J.B. Sumarlin Si Cabe Rawit

pidato soeharto

Oh, Ini Si Cabe Rawit[1]

J.B. Sumarlin[2]

Saya cukup terkejut ketika pertama kali bersalaman dengan Pak Harto di tahun 1971. Saya tak menyangka bahwa tokoh yang namanya sudah banyak saya dengar sejak masih menjadi anggota tentara pelajar (TP) di tahun 1948 itu berkomentar, “Oh, ini si Cabe Rawit”. Rupanya diam-diam Pak Harto sudah memperhatikan, bahkan telah memiliki julukan untuk saya.

Meskipun sudah menjadi menteri sejak tahun 1973, saya tidak pernah tahu jika Pak Harto ternyata punya julukan lain lagi buat saya: “Si Kancil”. Saya baru tahu dua puluh tahun kemudian, ketika menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Suweden, pengawal Pak Harto, yang memberitahu saya.

26 Maret 1973 saya dilantik sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Pak Harto memberi waktu sebulan untuk menyosialisasikan arti penting aparatur negara dalam menyukseskan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Tugas awal mentok di Departemen PU dan Departemen Perindustrian.  Mereka tidak setuju perampingan dan pemberontak demi efisiensi dan efektifitas kerja.

Ketika saya melapor kepada Pak Harto, yang keluar justru perintah agar saya menemui 34 menteri dan semua pimpinan lembaga non departemen. Pak Harto memang tidak kepalang tanggung mendukung kinerja departemen yang baru dibentuk ini. Kurang dari satu setengah bulan, keluarlah Keppres 74/75 tentang Birokrasi untuk Departemen dan Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (LPND).

Pesan lisan Pak Harto waktu itu adalah jajaran pegawai negeri harus melaksanakan tugas dengan segala kemampuan, melalui cara-cara pendekatan yang bijaksana dan bisa diterima semua pihak.

Mafia Berkeley

Orang banyak pernah santer membicarakan bahwa kebijakan pembangunan yang dijalankan Pak Harto dipengaruhi oleh suatu kelompok yang disebut Mafia Berkeley. Yang dituding sebagai mafia tersbeut adalah para arsitek ekonomi Indonesia di masa itu, yaitu para doktor ekonomi lulusan University of California, Berkeley, Amerika Serikat: Widjoyo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, dan saya.

Alih-alih mengomentari isu itu, Pak Harto malahan menekankan kami untuk lebih fokus pada pekerjaan. Ia mengajurkan untuk tidak usah menghiraukan omongan orang-orang luar yang tidak memahami persoalan. Dukungannya memecut semangat kami untuk mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa.

Harmoni di Ciomas

Pada 1974 merebak isu bahwa terjadi konflik dan ketidakcocokan antara Aspri Presiden dengan para menteri yang terdiri atas teknokrat ekonomi. Dilukiskan ada pertentangan antara kubu Soedjono Hoemardhani dan Ali Murtopo cs. dengan kubu M. Sadli, Emil Salim, dan Sudharmono.

Di tengah panasnya isu itu, dengan tenang Pak Harto mengumpulkan semua pembantunya untuk makan siang di rumah pertaniannya yang sederhana di Ciomas, Bogor. Bersama Ibu Tien, Pak Harto menciptakan suasana yang sangat santai, hangat, dan akrab di antara semua yang hadir. Di situ Pak Harto mengingatkan bahwa para pembantu presiden harus satu kata dalam mencapai tujuan bangsa dan negara.

Sisihkan dulu perbedaan pendapat yang tidak perlu dan tidak prinsip, demi terwujudnya pembangunan, yang merealisasikannya diperlukan energi lebih besar.

Sejak hari itu, isu mengenai adanya pertentangan di antara pembantu Presiden tidak muncul lagi.

Teruskan, Jangan Takut !

Dalam tugas penertiban, saya mendapati banyak penyimpangan, diantaranya dalam bentuk pungutan liar. Sejak itu kata pungli (pungutan liar) akrab di telinga publik. Untuk menyelidikinya, saya sampai harus menyamar ke tempat-tempat yang dikabarkan banyak terjadi pungli. Nama saya menjadi Achmad Sidik, nama yang saya gunakan ketika menjadi kurir di masa perjuangan tahun 1948. Saya sering menangkap basah pelaku penyunatan gaji pegawai negeri.

Suatu ketika saya keder juga. Oleh karena itu, saya ajak Sa’adilah Mursid yang memimpin sepasukan regu Brimob untuk menangkap basah pungli di Kantor Pajak Batu Tulis, Jakarta Pusat. Konon di situ ada aparatnya yang sering menggertak dengan pistol. Dibantu Irjen Keuangan Brigjen TNI Atang Yoga Swara yang waktu itu berpakaian sipil, kami inspeksi mendadak ke Kantor Pajak. Hari itu juga empat belas pegawai pajak ditahan dan dibawa ke Jalan Gresik.

Di mana-mana ada pungli. Di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, seorang pensiunan dari Padang harus menunggu SK Pensiunnya berhari-hari walaupun ia sudah membayar juga untuk itu. Ini sangat meresahkan, seorang pensiunan diremehkan oleh aparatur departemennya sendiri. Saya pun tetap melakukan upaya pemberantasan praktek penyelewengan tersebut.

“Bersih-bersih” seperti itu juga membuat saya diancam keponakan salah satu pejabat tinggi. Hal itu saya laporkan kepada Pak Harto dan beliau berkata bahwa pajak penting bagi negara, maka teruskan saja tugas saya dan tidak usah takut. Dalam penugasan-penugasan itu saya menemukan kepribadian Pak Harto yang menarik. Beliau sangat disiplin, selalu mengejar pembenahan dan menghargai orang-orang yang membantu menjalankan amanatnya.

Batal Beli Pesawat Kepresidenan Demi Selamatkan Uang Negara

Pak Harto juga tetap tenang di saat menghadapi sejumlah kesulitan dan masalah besar. Salah satu kasus yang hampir membangkrutkan negara adalah krisis keuangan Pertamina pada 1975. Bersama beberapa menteri, saya ditugasi menyelesaikan beban-beban Pertamina. Setelah penyelidikan dan pengumpulan data, ketika saya berniat melapor, ada informasi bahwa Pak Harto hendak ke luar negeri dalam waktu lama.

Saya pun nekat berangkat ke kediaman Pak Harto. Sesampainya saya di sana ketika itu baru pukul 07.00 dan beliau sudah hendak berangkat ke Bandara Halim Perdanakusuma. Rupanya Pak Harto memang menantikan laporan itu sehingga beliau mengajak saya ikut semobil dengannya. Tiba di bandara, pengawal yang membukakan pintu mobil Pak Harto terperangah karena yang keluar malah salah satu menterinya.

Meskipun saat itu masalah Pertamina begitu besar —dan setiap perundingan berjalan alot bahkan ada yang berujung di pengadilan— dengan tenang dan sama sekali tidak panik, Pak Harto memberikan taktik dan strategi penyelesaian kasus itu tahap demi tahap. Akhirnya beberapa beban utang Pertamina bisa dikurangi. Sejumlah proyek yang tidak utama, dihentikan. Sejumlah proyek prioritas dilanjutkan dengan biaya yang masuk akal. Semua perjanjian yang tidak sempurna, mengganggu, dan membebani anggaran keuangan negara, dibenahi dan dinegosiasikan lagi. Hasilnya, nilai-nilai kontrak perjanjian sipil dan utang dagang, dengan semula US$ 2,5 miliar bisa diperkecil jadi sekitar US$ 1 miliar. Kontrak sewa beli tanker samudera dan tanker dalam negeri yang semula membebani Pertamina US$ 3.3 miliar, dibatalkan dengan biaya US$ 260 juta.

Untuk menertibkan fungsi pokok pertamina, Presiden memutuskan proyek penting seperti LNG, Kilang Minyak Cilacap, Pupuk Kaltim, Pipa Gas Cimalaya senilai US$ 1.9 miliar diteruskan. Sedangkan tiga proyek besar —Krakatau Steel, Telekomunikasi, dan Pupuk Kaltim, senilai lebih US$ 2,7 miliar— dialihkan penanganannya kepada instansi pemerintah yang fungsional, sehingga mengurangi kewajiban Pertamina. Sejak Mei 1975 Presiden juga memutuskan semua penerimaan yang berasal dari kontrak karya dan kontrak bagi hasil, disetorkan langsung ke kas negara, tidak lagi melalui Pertamina.

Ketegasan, konsistensi, dan kebijaksanaan Pak Harto sejak awal adalah kunci sukses penanganan krisis Pertamina. Pak Harto juga selalu lebih mendahulukan kepentingan negara yang lebih besar. Pada tahun itu juga, karena kondisi keuangan negara yang tengah dalam proses pengetatan, ditambah sejumlah persoalan seperti beban utang Pertamina yang besar, pembelian pesawat kepresidenan senilai US 16 juta dibatalkan. Yang meminta pembatalan justru Pak Harto sendiri.

Banyaknya beban utang dan sejumlah langkah strategis yang akan ambil, tidak semuanya diungkap ke masyarakat. Merahasiakan suatu masalah yang belum terpecahkan dan belum ada jalan keluarnya juga pernah ditekankan Pak Harto. Pak Harto tidak ingin pemberitaan yang lepas kontrol justru meresahkan masyarakat dan mengganggu proses negosiasi dengan pihak-pihak di luar negeri yang bertransaksi dengan Pertamina.

Jika Ada Backing-Backingan…

Suatu ketika,ada sejumlah tanah dijual murah dan tidak sesuai ketentuan oleh Pemda DKI. Pak Harto ingin saya membenai masalah yang merugikan negara itu. “Jika ada backing-backing-an, libatkan Pangkopkamtib Sudomo, ” pesan Pak Harto. Akhirnya setelah diadakan penafsiran ulang dan negosiasi dengan pembeli, sejumlah Rp. 1 miliar dapat dikembalikan kepada negara. Jumlah itu sangat berharga di tahun 80-1n. Setiap kemajuan selalu dilaporkan langsung kepada Pak Harto yang menyimak dengan teliti dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas. Pak Harto juga menginstruksikan agar hal-hal yang keliru dan merugikan negara jangan sampai terulang.

Ketika itu pula Pak Domo mengajukan anggaran Rp. 1 miliar kepada Pak Harto untuk membiayai penertiban yang tengah dilakukan Kopkamtib. Kontan Pak Harto berkata, “Nah kita baru saja meluruskan hal yang tidak benar. kalau nanti dana yang dikembalikan itu tidak masuk kas negara, maka terjadi pelahgunaan dan penyimpangan lagi namanya.”

Memerhatikan Nasib Anak Buah

Pak Harto tidak pernah memberi hadiah kepada para menterinya, namun beliau selalu memerhatikan nasib anak buahnya. Tahun 1979 saya ditanya Sudharmono, Wapres ketika itu, “apa kamu sudah punya rumah?”

“Belum Pak,” jawab saya yang telah menjadi pegawai negeri sejak 1956. Ketika itu dengan posisi Skretaris Dewan Moneter, saya menempati rumah dinas dari Bank Indonesia, di Menteng. Menurut ketentuan waktu itu, tanah dan rumah di atasnya yang merupakan aset BI, bisa dibeli dengan prinsip membeli fasilitas negara. Sesuai peraturan, Pak Harto mengizinkan dan berpesan agar mengikuti aturan yang berlaku. Beliau mengatakan bahwa rumah itu perlu agar kita bisa bekerja dengan tenang.

Saya membeli rumah seharga Rp. 25 juta itu melalui 86 kali cicilan. Kemudian rumah ini saya sewakan lima tahun. Uang sewanya saya gunakan untuk membeli rumah bekas aset Pertamina di kawasan Kuningan. Proses saya mendapatkan mendapatkan rumah itu merupakan bentuk perhatian Oak Harto kepada anak buah dengan cara yang sulit dilupakan.

Pop Mie di Jalan Cendana

Suatu sore di tahun 1984 saya menghadap Pak Harto di kediaman beliau. Pak Harto minta disiapkan makanan ringan, eh yang datang dua gelas Pop Mie. Pegawai dapur membuka plastik penutup lantas menuangkan air panas. Setelah menunggu sekitar tiga menit, baru mi instan itu diaduk. Kami pun menyeruput kuahnya dan makan bersama. Itulah pertama kali saya makan Pop Mie.

Orang mengira makanan yang disuguhkan Pak Harto itu mewah dan mahal. Meskipun beliau itu presiden, Pak Harto tidak canggung menyantap mi instan seperti rakyat kebanyakan di luar.

Naik Helikopter Presiden

Pak Harto selalu melihat masalah secara proporsional, melakukan crosscheck  dan mencarikan solusi secara cepat dan tepat. Suatu hari di pertengahan tahun 1985 tiba-tiba beliau memerintahkan saya meninjau pelabuhan Merak yang sudah berhari-hari macet parah, “Coba kamu ke sana pakai helikopter yang ada di Halim”.

Malam harinya, sebelum melapor kepada Pak Harto, saya sempat membaca salinan surat yang dikirimkan Menteri Perhubungan kepada Presiden. Isinya keluhan Menhub bahwa kemacetan di Merak disebabkan dana bantuan Jepang yang ngendon[3] di Bappenas tidak cair-cair. Bantuan itu untuk membangun infrastruktur di Merak untuk menampung truk dan kendaraan yang akan naik kapal feri.

Saya pun membeberkan kondisi sebenarnya, bahwa bantuan Jepang itu baru sampai tahap survei teknis saja, belum dilaksanakan karena dananya memang belum turun. Saya pun mengusulkan dana crash program yang bisa dimanfaatkan dalam kondisi mendesak.

Mendengar paparan saya sekaligus solusi alternatif yang bisa dilaksanakan pemerintah, Pak Harto langsung menanyakan langkah apa yang terbaik harus diambil agar lalu-lintas di Merak lancar.

“Perhubungan itu sumbernya dari mana?” tanya Pak Harto. Saya diam saja, tidak menjawab. Namun dari pertemuan itu saya mendapat kesan mendalam bahwa tampak sekali jika Pak Harto tidak berkenan tidak langsung menyalahkan orang lain. Sebaliknya, beliau selalu ingin lebih dahulu mengetahui akar permasalahannya. Pak Harto juga senang jika para pembantunya melapor dan sekalian memberikan jalan keluarnya.

Tunggakan Pajak PT PAL

Jalan keluar juga harus dicari ketika Menristek B.J. Habibie meminta agar tunggakan pajak US$ 40 juta dari galangan kapal PT PAL di Surabaya, dihapuskan. Di benak saya, sesuai prinsip keuangan negara, hal ini tidak bisa dilakukan. Saya memberikan alternatif membawa setoran pajak senilai US$ 40 juta itu bisa tidak ditagihkan, namun kemudian dialihkan menjadi penyertaan modal negara di PT PAL.

Proses pembebasan pajak tersebut menurut UU tidak bisa dilakukan oleh seorang menteri, namun dimungkinkan jika Presiden mandataris MPR sebagai kepala negara menghendakinya demi kepentingan negara. Saya menyiapkan sebuah surat untuk ditandatangani Presiden.

Untuk menyampaikan surat tersebut ke Presiden, saya mengajak Mensesneg Moerdiono, juga pejabat tinggi pemerintahan lain yang lebih senior seperti Sudharmono dan Ali Wardhana. Pak Harto menyetujui surat itu dan kemudian menandatangani surat pengalihan setoran pajak menjadi penyertaan modal negara ke PT PAL, agar PT PAL tidak terbebani, untuk selanjutnya bisa beroperasi secara normal.

Namun seusai bertemu Presiden, di luar ruangan, Ali Wardhana menegur saya, “Kok kamu kurang ajar sampai mendikte Pak Harto untuk meneken surat penyertaan modal ke PT. PAL?”. Saya mengatakan bahwa langkah itu telah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan menjadi jalan terbaik yang masuk akal.

Entah Bocoran dari Mana

Tahun 1986, sebagai Ketua  Bappenas saya harus peka dengan program-program pemerintahan di lapangan, termasuk pengamanan penyediaan pangan.  Ketika itu dalam mengatasi hama wereng cokelat yang mulai mewabah, saya melihat perbedaan yang tajam antara laporan dari dinas-dinas pertanian setempat dan Departemen Pertanian, mengenai luas sawah yang diserang hama.

Sayapun terjun langsung ke sentra padi Jawa Tengah seperti Pemalang, Banyumas, dan Klaten, tanpa memberitahu pemda setempat, agar bisa melihat langsung secara leluasa. Saya mengajak beberapa wartawan untuk menjadi saksi dan melihat apa yang terjadi. Saya juga meminta data terbaru dan terakurat dari dinas pertanian setempat. Kesimpulan saya, jika wabah wereng ini meledak, bisa mengganggu musim tanam dan panen tahun 1987. Di sisi lain, saya ragu dan bingung melaporkannya kepada Presiden karena merasa tidak terkait langsung  dengan masalah pertanian.

Jalan dibukakan Tuhan, saya diajak Pak Harto ikut bersama sejumlah menteri untuk meresmikan proyek metanol di Bontang, Kalimantan. Waktu itu saya merangkap jabatan Menteri Pertambangan dan Energi ad interim. Entah mendapat bocoran dari mana, tiba-tiba Pak Harto menyapa saya, “Kamu mendadak ke Jawa Tengah, ada apa?”

Kemudian beliau mendengarkan laporan saya dengan tenang, meminta saya menelitinya lebih lanjut dan segera melapor kembali. Saya lantas mengoordinasikan pertemuan intensif dengan para pejabat dan ahli hama wereng dan Departemen Pertanian dan sejumlah universitas, hasilnya diserahkan kepada Pak Harto dua minggu kemudian.

Hanya dua hari kemudian, 5 November 1986 Pak Harto mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Cokelat pada Tanaman Padi. Inti dari Inpres itu adalah bahwa swasembada pangan, terutama beras, harus dijaga. Maka penggunaan varietas padi tahan wereng  dan pemakaian isektisida sebagai pilihan terakhir harus dilaksanakan dengan bijaksana. Aplikasi insektisida harus memperhatikan kelestarian musuh alami hama wereng cokelat sendiri. Dalam kaitan dengan Inpres tersebut juga dikeluarkan larangan penggunaan 57 macam/merek insektisida untuk tanaman padi.

Pak Harto meminta delapan gubernur yang lahannya terkena wereng cokelat sudah ada di Bina Graha pada 6 November 1986. Dipanggilnya pula Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Pertanian, Kepala Dinas Pertanian daerah, Bupati, dan Kelompok Tani. Dalam kesempatan itu Pak Harto berpesan agar pejabat memberikan laporan apa adanya dan secepat mungkin jika ada kondisi yang buruk. Hal itu harus dilakukan agar bisa diambil tindakan penanganan secara cepat. Laporan yang disampaikan juga jangan hanya ABS (Asal Bapak Senang). Selanjutnya Pak Harto menguraikan langkah-langkah cepat dan tepat untuk menangani serbuan wereng cokelat, berdasarkan inpres yang baru dikeluarkan.

Kebijakan Pak Harto dalam pengendalian hama wereng cokelat melalui Integrated Pest Management (IPM) tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari IRRI (International Rice Research Institute), FAO (Food and AGriculture Organization) dan IGGI (Intergovernmentar Group on Indonesia).

Merehabilitasi Bawahan Yang Benar

Saya bersyukur karena hama wereng cokelat akhirnya bisa dikendalikan, namun saya prihatin karena Dirjen Tanaman Pangan yang telah menjalankan tugasnya sepenuh hati, dipecat. Kembali saya melapor sesuai fakta yang ada kepaad Pak Harto dan beliau memerintahkan, “Selesaikan seperti dulu”.

Yang dimaksud Pak Harto adalah peristiwa delapan tahun sebelumnya. Pada waktu itu ada yang melapor kepada Pak Harto bahwa seorang Inspektur Jenderal di suatu departemen sudah saatnya pensiun. Padahal pejabat itu belum saatnya berhenti karena usia pensiunnya masih jauh. Sayapun melapor kepada Pak Harto bahwa justru Irjen ini banyak memberikan data dan informasi akurat mengenai hal-hal menyimpang yang harus dibenai di departemennya.

Pak Harto memerintahkan saya untuk menyelamatkan sang Irjen tanpa mengakibatkan terjadinya pertentangan di tubuh departemen itu. Kemudian mantan Irjen itu mendapat jabatan baru di Departemen Perindustrian, menjadi dubes, lantas menjabat Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan.Tindakan Pak Harto merehabilitasi bawahan yang bertindak baik dan benar membuat saya merasa tenang. Ia mampu bersikap adil tanpa harus memperkeruh kondisi di birokrasi pemerintahan.

Tiga Sa

Di atas pintu keluar dari ruang kerja Pak Harto di Cendana, ada tulisan “sa sa sa”. Suatu kali usai memberi laporan, saya menanyakan arti tiga kata pendek itu kepada Pak Harto yang kemudian menjelaskan dengan kalem dan sabar.

Sa pertama singkatan dari sabar. Menjadi orang itu harus selalu sabar agar bisa mengambil keputusan dengan cermat dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Sa kedua adalah sareh, yang dalam bahasa Jawa letaknya satu tingkat di atas sabar. Orang itu hendaknya secara batin bisa bersyukur, mengikuti hati nurani, dan menata budi pekerti sehingga tidak lelah untuk menjadi sosok yang sempurna, meskipun tantangan kehidupan yang dihadapi banyak. Sa terakhir adalah saleh. Orang harus taat menjalankan agama, semakin beriman, dam menjadi manusia yang benar-benar religius.

Tiga sa itu benar-benar tercermin dari kepribadian Pak Harto. Selama membantu beliau antara tahun 1973-1998, kadang saya juga dimarahi. Cara marah Pak Harto halus, cukup dengan intonasi dan mimik yang serius saja, sehingga sebagai orang jawa saya sudah tahu sendiri ada hal-hal tertentu yang Pak Harto tidak berkenan. Saya justru senang dimarahi karena dengan cepat bisa mengetahui hal-hal yang harus segera dibenai lagi.

***


[1]       Penuturan J.B. Sumarlin sebagaimana dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 154-163.

[2]       Johanas Baptista Sumarlin, lahir di Nglegok, Blitar, Jawa Timur tanggal 7 Desember 1932. Lulus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1950, Sumarlin melanjutkan pendidikan di University of California, Berkeley, Amerika pada 1960, dan meraih doktor di Universitas of Pittsburg pada 1968. Sempat mengajar di almamaternya, Sumarlin kemudian menjadi Wakil Ketua Bappenas, berlanjut Menteri Keuangan, hingga terakhir Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 1993-1998. Ia memperoleh Bintang Mahaputra Adipradana III pada 1973.

[3]  Mengendap

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.