SITUASI TIMAH INTERNASIONAL TIDAK TERLALU MENGKHAWATIRKAN

SITUASI TIMAH INTERNASIONAL TIDAK TERLALU MENGKHAWATIRKAN

 

Jakarta, Antara

Konsumsi timah dunia sekarang sebenarnya lebih tinggi dari tingkat pemasokan sehingga harga mulai membaik, namun Indonesia harus tetap mewaspadai situasi karena cadangan timah internasional masih cukup besar.

Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita mengatakan hal itu kepada wartawan setelah bersama Dirut PT (Persero) Tambang Timah, Soedjatmiko melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Senin tentang perkembangan BUMN tersebut.

“Sebetulnya konsumsi lebih besar dari suplai. Hanya karena stoknya yang besar, maka stoknya yang dipakai. Tapi sekarang stoknya makin lama makin menipis sehingga harga dengan sendirinya semakin membaik,” kata Ginandjar.

Sementara itu Dirut PT Tambang Timah, Soedjatmiko mengatakan untuk beberapa tahun mendatang hingga tahun 1992 pihaknya memperkirakan permintaan terhadap timah lebih besar dibanding pemasokan.

Harga timah di pasaran dunia pada 1984 tercatat 12.500 dolar AS/ton, sedangkan biaya produksi di Indonesia sekitar 10.000 dolar AS/ ton.

Harga barang tambang ini pada 1985 mulai merosot menjadi 11.500 dolar AS/ ton, walaupun hal tersebut bisa diimbangi dengan penurunan ongkos produksi menjadi 9.700 dolar AS/ ton.

”Tahun 1986, harga rata-rata anjlok menjadi 6.300 dolar AS/ ton,” ujarnya seraya menambahkan justru pada saat itu PT Tambang berhasil meningkatkan produksi menjadi 25.000 ton dibanding 22.000 ton pada 1985. Sedangkan pada tahun silam, BUMN ini menghasilkan 28.000 ton, dan tahun ini direncanakan 30.000 ton.

Dirut Tambang Timah Soedjatmiko mengatakan faktor lain yang mendorong kenaikan harga timah selain akibat mulai pulihnya industri di beberapa negara juga karena Amerika Serikat memenuhi permintaan negara-negara produsen timah lainnya untuk membatasi pelemparan cadangannya ke pasaran internasional.

Negara adikuasa ini setiap tahun melepaskan cadangan timahnya sekitar 4.000 ton, kata Soedjatmiko ketika menjelaskan Perhimpunan Negara Penghasil Timah (ATPC) pernah mendesak AS agar membatasi pelemparan cadangannya antara 3.000-4.000 ton/tahun.

Ketika berbicara tentang penanganan timah di dunia internasional, ia mengatakan selama ini Indonesia menjadi anggota APTC yang setiap tahunnya menentukan kuota produksi tiap anggotanya. Anggota ATPC adalah Indonesia, Thailand, Bolivia, Malaysia, Zaire, Nigeria, serta Australia.

Indonesia pada 1987 memperoleh kuota 24.500 ton, meningkat menjadi 29.000 ton tahun ini, sedangkan Malaysia tetap menjadi produsen terbesar dengan kuota 31.000 ton. Namun ada juga negara yang tidak menjadi anggota ATPC misalnya Brazil dan RR Cina.

Ia mengatakan, Indonesiajuga menjadi anggota Dewan Timah Internasional (ITC) yang terdiri atas negara produsen dan konsumen.

ITC bekerja berdasarkan persetujuan tentang tirnah (Tin Agreement).

Persetujuan yang berlaku sekarang dan akan berakhir pertengahan 1989 tidak akan diperpanjang lagi. Pertengahan 1989 akan dibentuk badan baru yaitu International Tin Study Group, yang berfungsi sebagai pengganti ITC. Indonesia telah ditunjuk sebagai pimpinan badan tersebut.

 

 

Sumber : ANTARA(04/07/1988)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 558-559.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.