SILANG PENDAPAT PERDAGANGAN BEBAS DALAM APEC [1]
Oleh Askan Krisna
Jakarta, Antara
Liberalisasi perdagangan menjadi salah satu isu utama yang perembukannya cukup menyita waktu dalam serangkaian pertemuan APEC yang kini berlangsung di Jakarta. Kelompok Orang-Orang Terkemuka (EPG) 31 Agustus lalu telah menyampaikan laporan mereka betjudul ‘Achieving the APEC Vision Free and Open Trade in the Asia Pacific’ kepada Presiden Soeharto, selaku Ketua APEC.
Laporan itu mendapat sambutan para pemimpin ekonorni Asia Pasifik, dan para menteri terkait juga meminta agar EPG mengajukan laporan lebih khusus atas gagasan gagasan mereka. Laporan tersebut diharapkan akan dijadikan petunjuk bagi kerjasama APEC, khususnya dalam rangka ‘membuka kawasan’ sebelum mencapai ke arab liberalisasi perdagangan di Asia Pasiflk. Konperensi Tingkat Menteri (KTM) yang berlangsung 11-12 November di Jakarta dibarapkan bisa mengambil keputusan berjangka panjang yang mengarah kepada perdagangan dan investasi bebas di kawasan yang perkembangan ekonominya paling subur ini. Proses ke arab itu dibarapkan dimulai tahun 2000 dan mencapai final tahun 2020.
Pencapaian sasaran itu, agaknya tak lepas dari peran serta sektor swasta. Karena itu, sektor swasta di negara-negara APEC turut dilibatkan dalam menyukseskan tujuan tersebut. Bisa diperkirakan, negara-negara ekonomi majulah yang akan bergerak cepat dalam proses perdagangan bebas dan Iiberalisasi perdagangan di kawasan ketimbang anggota-anggota APEC dari kelas negara berkembang.
Dalam kaitan itu, EPG mengisyaratkan pencapaian tujuan itupun harus mendapat dukungan setiap negara APEC, dengan ditopang perundingan-perundingan yang mengarah pada kesepakatan liberalisasi perdagangan.
Hambatan
Pada dasarnya, dalam pelaksanaan konsep ‘membuka kawasan’ itu EPG berpendapat, semua anggota APEC setuju terbadap konsep liberalisasi. Sebagai konsekuensinya, tentunya, masing-masing negara APEC perlu bertindak untuk mengurangi adanya bambatan yang bisa menjadi kendala pelaksanaannya, dan ini sejalan dengan pasal 24 Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Tarif(GATT).
Dalam laporan itu, EPG mengisyaratkan program-program yang perlu diambil dalam rangka memfasilitasi perdagangan bebas di kawasan, antara lain disetujuinya prinsip-prinsip investasi,barrnaninasi atau saling pengakuan atas standar produksi serta prosedur teknis, kerjasama keuangan dan masalah-masalah makro-ekonomi.
Selain itu, tercantum menjadi syarat pula kerjasama mengenai isu lingkungan bidup, ‘task force’ untuk mengbadapi pelanggaran anti dumping dan persaingan kebijakan. Disamping itu, direkomendasikan pula oleh EPG tindakan pendukung seperti pengembangan infrastruktur, sumberdaya manusia dan bimbingan kepada usaha menengah dan kecil.
Namun para tokoh pengusaha yang tergabung dalam Pacific Business Forum (PBF) dalam laporannya berjudul ‘A Business for APEC: Strategic for Growth and Common Prosperity ‘ mengharapkan perdagangan bebas dan liberalisasi komplit di kalangan negara-negara APEC sudah bisa mulai dilaksanakan tahun 2010.
Percepatan itu menurut PBF didasarkan pada prinsip-prinsip kawasan terbuka, yang sudah menjadi komitmen bersama APEC. Karena itu kalangan ini menyerukan untuk dipercepatnya liberalisasi perdagangan dan investasi serta fasilitas-fasilitas pendukungnya, untuk mendorong keberlanjutan pertumbuhan kawasan Asia Pasiflk yang dinamis. Sementara itu para Menteri Perdagangan APEC ketika bertemu di Jakarta 6 Oktober di Jakarta berusaha mengkaji kembali hasil-hasil yang telah dicapai Putaran Uruguay serta implikasi-implikasinya di kawasan, disamping mempertimbangkan sikap yang diambil bagi tindak-lanjut liberalisasi perdagangan baik di kawasan maupun global.
Meskipun demikian, masalah perdagangan bebas di Asia Pasiflk (free trade in the area) dan perdagangan bebas Asia Pasiflk (free trade area) serta liberalisasi perdagangan di Asia Pasiflk (trade liberation in the region) masih tetap menjadi bahan bahasan menarik, baik menyangkut istilah dan cakupannya. Seorang delegasi Korea Selatan dalam pertemuan SOM (senior official meeting), Jaeng Bong-ro, misalnya, mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan jadwal waktu penetapan liberalisasi perdagangan di kawasan, apakah mulai tahun 2010- 2020.
“Penetapan waktu itu, justru akan menjadi masalah bagi negara-negara berkembang,” katanya.
Tidak Ditentang
Presiden Republik Rakyat China,Jiang Zemin, mengatakan pada prinsipnya negaranya tidak menentang batas waktu bagi diterapkannya area perdagangan bebas di Asia Pasiflk, namun Beijing menginginkan partner dagang yang realistis dalam menentukan batas waktu.
Beijing, selama ini khawatir APEC akan terlalu banyak didominasi oleh negara negara Barat (maju), dan terlalu cepat menjadi blok perdagangan, meskipun menurut Jiang, bisa saja APEC menjadi kawasan perdagangan bebas dalam jangka panjang. “Namun, sebaiknya penetapanjadwal waktu pemberlakuan kawasan bebas itu dilakukan secara longgar,”katanya.
Kehadiran perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik, bagaimanapun merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Bagi Indonesia, yang bagaimana semua pihak menghadapinya. Dalam kaitan ini, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Marzuki Usman dan pengamat ekonomi CSIS,Dr. Mari Pangestu mengingatkan negara-negara ASEAN tak perlu khawatir terhadap kehadiran APEC. Kedua pengamat ekonomi berpendapat, kehadiran APEC tak akan mengurangi peranan ASEAN dan ASEAN justru bisa dimanfaatkan sebagai ‘bargaining position’ di dalam APEC. Yang penting, efesiensi, efektivitas dan sumberdaya manusia yang menjadi kunci perdagangan bebas, ditingkatkan.
Asia Pasifik yang selama ini mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi dan menjadi ‘lokomotif’ perekonomian dunia, memang pasar yang menjanjikan bagi produk produk negara maju. Dari kalangan DPR, Budi Hardjono mengingatkan, bagaimanapun keputusan yang akan diambil dalam pertemuan APEC jangan justru menjerat dan mempersulit perekonomian Indonesia sendiri, mengingat RI sebenarnya belum siap melaksanakan liberalisasi ekonomi/perdagangan seluas-luasnya.
“Memang, kita bangga dan mendapat kehormatan bisa berperanserta sebagai tuan rumah penyelenggara pertemuan para pemimpin ekonomi APEC. Namun juga kita harapkan, agar basil pertemuan APEC benar-benar bermanfaat bagi negara-negara anggotanya, bukan justru mempersulit,” kata Budi Hardjono.
Jika perdagangan bebas betul-betul akan menjadi kesepakatan APEC, konsekuensinya sektor industri dan perdagangan harus bersaing dengan negara-negara besar yang mempunyai tingkat efesiensi tinggi, seperti AS, Jepang, Korea Selatan.
“Kita harus benahi perangkat pendukungnya,jangan sampai kita yang akan kedodoran,” demikian Budi Hardjono. (U.Jkt-001/15:00/EU03/15.19)
Sumber: ANTARA(11/ 1111994)
____________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 424-427.