Jakarta, 15 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak Soeharto
di Tempat
SYAIR ABUNAWAS [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bapak Soeharto! Terimalah salam hormat saya teriring ucapan selamat ulang tahun dan doa semoga Bapak dan keluarga diberi kekuatan, kemampuan, ketabahan, keikhlasan, kebijaksanaan, kemudahan dan kelapangan dalam segala hal yang Allah ridhoi.
Saya bukan siapa-siapa, hanya warga masyarakat biasa yang merasa prihatin dengan keadaan Bapak dan keluarga. Namun demikian saya percaya Bapak mampu mengatasinya karena saya yakin Bapak tidak salah, menurut pendapat saya justru Bapak disalah gunakan oleh orang-orang di sekeliling Bapak.
Saya harap Bapak tidak tersinggung karena saya melampirkan syair pertobatan Abu Nawas, yang menurut saya sangat baik apalagi kalau dibacanya habis shalat malam. Semoga bapak berkenan, lebih kurangnya saya mohon maaf.
Oh Tuhanku, aku tak layak menjadi penghuni surga Tapi aku tidak bakal tahan di neraka Jahim Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosa-dosaku, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa besar Dosa bagaikan bilangan pasir Karena itu berilah aku taubat wahai Yang Maha Agung Setiap hari umurku berkurang, namun dosaku terus bertambah Bagaimana aku akan dapat menanggungnya?
Tuhanku, hamba-Mu yang penuh dosa telah datang kepada-Mu Dengan mengaku dosa -dosanya, dan telah pula memanggil nama-Mu Maka jika Engkau ampuni Engkau memang berhak mengampuninya Sekiranya Engkau tolak (taubatnya) Maka siapa lagi yang kami harapkan selain Engkau ? (DTS)
Gandaria, 5 Oktober 1997
Nia Kurnia
Jakarta
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 784-785. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.