SETJARA AKADEMIS JUMLAH PARPOL TIDAK MENENTUKAN [1]
Jakarta, Berita Buana
Menanggapi gagasan Presiden Soeharto mengenai penjederhanaan kepartaian jang telah diterima oleh parpol2, Dr. Alfian mengemukakan bahwa ditinjau setjara akademis djumlah parpol dalam suatu negara tidak menentukan. Ada negara dgn sistim dua partai jang kehidupan politiknja tidak stabil dan tidak dinamis, sehingga kurang membantu lantjarnya pembangunan Negara itu, tapi ada djuga pembangunan sistim lebih dari dua partai. Demikian Dr. Alfian jang selandjutnya mengatakan, bahwa ditindjau dari pengetahuan ilmu politik, permasalahannja memang tidak terletak pada berapa djumlah parpol.
Dr. Alfin menjatakan, bahwa ideal adalah dua partai, Tapi realisasi tidak demikian. Sebab masjarakat Indonesia adalah pluralistis. Dapat menudju ke dua partai memerlukan waktu lama, jaitu melalui proses pendidikan politik. Inipun mungkin sekali djika sudah berdjalan, tidak lagi dua partai. Sebab dalam permainan politik, selain tjita2 djuga perlu mempeladjari realitas jang ada.
Setelah sistim politik bisa melahirkan partai majoritas dalam pemilu, maka masalahnja bagaimana supaya partai politik lain punja arti dalam politik, jaitu sebagai kekuatan kontrole terhadap Penguasa. Ini diperlukan agar dalam masjarakat, dan djumlah partai itupun tidak terlalu banjak, sehingga berani dan dapat keras mengeluarkan kepentingan masjarakat.
Sedjalan Dengan Hasil Pemilu
Apa jang diandjurkan oleh Presiden penjederhanaan kepartaian itu, menurut Dr. Alfian adalah sedjalan dengan hasil Pemilu. Sekalipun ada segi2 jang perlu diperbaiki, diantaranja adalah pengelompokkan2 jang dipandangnja tidak begitu relevant. Sebab, menilik tingkah-laku parpol2 selama ini, maka djelas ada parpol jang bisa saling kerdjasama, tapi ada pula jang tidak. Karena itu bisa diambil bentuk lain, jakni dengan tiga wadah itu diserahkan kepada masing2 untuk menentukan pilihannja.
Namun oleh Kepala Penelitian Perkembangan Politik dari Leknas tsb. diakui, bahwa ada ketjenderungan di negara2 berkembang untuk dapat membangun kekuasaan Eksekutif jang kuat, jang mampu melaksanakan program pembangunan tanpa mengalami oposisi jang tidak perlu. “Sebab sebagaimana diketahui” demikian Dr. Alfian, “oposisi kadang2 merupakan barang lux jang sangat mahal buat masjarakat”. Dalam hubungan itu ketjenderungan selandjutnja ialah membentuk partai jang kuat jang mendukung Pemerintah, seperti Golkar di Indonesia. Ini akan membantu lantjarnja proses pembangunan ekonomi.
Dr. Alfian tidak merasa khawatir akan timbulnja polarisasi dalam penjederhanaan kepartaian itu, selama dasarnja bukan program ideologi politik, tetapi program pembangunan. Bahkan dgn program pembangunan tsb. akan memudahkan masjarakat untuk berpindah dari satu “bendera” ke “bendera” jg lain.
Dalam pada itu dinjatakan pula, bahwa kalau tiga bendera jg ditudju, maka bentuk kepartaian di Indonesia akan berubah. Sehubungan dengan ini, apa jang pemah dikatakan oleh Pangdam VII Diponegoro tentang tidak perlunja ada kepengurusan parpol ditingkat desa, adalah sesuai dengan kepartaian sekarang. Sebab sistim kepartaian sekarang bisa mengatjaukan. Tapi dengan tiga kelompok partai, djustru sangat diperlukan adanja komunikasi langsung dengan rakjat. Sebab soalnja terletak pada tjara berkomunikasi jang perlu diperbaiki. Demikian Dr. Alfian.
Sumber: BERITA BUANA (10/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 855-856.