakarta, Kamis lebih Ianjut mengatakan, salah satu alasan investor untuk menanarnkan modalnya di suatu negara adalah karena adanya fasilitas pajak berupa keringanan pajak.
Hal itu dikatakan Rizal Ramli menanggapi adanya penurunan investasi dilihat dari persetujuan proyek yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) seperti yang dikatakan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo seusai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha beberapa waktu lalu.
Dalam keterangannya Sanyoto menjelaskan, sampai tanggal 15 Juli 1993 terdapat 144 proyek penanaman modal asing (PMA) yang disetujui dengan nilai investasi sebesar 4,8 miliar.
Sementara itu, khusus penanaman modal dalam negeri (PMDN) investasi yang disetujui hanya senilai Rp 14,9 triliun yang terdiri dari 225 proyek.
Angka tersebut lebih rendah dibanding tahun sebelumnya di mana untuk proyek PMA terdapat 162 proyek senilai 6,9 miliar dolar AS, dan PMDN sebanyak 230 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp18,3 triliun.
Menurut Rizal, salah satu faktor penurunan investasi itu karena investor asing maupun domestik merasa kebijaksanaan fiskal belum mendukung, seperti keringanan pajak.
Keringanan pajak tersebut dibutuhkan untuk menekan biaya produksi yang pada akhirnya dapat menghasilkan produk dengan harga bersaing.
Tidak Memadai
Rizal yang juga Presiden Direktur Econit Advisory Group itu mengingatkan, pemerintah harus menyadari bahwa keadaan iklim investasi Indonesia saat ini tidak seperti masa-masa yang lalu.
“Saat ini banyak negara seperti Cina dan Vietnam menawarkan insentif yang lebih baik kepada investor dalam kebijaksanaan fiskalnya,”kata Rizal.
Hal itu mengisyaratkan, Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam dan tersedianya tenaga kerja dengan biaya kompetitif.
Dia mencontohkan, apresiasi nilai yen Jepang terhadap dolar AS yang terjadi beberapa waktu lalu telah mendorong negara matahari terbit itu untuk merelokasi beberapa industrinya ke negara-negara yang dirasa potensial. Kenyataannya, Jepang lebih tertarik untuk merelokasi pabrik industrinya ke negara Cina, Vietnam dan Malaysia.
“Hal itu menunjukkan bahwa ketiga negara itu lebih baik dalam memberikan pelayanan investasi,”tegasnya.
Selain itu, dua paket deregulasi yang dikeluarkan pemerintah (Perbankan dan Sektor Rill) baru-baru ini dirasa tidak memadai.
“Deregulasi sektor riil yang diharapkan dapat menurunkan harga barang ternyata malah melambungkan harga,”katanya sambil menarnbahkan, kalau Kabinet yang barn ini masih membuat deregulasi yang tidak memadai, hal itu akan menirnbulkan citra yang buruk dari kalangan investor terhadap iklim dimia usaha di dalam negeri.
Khusus mengenai deregulasi investasi yang menurut rencana akan diumumkan akhir Agustus 1993, dia mengharapkan agar paket tersebut dapat memuat kebijaksanaan yang benar-benar memuaskan semua pihak.
“Sistem birokrasi perijinan harus dirampingkan, dan infrastruktur harus tersedia seperti yang diharapkan layaknya suatu industri yang modern, “jelasnya.
Menurut sistem perijinan usaha didalam negeri memang tidak efisien, karena untuk mendapatkan ijin usaha senilai lima juta dolar saja harus melalui menteri yang terkait, sedangkan di Cina untuk investasi senilai 125 juta dolar AS cukup hanya melalui Walikota setempat, demikian Rizal. (T.PE05/1:04PM 8/12/93!RE3)
Sumber:ANTARA(l2/09/1993)
__________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 294-296.