Beberapa Kesan Saya Mengenai Pak Harto
Sudharmono, SH (Wakil Presiden, masa bakti 1988-1993)
Pendahuluan
Banyak orang menganggap saya adalah “dekat” dengan Pak Harto. Memang, nyatanya saya telah bertugas selama lebih dari 25 tahun membantu Pak Harto sebagai Sekretaris Presidium Kabinet, Sekretaris Kabinet, Menteri/Sekretaris Negara, dan sekarang ini, Wakil Presiden. Tentunya banyak pengetahuan saya tentang sikap, kebijaksanaan, gagasan, kepemimpinan dan kepribadian beliau, namun untuk mengutarakan secara tertulis kesankesan pribadi yang obyektif dan “pas”, jelaslah tidak mudah.
Di bawah ini saya coba untuk mengutarakan beberapa kesan saya pribadi yang merupakan peristiwa-peristiwa atau sikap dan kebijaksanaan yang diambil Pak Harto yang selalu melekat dalam ingatan saya sebagai hal-hal yang menarik dan tidak terpikirkan sebelumnya bagi saya.
Kesan-Kesan Pertama
Saya bertemu dengan Pak Harto pertama kali pada tahun 1960. Sebelumnya saya hanya mengenal Pak Harto dari peranan beliau yang menonjol sebagai komandan yang memimpin serangan 1 Maret di Yogya dan kemudian sebagai Panglima Diponegoro, Penguasa Perang Daerah Jawa Tengah, yang mengambil tindakan di bidang ekonomi yang kurang disetujui oleh pusat. Dari apa yang saya dengar itu, saya mendapat kesan bahwa beliau adalah seorang komandan yang tegas dan berani mengambil keputusan.
Pada tahun 1960, saya bertugas di Staf Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) dan berkantor di Merdeka Barat, Jakarta. Waktu itu MBAD, kalau tidak salah atas prakarsa almarhum Jenderal Gatot Subroto, sedang mengusahakan peningkatan disiplin para perwira yang bertugas di Garnizun Jakarta. Para perwira ini, termasuk saya, setiap hari Sabtu diwajibkan mengikuti latihan dasar kemiliteran, seperti baris-berbaris dan sebagainya di Stadion Ikada (sekarang Lapangan Monas). Dalam rangka latihan itu, pada suatu hari Sabtu diadakan latihan menembak bertempat di Lapangan Tembak Cibubur.
Pak Harto yang ketika itu adalah Deputi KSAD datang menginspeksi kami yang sedang latihan menembak dengan pistol dalam jarak dua puluh meter dengan sepuluh peluru. Beliau memeriksa hasil tembakan kami satu per satu. Kebetulan hasil tembakan saya hanya enam peluru yang mengenai sasaran.
Melihat hasil yang saya peroleh itu, sambil senyum beliau memberi komentar: “Ini perlu latihan lebih banyak; agar hasilnya lebih baik“. Hanya itulah petunjuk beliau. Saya pun merasa besar hati, karena semula saya khawatir dan mengira bahwa beliau akan memperingatkan saya dengan nada yang lebih keras atas hasil yang tidak memuaskan itu. Dari pertemuan dalam inspeksi yang sepintas itu, saya menarik kesimpulan bahwa disamping beliau adalah seorang komandan yang tegas dan berani, ternyata beliau mempunyai sifat yang “mbapaki”, suka membimbing.
Kesan saya pada pertemuan pertama kali dengan Pak Harto itu ternyata tidak keliru. Karena nyatanya selama beliau memimpin kita semua, sebagai Presiden/Kepala Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang besar ini, beliau selalu menunjukkan kepemimpinan yang terang dan menenangkan dalam membimbing kita para pembantu beliau. Beliau selalu memberi waktu kepada para menteri dan pejabat-pejabat lainnya yang memohon waktu untuk menemui beliau untuk melaporkan dan menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya; bahkan tidak terbatas pada masalah-masalah dinas, tetapi juga mengenai masalah-masalah pribadi. Dengan tenang dan sabar beliau mendengarkan laporan-laporan tersebut dan kemudian memberikan petunjuk-petunjuk yang terang dan melegakan.
Yang kiranya perlu diketahui oleh kita semua adalah bahwa Pak Harto sebagai pimpinan tertinggi dari administrasi pemerintahan menganggap, menilai dan memperIakukan setiap pembantu beliau sama, tidak ada perbedaan. Tentu beliau mempunyai penilaian atas kemampuan dan prestasi dari setiap pejabat masing-masing. Dan sepanjang saya ketahui, beliau selalu memberikan bimbingan dan pengarahan yang masuk akal serta memberikan kesempatan kepada para pembantu beliau untuk mengembangkan kemampuan dan menyempurnakan langkah-langkah mereka dalam bidang masing-masing. Sudah barang tentu langkah-langkah mereka harus sesuai dengan kebijaksanaan umum atau petunjuk yang diberikan oleh beliau sebagai Presiden/Mandataris yang bertanggungjawab penuh atas apa yang dilakukan oleh pemerintah secara keseluruhan.
Sejak pertemuan pertama itu saya tidak pernah bertemu atau berhubungan lagi dengan Pak Harto untuk waktu yang cukup lama. Saya baru melihat beliau lagi pada tahun 1962 ketika beliau memberikan ekspose, yang diselenggarakan di Jalan Sudirman, Jakarta, tentang, operasi Trikora. Dalam ekspose itu beliau menjelaskan tentang peranan operasi pembebasan Irian Barat yang beliau pimpin, sebagai Panglima Mandala, sehingga akhirnya mendorong PBB untuk mencarikan jalan penyelesaian politik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Saya yang hadir di sana sebagai staf KOTI terkesan akan cara beliau menerangkan jalannya Operasi Mandala yang merupakan operasi gabungan, mulai dari persiapan sampai pada saat mengakhirinya dengan membatalkan perintah operasi penyerangan. Saya sangat tertarik atas penjelasan beliau yang sistematis, komprehensif dan mudah dimengerti.
Setelah itu saya baru bertemu dengan beliau lagi sesudah terjadinya G-30-S/PKI. Dalam rangka penumpasan G-30-S/PKI itu saya beberapa kali berkesempatan diterima oleh Pak Harto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Salah satu kesempatan adalah pada permulaan bulan Oktober 1965, dimana saya menghadap beliau bersama-sama Sdr. Ali Said SH (sekarang Ketua Mahkamah Agung) dan Sdr. Durmawel Achmad SH. Ceritanya sebagai berikut:
Beberapa hari setelah terjadinya G-30-S/PKI, Sdr. Ali Said dan Sdr. Durmawel Achmad, yang pada waktu itu adalah pejabat-pejabat dari Direktorat Kehakiman Angkatan Darat, datang menemui saya di kantor G-5 KOTI, Merdeka Barat. Kami tentu saja berbicara dan berdiskusi tentang masalah penumpasan G730-S/PKI. Kedua beliau itu menanyakan pada saya dan bahkan menawarkan diri untuk melaksanakan tugas¬tugas yang mungkin diperlukan dalam gerakan penumpasan G-30-S/PKI itu.
Pada waktu itu kita semua sudah yakin bahwa G-30-S/PKI didalangi oleh PKI. Namun kita bertiga sependapat, alangkah baiknya seandainya peranan PKI dalam peristiwa tersebut dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti hukum, yang sampai saat itu belum didapatkan. Maka saya menganjurkan kepada Sdr Ali Said dan Sdr. Durmawel Achmad untuk mencari alat bukti hukum itu, yang mungkin diperoleh dari hasil pemeriksaan (berita acara pemeriksaan) salah seorang tokoh PKI yang terlibat dalam G-30-S/PKI. Rupanya anjuran saya itu diterima oleh kedua beliau ini sebagai suatu perintah dan mereka berusaha untuk mendapatkannya dan berhasil. Beberapa hari kemudian kedua beliau kembali lagi menemui saya dengan membawa hasil berita acara pemeriksaan atas diri Nyono, salah seorang tokoh PKI, yang ditahan oleh Kodam Jaya di Salemba. Kita berpendapat bahwa bahan tersebut amat penting sebagai pangkal tolak pembuktian hukum. Karena itu kami menganggap perlu untuk melaporkan hal ini kepada yang berwenang, yaitu Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, di Kostrad. Maka pada malam harinya kami bertiga pergi ke Kostrad di Merdeka Timur.
Di Kostrad kami bertemu dengan Jenderal Nasution; beliau juga menganjurkan agar dokumen yang penting itu secepatnya disampaikan kepada Pangkopkamtib untuk bahan pertimbangan selanjutnya. Maka pada malam hari itu juga kami bertiga diterima oleh Pak Harto. Rupanya Pak Harto pun menganggap dokumen itu penting sebagai bahan pembuktian dalam mengambil tindakan hukum yang diperlukan. Sebagaimana diketahui, mereka yang terlibat secara langsung dalam makar dan gerakan G-30-S/PKI kemudian diadili oleh Mahmillub, termasuk Nyono.
Pertemuan dinas yang berikut dengan Pak Harto sebagai Pangkopkamtib terjadi pada bulan November 1965. Saya datang menghadap beliau atas perintah Jenderal Nasution dalam kedudukan beliau sebagai Menko Hankam/Kasab. Waktu itu saya ditugaskan oleh Pak Nas untuk menyiapkan konsep kebijaksanaan mengenai penertiban terhadap personil di lingkugan Hankam yang terlibat G-30-S/PKI. Untuk itu dibentuk suatu Tim Antar-Departemen dan saya ditunjuk sebagai ketuanya. Tim ini berhasil menyiapkan konsep yang berisi klasifikasi keterlibatan seseorang pegawai/ anggota ABRI dalam G-30-S/PKI dan tindakan-tindakan apa yang perlu diambil terhadap mereka. Konsep tersebut diterima dan dikeluarkan sebagai produk di lingkungan Hankam oleh Pak Nas. Agar produk hukum itu tidak hanya berlaku bagi lingkungan Pepartemen Hapkam saja, maka Pak Nas menganggap perlu untuk meningkatkannya sebagai produk Kopkamtib. Untuk itu Pak Nas menugaskan saya menemui dan menyampaikan konsep tersebut kepada Pangkopkamtib. Hari itu juga saya diterima oleh Pak Harto di MerdekaTimur,•Markas Kostrad. Dalam pertemuan yang singkat itu beliau hanya berkata singkat saja: “Ya, sudah saya terima“, tanpa menanyakan soal materi dari konsep tersebut. Saya mengira, mungkin Pak Harto telah mengetahuinya dari Pak Nas.
Beberapa hari kernudian keluarlah Instruksi Presiden/Pangti ABRI/KOTI Nomor 22/KOTI/1965 rnengenai penertiban personil yang materinya sama dengan produk yang dikeluarkan oleh Hankam. lnstruksi Presiden ini membagi klasifikasi keterlibatan seseorang dalam klasifikasi A, B, Cl, C2, dan C3 serta bentuk penindakan yang perlu diambil.
Seperti kita ketahui, salah satu keputusan yang penting dan prinsipil yang diambil oleh Pak Harto selaku Pangkopkarntib adalah keputusan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Keputusan ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Kisahnya begini. Pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar jam 10 malam, saya, di kantor Merdeka Barat, menerima telepon dari Ketua G-5 KOTI, Jenderal Sutjipto (almarhurn). Pak Tjipto meminta saya agar segera menyiapkan konsep keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI tentang Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Beliau minta agar konsep tersebut harus sudah siap malam itu juga. Beliau sempat menjelaskan bahwa hal ini adalah atas perintah Pangkopkamtib, sebagai hasil keputusan rapat KOTI yang dipimpin langsung oleh Pangkopkamtib.
Secara spontan dan dengan senang hati saya menerima perintah tersebut. Dalam hati saya mensyukuri keputusan Pak Harto yang tepat pada waktunya, karena menurut penilaian kami, para staf, hal inilah yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Meskipun demikian saya agak risau dan berpikir terus mengenai dasar hukumnya, terlebih-lebih karena kita semua mengetahui bahwa Presiden Soekarno pasti tidak berkenan atas putusan itu. Saya segera menyiapkan konsep itu bersama-sama dengan staf lainnya, khususnya Sdr. Moerdiono (sekarang Menteri/Sekretaris Negara), sambil mendiskusikan materi dan dasar hukumnya. Mengenai dasar hukum, bahkan saya dan Sdr. Moerdiono berdebat agak mendalam. Saya menunjuk pada Penpres tentang Kepartaian yang berlaku dan organisasi Kopkamtib sebagai dasar hukumnya.Di lain pihak, kedua hal ini dianggap oleh Sdr. Moerdiono masih kurang kuat, karena justru Presiden Soekarno secara politis tidak menghendaki pembubaran PKI.
Namun sebagai staf yang baik kita wajib menyiapkan konsep itu sebaik-baiknya, seaman-amannya. Di tengah kesibukan kami menyiapkan konsep tersebut, sekitar jam 01.00 tanggal 12 Maret 1966. datanglah ke kantor Merdeka Barat. Sekretaris MBAD, Brigjen. Budiono membawa dokumen penting, yaitu Surat Perintah Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, yang memberikan wewenang kepada Pangkopkamtib (Pak Harto) untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan menjamin ketertiban, dan sebagainya. Surat perintah tersebut (yang sekarang terkenal dengan sebutan Supersemar) diperbanyak (di fotokopi) di kantor kami.
Dengan adanya Supersemar itu maka terselesaikanlah masalah dasar hukum yang kita perdebatkan tadi. Setelah konsep Keppres/Pangti ABRI/KOTI diketik bersih, maka dengan secepatnya pula dikirimkan kepada Jenderal Sutjipto yang masih rapat di Markas Kostrad. Paginya, tanggal 12 Maret, —yang kebetulan adalah hari ulang tahun saya— saya telah menerima Keppres/Pangti ABRI/KOTI Nomor 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia. Dengan besar hati saya baca keputusan tersebut. Ternyata isi keputusan tersebut sama seperti konsep yang kami siapkan pada malam hari sebelumnya, kecuali satu tambahan dari Pak Harto. Beliau menambahkan kalimat: “Dengan berpegang teguh pada lima azimat Revolusi Indonesia’‘, mendahului diktum pembubaran PKI. Belakangan saya menanyakan kepada Pak Harto, mengapa beliau menambahkan kalimat tersebut. Beliau hanya menjawab singkat: “Bagaimanapun kita harus tetap loyal kepada pimpinan”. Waktu itu Bung Karno dianggap sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Saya berkesempatan mengikuti kebijaksanaan yang digariskan oleh Pak Harto pada Sidang Umum MPRS tahun 1966. Sebagai Pangkopkamtib, Pengemban Supersemar dan juga sebagai pimpinan Angkatan Darat, tampaknya beliau bukan saja merasa bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban jalannya sidang-sidang MPRS, tetapi juga turut memberikan arah bagi keberhasilan perjuangan Orde Baru. Pengarahan yang beliau berikan jelas, bahwa tujuan sidang MPRS ini bukan untuk mendongkel pimpinan Pemerintah. Beliau berpendapat bahwa dengan selalu berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945, Sidang Umum MPRS ini sebagai pemegang kedaulatan rakyat harus kita sukseskan, sehingga dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang membawa perbaikan pada kehidupan rakyat. Beliau juga menegaskan bahwa seluruh rakyat dan kita semua tanpa kecuali harus turut mengamankan dan menyukseskan pelaksanaannya. Sikap yang demikian itulah rupanya yang selalu menjiwai kepemimpinan beliau secara konsisten dan konsekuen sampai sekarang.
Mulai Mengenal dari Dekat
Tak lama setelah berakhirnya Sidang Umum MPRS, tanggal 5 Juli 1966, saya ditugaskan untuk mengikuti Seskoad di Bandung. Baru kira-kira dua minggu saya berada di Seskoad Bandung, Komandan Seskoad, Mayjen. Soewarto (almarhum) memberitahukan bahwa saya dipanggil kembali ke Jakarta untuk memegang jabatan Sekretaris Presidium Kabinet Ampera.
Sebagaimana diketahui, salah satu produk Sidang Umum MPRS tahun 1966 itu adalah ketetapan yang menetapkan Presiden agar menugaskan Pengemban Supersemar untuk segera membentuk Kabinet Ampera. Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPRS tersebut, Pengemban Supersemar —tentu dengan persetujuan Presiden Soekarno waktu itu— membentuk Presidium Kabinet Ampera dengan beliau sendiri sebagai Ketua Presidium Kabinet.
Saya sama sekali tidak mengira bahwa saya akan memperoleh tugas kepercayaan yang penting dan tidak ringan itu. Terlebih-lebih karena saya belum pernah menjadi anak buah/pembantu langsung Pak Harto, dan beliau pun belum mengenal saya secara langsung. Jadi pengangkatan ini bagi saya benar-benar merupakan suatu tugas kepercayaan dan sekaligus kehormatan. Dalam kesempatan pertama saya meninggalkan Seskoad Bandung dan secepatnya menghadap Pak Harto untuk melapor bahwa saya siap menerima tugas itu.
Saya diterima Pak Harto pada tanggal24 Juli 1966, pada malam hari, di kediaman beliau di Jalan Cendana. Saya masih ingat, petunjuk beliau tidak banyak. Beliau hanya meminta saya melaksanakan tugas-tugas yang beliau berikan dengan sebaik-baiknya dan menyiapkan sidang-sidang Presidium Kabinet dan sidang-sidang Kabinet atas petunjuk beliau. Disamping itu beliau memberikan petunjuk-petunjuk khusus:
“Besok sore saya akan mengadakan konferensi pers di Istana Negara. Saudara Darmono agar mengikutinya. Dan besok lusa saya akan memberikan pidato di depan Sidang DPR-GR mengenai penjelasan tentang Pembentukan Kabinet Ampera. Harap Saudara dapat menyiapkan dengan bahan-bahan yang saya berikan”.
Itulah tugas-tugas pertama yang saya terima. Dan saya berusaha melaksanakan tugas-tugas tersebut semampu saya. Tugas khusus berikutnya, yang cukup mengesankan bagi saya, adalah menyiapkan (untuk pertama kali) Pidato/Keterangan Pemerintah di depan Sidang DPR pada tanggal 16 Agustus 1966. Pidato ini kemudian menjadi tradisi Pidato Kenegaraan Presiden dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, yang mengubah kebiasaan yang ada pada masa Presiden Soekarno. Sebagaimana yang kita ketahui, Presiden Soekarno selalu menyampaikan pidato di depan Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus, mendahului peringatan detik-detik Proklamasi. Persiapan pidato 16 Agustus tahun 1966 itu memberi kenangan tersendiri bagi saya. Sebab, pada malam hari menjelang tanggal 16 Agustus, Pak Harto sendiri menelepon saya —suatu hal yang sangat jarang beliau lakukan— dan memberikan beberapa pertanyaan dan petunjuk untuk pidato yang malam hari itu juga harus diselesaikan. Dari pengalaman ini saya mengetahui bahwa bukan saja beliau membaca secara seksama konsep-konsep yang diajukan, tetapi juga mendorong kita sebagai pembantunya harus selalu siap dan tanggap.
Tugas khusus lainnya yang penting yang saya terima dari beliau adalah untuk menyiapkan konsep organisasi bagi semua departemen. Secara sistematis dan jelas, beliau memberikan pengarahan bahwa pada prinsipnya organisasi departemen harus mencakup prinsip-prinsip organisasi pada umumnya, yaitu ada unsur pimpinan dalam hal ini menteri sebagai pimpinan departemen; ada unsur pembantu pimpinan atau staf dalam bentuk sekretariat jenderal; ada unsur pelaksana dalam bentuk direktorat jenderal; dan ada unsur pengawasan dalam bentuk inspektorat jenderal. Mengenai struktur pembagian sekretariat jenderal dan direktorat jenderal ditugaskan kepada saya untuk mengeceknya dengan para menteri. Maka pola struktur organisasi departemen yang ada sekarang adalah merupakan konsep beliau sejak beliau memimpin pemerintahan sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera pada tahun 1966, yang secara terus menerus disempurnakan, disesuaikan dengan kebutuhan tugas setiap departemen yang bersangkutan.
Tugas lain yang juga baru bagi saya adalah tugas menyiapkan produk-produk hukum mengenai kebijaksanaan baru di bidang ekonomi. Dalam rangka ini Pak Harto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera telah mengambil keputusan untuk mengeluarkan serentetan peraturan baru di bidang ekonomi dan moneter yang merupakan langkah penyelamatan untuk menstabilkan keadaan konomi yang pada saat itu sedang dilanda kemerosotan dan inflasi yang amat tinggi. Kebijaksanaan ini; yang waktu itu dikenal sebagai kebijaksanaan Paket 3 Oktober 1966, ternyata merupakan langkah awal dari pembaharuan kebijaksanaan di bidang ekonomi yang selanjutnya akan mampu menjadi landasan bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Pak Harto selaku Ketua Presidium Kabinet dengan cepat dan dalam waktu yang tepat; tetapi dengan penuh perhitungan, berani mengambil tindakan yang cukup drastis. Meskipun dirasakan cukup berat, tetapi tindakan tersebut amat pragmatis dan realistis dalam rangka memulihkan stabilitas ekonomi.
Saya sendiri harus bekerja keras —dalam suatu kerjasama dengan “Tim Ahli Ekonomi” yang diketuai Pak Widjojo Nitisastro— untuk menyiapkan produk-produk hukum berupa keputusan-keputusan Presidium Kabinet, bukan saja karena materinya merupakan bidang yang baru bagi saya, tetapi juga harus dilaksanakan dalam waktu singkat dan memperhatikan kerahasiaan.
Pengalaman lain yang cukup mengesankan adalah ketika menghadapi penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Pak Harto sebagai Pengemban Supersemar pada tanggal 22 Februari 1967. Pagi hari itu diadakan sidang Kabinet Ampera lengkap dipimpin oleh Ketua Presidium Kabinet, Pak Harto. Sidang berlangsung cukup lama; sampai pukul 14.00 belum selesai. Oleh karena itu Ketua Presidium menunda sidang dan akan dilanjutkan malam harinya pukul 19.00. Pak Harto menekankan agar semua menteri dapat hadir tepat pada waktunya. Setelah menunda rapat, Pak Harto memanggil saya dan seorang Ajudan Presiden —waktu itu Letkol. Suroso (almarhum)—. Kepada kami berdua beliau memberi petunjuk agar pada malam itu disiapkan konvoi mobil-mobil menteri dengan ditentukan urut-urutannya menurut protokol. Konvoi itu akan menuju Istana Merdeka, karena seluruh anggota kabinet akan diterima Presiden Soekarno untuk memperoleh briefing. Beliau menambahkan petunjuk agar persiapan dilakukan secara tertib dan dirahasiakan.
Perintah tersebut terlaksana sebaik-baiknya. Pada malam harinya para menteri datang kembali ke tempat sidang di Jalan.Merdek Barat. Tepat pada waktunya, secara tertib mobil-mobif menteri disiapkan dalam konvoi sesuai dengan petunjuk Pak Harto. Sementara itu Pak Harto membuka kembali sidang kabinet. Dengan singkat beliau memberitahukan bahwa acara sidang malam itu adalah bersama-sama menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka unttik memperoleh briefing atau pengumuman penting dari Presiden. Untuk itu seluruh peserta sidang (kabinet) akan segera berangkat bersama-sama. Setelah rapat ditutup kembali, semua menteri segera menuju mobil masing-masing yang telah tersusun dalam formasi konvoi. Sesampai di Istana Merdeka menjelang jam 19.30, Presiden Soekarno sudah menunggu. Setelah semua menteri/peserta rapat siap di tempat duduk yang tersedia dan Ketua Presidium Kabinet memberikan laporan seperlunya, mulailah Presiden Soekarno memberikan penjelasan tentang tujuan dari pertemuan tersebut. Beliau menjelaskan bahwa maksud pertemuan tersebut ialah untuk mendengarkan secara langsung pengumuman mengenai keputusan beliau untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Supersemar.
Setelah selesai Presiden Soekarno membacakan pengumuman tersebut, maka rapat kabinet malam itu pun berakhir. Tentu saja banyak menteri yang tidak mengetahui sebelumnya dan bahkan tidak mengira bahwa peristiwa tersebut bakal terjadi malam itu. Rupanya Pak Harto yang telah mengetahui lama sebelumnya bahwa hal itu akan terjadi, dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada kabinet sampai saatnya Presiden Soekarno mengumumkannya secara pribadi. Agaknya dalam pandangan Pak Harto peristiwa ini bukan saja amat prinsipiil secara politis, tetapi juga amat peka, sehingga perlu ditangani dengan hati-hati dan secara tepat.
Bagi saya hal tersebut memberi kesan tersendiri terhadap Pak Harto. Saya melihat bahwa beliau ingin secara langsung dan pribadi mengendalikan dan menangani pelaksanaan hal-hal yang strategis dan peka, demi suksesnya pelaksanaannya.
Konseptor Pembangunan Nasional
Pak Harto adalah seorang pemimpin pemerintahan yang konsepsional, konsisten, rasional, dan pragmatis. Lebih mendasar lagi, beliau adalah seorang konseptor pembangunan yang secara konsekuen berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka usaha mewujudkan tujuan nasional.
Kita semua tentu sependapat bahwa konsep Orde Baru yaitu menegakkan dan membina orde masyarakat, negara dan bangsa yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen lebih mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dan bahkan penuh tantangan dalam pelaksanaannya. Terlebih-lebih apabila kita mengingat kembali keadaan yang diwarisi oleh Orde Baru dari Orde Lama.
Kemajuan-kemajuan yang kita capai sampai sekarang, baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya, terutama adalah bersumber pada konsep-konsep pemikiran beliau. Untuk menyebut beberapa hasil konsensus nasional yang dewasa ini telah kita miliki sebagai produk konstitusional seperti: sistem mekanisme kepemimpinan nasional dalam rangka mewujudkan Demokrasi Pancasila, termasuk sub-sub sistemnya, sistem pemilihan umum, sistem kepartaian dan keormasan; arah dan pentahapan pembangunan seperti yang terdapat dalam GBHN; lahirnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pemasyarakatannya, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan lain-lainnya. Ini semua merupakan produk-produk konstitusional yang melalui proses yang panjang, yang pokok-pokok materinya banyak bersumber dari gagasan-gagasan Pak Harto. Lebih dari sebagai pencetus konsep, beliau sekaligus juga sangat tekun dan konsisten dalam usaha mewujudkan konsep-konsep pemikiran beliau itu, yang telah menjadi produk konstitusional.
Memang, didalam negara yang menganut paham demokrasi, mungkin saja ada konsep-konsep pemikiran yang lain, atau berbeda. Sebagai negarawan dan demokrat, beliau menghargai konsep-konsep pemikiran pihak lain itu sepanjang diperjuangkan menurut jalur yang konstitusional. Dalam hubungan ini dapat disebut sebagai misal dan fakta sejarah: sistem pemilu yang berlaku sekarang adalah produk dari hasil konsensus nasional yang dapat dicapai. dalam tahapan sampai sekarang. Meskipun semula konsep kita (baca konsep Pak Harto) adalah pemilu dengan sistem distrik tetapi karena konsep tersebut tidak dapat diterima oleh wakil wakil partai partai di DPR waktu itu, maka dimusyawarahkanlah secara. demokratis dan tercapailah konsensus. Maka berlakulah sistem pemilu yang sekarang ini seperti yang tertuang dalam Undang-undang Pemilu. Demikian pula konsep pemikiran beliau untuk menjadikan Pancasila sebagai saiu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua organisasi partai politik, yang diharapkan dapat terwujud dalam tahun 1975 ketika memproses Undang-undang Parpol dan Golkar waktu itu, ternyata baru dapat terwujud dalam tahun 1985 dengan lahirnya Undang-undang Parpol dan Golkar yang disempurnakan.
Demikian pula ketika menjelang Sidang Umum MPR tahun 1983 lembaga pengangkatan sepertiga anggota MPR, dirasakan tidak lagi sesuai dengan perkembangan pelaksanaan Demokrasi Pancasila sehingga perlu diadakan perubahan, maka beliau memperhatikan aspirasi yang hidup di kalangan MPR mengenai dihapuskannya lembaga pengangkatan sepertiga anggota MPR, yang merupakan salah satu konsensus nasional. Karena pengangkatan sepertiga anggota MPR itu fungsinya adalah untuk mengamankan pelaksanaan pasal37 UUD 1945, maka beliau mempertimbangkan mekanisme pengamanan baru. Mekanisme baru yang dipertimbangkan oleh Pak Harto itu adalah dengan mengadakan sistem referendum, apabila MPR mengusulkan perubahan UUD 1945 berdasarkan pasal 37. Pertimbangan Pak Harto akhirnya dituangkan dalam suatu Ketetapan MPR tahun 1983 dan pelaksanaan dari Ketetapan tersebut adalah lahirnya Undang-undang Referendum dalam tahun 1985.
Sebaliknya rnengenai konsep P4 yang beliau nilai mutlak diperlukan oleh bangsa ini untuk menyatukan apresiasi dan memperlancar penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideologi negara, perlu diperjuangkan agar dapat menjadi produk MPR dalam Sidang Umum MPR tahun 1978, meskipun ada sebagiail golongan —khususnya PPP— yang tidak dapat menyetujuinya. P4 dihasilkan oleh Sidang Umum MPR tahun 1978 tidak melalui suara bulat, melainkan melalui pemungutan suara. Ternyata manfaat dan fungsi P4 itu untuk memasyarakatkan Pancasila, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan memperkuat ketahanan nasional bangsa Indonesia, amatlah besar. Penataran-penataran dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam memasyarakatkan P4 dan pendidikan politik berdasarkan Pancasila dapat terlaksana secara semarak, termasuk oleh mereka yang tidak menyetujuinya ketika dalam proses pembahasan di MPR.
Banyak lagi contoh-contoh mengenai ketekunan dan konsistensi beliau agar konsep-konsep pemikiran beliau dapat diterima dan menjadi konsensus nasional, yang akhirnya menjadi produk konstitusional sebagai landasan pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Dan sebagai orang yang berkesempatan untuk mengikuti dan membantu beliau dalam berbagai kegiatan rapat, pertemuan, konsultasi, dan sebagainya, saya memperoleh kesan, bahwa beliau bukan saja penuh dengan konsep pemikiran dalam•melaksanakan tugas kepercayaan rakyat itu, tetapi juga selalu siap dengan argumentasi yang orisinal, rasional dan masuk akal. Oleh karena itu gagasan-gagasan beliau dapat diterima oleh tokoh-tokoh masyarakat khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga tercapailah konsensus nasional.
Disamping itu kesan saya yang khusus terhadap Pak Harto adalah kemampuan beliau dalam mengambil keputusan dan tindakan yang tepat dan bijaksana dalam menyelesaikan situasi kritis atau sensitif. Seribu satu soal yang berat bahkan yang bersifat kritis dan sensitif, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya dan hankam, telah terjadi silih-berganti dalam masyarakat yang sedang membangun ini. Kita sungguh bersyukur kepada Allah SWT, bahwa situasi-situasi kritis itu selalu dapat diatasi, sehingga Trilogi Pembangunan dapaf terus berjalan. Hal ini dapat terjadi, terutama berkat kepemimpinan Pak Harto yang dengan segala kearifan, telah mampu mengambil keputusan yang tepat arah dan waktu. Tidak jarang keputusan yang diambil itu amatlah berat dan tidak populer sifatnya. Namun justru karena beliau selalu berusaha memilih waktu yang setepat-tepatnya dalam mengambil keputusan untuk mengatasi hal-hal yang rumit, banyak pengamat menilai bahwa beliau menerapkan gaya kepemimpinan yang alon-alon asal kelakon.
Mengenai penilaian alon-alon asal kelakon ini oleh pengamat diartikan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh Pak Harto itu amat lamban, yaitu ditekankan pada kata alon-alon. Padahal bagi; Pak Harto langkah yang alon-alon asal kelakon itu ditekankah pada; kelakonnya, yaitu keberhasilan pelaksanaannya. Jadi, dalam menghadapi masalah-masalah yang peka dan rumit, lebih baik alon-alon asal kelakon, artinya meskipun perlahan-lahan itu bukan karena sengaja diperlambat atau ragu-ragu, melainkan karena penuh perhitungan yang cermat. Beliau sering mengatakan lebih baik alon-alon asal kelakon daripada kebat keliwat. Kebat keliwat artinya bergerak terlalu cepat atau terburu-buru, tetapi tidak dapat hasil apa-apa, malahan mungkin terperosok atau tidak kena sasaran.
Sebaliknya, menurut pengamatan saya, langkah kebijaksanaan yang beliau ambil tidak selalu didasarkan pada prinsip alon-alon asal kelakon. Bahkan tampaknya banyak langkah kebijaksanaan yang beliau ambil amat cepat dan di luar perkiraan orang banyak.
Ada berbagai keputusan yang semacam itu. Misalnya pada tahun 1970, menyangkut pemakaman Bung Karno di Blitar; yang disarankan oleh Pak Harto dengan alasan-alasan yang masuk akal; pada tahun 1974 reorganisasi/mutasi pimpinan Kopkamtib setelah terjadinya peristiwa Malari; dan pada tahun 1976, reorganisasi dan mutasi di Pertamina setelah terjadi krisis dalam perusahaan negara tersebut. Begitu pula keputusan untuk mengadakan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa yang ternyata sangat besar manfaatnya bukan saja bagi kelancaran komunikasi, tetapi juga dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa kita. Demikian juga dengan kebijaksanaan devaluasi rupiah pada tahun 1978, 1983 dan 1986, yang amat tidak populer itu; beliau dengan tegas dan tanpa ragu-ragu mengambil kebijaksanaan tersebut sebagai langkah pengamanan.dan penyelamatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan selanjutnya.
Himbauan Pak Harto akhir-akhir ini kepada para pengusaha besar untuk menjual sebagian dari saham perusahaannya secara bertahap•sebesar 25 % kepada koperasi-koperasi primer dengan harga yang mampu dijangkau oleh koperasi, menurut pendapat saya bukan saja•merupakan konsistensi dari komitmen Pak Harto untuk melaksanakan demokrasi ekonomi sesuai ketentuan UUD 1945, melainkan juga langkah strategis dan terobosan ke arah terlaksananya demokrasi ekonomi itu secara lebih nyata dan lebih cepat. Langkah itu juga sekligus dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh akibat samping dari laju pertumbuhan ekonomi sebagai hasil pembangunan.
Sebenarnya kalau kita benar-benar menghayati sistem demokrasi ekonomi yang ditetapkan dalam UUD 1945 maka sewajarnyalah kita semua, terutama para pengusaha swasta, menyambut baik dan memenuhi anjuran Pak Harto tersebut. Sebab, kita semua committed untuk memajukan perkoperasian di Indonesia sebagai bangun usaha yang sesuai dengan sistem demokrasi ekonomi Indonesia, dimana perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat dengan mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan untuk kemakmuran orang seorang. Lebih dari itu penjelasanUUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa, hanya untuk perusahaan-perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang, seperti sekarang ini dalam bentuk PT.
Kiranya sukar bagi kita sekarang untuk menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang ditangani oleh industri, seperti industri sandang, pangan, semen, pupuk, kertas, perkayuan, perkebunan, perhotelan, farmasi, dan lain sebagainya yang nyatanya dewasa ini telah banyak dimiliki oleh perorangan/perusahaan swasta, tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Namun sebaliknya juga tidak mungkin dan tidak realistis untuk melarang atau mengambil over perusahaan-perusahaan swasta itu untuk dijadikan koperasi atau badan usaha negara, karena hal itu akan menimbulkan kekacauan dan kemacetan ekonomi dan pembangunan, sedangkan kita masih harus terus menumbuhkan ekonomi kita. Karena itulah disamping kita melanjutkan usaha mengembangkan dan membina koperasi dalam dirinya, seperti selama ini telah kita lakukan, maka kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional, terutama yang besar-besar, diharapkan kesadarannya untuk menyediakan sebagian pemilikan saham perusahaannya kepada koperasi-koperasi primer, seperti koperasi karyawannya, KUD di lingkungannya dah sebagainya. Dasar pemikirannya adalah bahwa perusahaan-perusahaan tersebut menjadi besar tidak lain juga sebagai hasil pembangunan yang didorong oleh iklim dan fasilitas usaha yang diciptakan pemerintah dan rakyat Indonesia. Dengan cara itu perusahaan-perusahaan swasta seperti PT tidak lagi semata-mata dimiliki oleh perorangan, tetapi dimiliki serta oleh koperasi yang beranggotakan anggota-anggota masyarakat banyak. Dengan demikian cabang produksi yang bersangkutan, yang menguasai hajat hidup orang banyak, menampakkan wujudnya sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat serta mengutamakan kemakmuran rakyat.
Sebenarnya gagasan Pak Harto agar koperasi pada saatnya dapat ikut serta menjadi pemilik perusahaan swasta itu telah. dilemparkan sejak lama, 10-15 tahun yang lalu. Namun karena pertumbuhan dan peningkatan kemampuan koperasi ternyata amat lamban dibandingkan dengan pertumbuhan perusahaan swasta, maka untuk mempercepat terlaksananya sistem demokrasi ekonomi yang menjadi konsepsi sosial-ekonomi bangsa Indonesia itu, dicanangkannyalah himbauan Pak Harto tersebut. Himbauan Pak Harto itu perlu dilakukan sekarang sebab dalam Pelita V ini kita telah berada pada tahap memantapkan landasan bagi tinggal landas pembangunan.
Dalam hubungan ini dapatlah dikatakan bahwa gagasan dasar Bung Hatta yang dianggap sebagai Bapak Koperasi Indonesia, telah diusahakan pelaksanaannya oleh Pak Harto dengan sebaik-baiknya. Dengan gigih dan konsisten, nyata dan pragmatis, Pak Harto melaksanakan pembinaan perkoperasian di Indonesia sebagai inti subsistem demokrasi ekonomi Indonesia dan berperan memperkuat pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan demikian pelaku-pelaku utama ekonomi kita yang terdiri atas tiga tiang kekuatan ekonomi nasional dapat saling mendukung dan memperkuat: Koperasi, BUMN dan Usaha Swasta.
Menguasai Data Kuantitatif dan Pengetahuan Praktis
Suatu hal lain yang amat mengesankan adalah kemampuan Pak Harto untuk menguasai dan mengingat data/angka-angka yang amat diperlukan untuk penganalisaan masalah serta pengambilan keputusan. Demikian pula pengetahuan praktis beliau mengenai berbagai bidang pembangunan juga amat luas, sehingga keputusan-keputusan yang beliau ambil dalam mengatasi masalah-masalah pembangunan bukan saja dapat dipertanggungjawabkan tetapi juga dapat dilaksanakan, realistis.
Dalam rapat-rapat ataupun dalam pembicaraan-pembicaraan, beliau dapat dengan lancar dan tepat mengemukakan data dan angka-angka statistik, sehingga tidak jarang membuat mitra wicaranya, termasuk tamu-tamu dari luar negeri, terkesima dan terkesan. Dengan dasar pengetahuan praktis yang luas itu dan dengan perhitungan yang matang, beliau tidak ragu-ragu memprakarsai pengerahan dana dari masyarakat, yang memang masih potensial; untuk disalurkan guna pembiayaan sektor-sektor sosial, pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sebagainya, yang belum cukup tersedia biayanya dari anggaran negara. Dengan jalan ini beliau ingin sekaligus mendorong peran serta masyarakat dalam gerakan pembangunan nasional.
Dalam hubungan ini, pada tahun 1974 Pak Harto memprakarsai pembentukan Yayasan Supersemar dan langsung beliau ketuai. Yayasan ini memusatkan kegiatannya pada bidang pemberian beasiswa kepada mahasiswa dan siswa sekolah kejuruan yang memiliki kecerdasan, tetapi orang tuanya tidak memiliki kemampuan untuk membiayai uang kuliah/sekolahnya. Setiap tahun jumlah beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa/siswa terus bertambah. Untuk tahun 1988/1989 saja jumlah mahasiswa/siswa yang memperoleh beasiswa dari Yayasan Supersemar sebesar kurang-lebih 37.000 orang, sedangkan besarnya beasiswa yang dikeluarkan oleh Yayasan Supersemar adalah sekitar Rp 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah). Dana-dana yang dapat dihimpun oleh Yayasan Supersemar cukup besar dan disimpan sebagai deposito di bank, sehingga dari bunganya saja yayasan dapat memberikan beasiswa sebesar tersebut di atas.
Disamping mendirikan Yayasan Supersemar, pada tahun 1975 Pak Harto memprakarsai pembentukan Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais). Yayasan yang langsung beliau ketuai ini memusatkan kegiatannya pada bidang sosial dengan menyalurkan dana dari masyarakat untuk menyantuni anak-anak yatim piatu, para cacat, orang jompo dan lain sebagainya yang dirawat di panti-panti asuhan di seluruh Indonesia. Sejak berdirinya sampai sekarang lebih kurang Rp50 milyar telah dikeluarkan oleh Yayasah Dharmais untuk menyantuni para penghuni panti-panti asuhan tersebut. Untuk tahun 1989/1990 sekitar 51.400 orang penghuni panti-panti asuhan —praktis setiap penghuni panti sosial di seluruh Indonesia yang memenuhi syarat— telah diberikan santunan untuk makan dan perawat an kesehatan sebesar Rp17.500,- seorang tiap bulan. Seperti halnya Yayasan Supersemar, pemberian uang santunan kepada panti¬panti asuhan itu dapat dilakukan secara terus-menerus (kontinyu), karena dana yang terhimpun oleh yayasan itu berjumlah cukup besar dan di depositokan di bank, sehingga pengeluaran untuk santunan sosial itu cukup disediakan dari bunga bank yang dihasilkan setiap bulannya. Hanya sebagian kecil dari kekayaan yayasan ditanamkan di beberapa perusahaan (sebagai pemegang saham).
Selain kedua yayasan ini masih ada sebuah yayasan lagi yang pembentukannya juga atas prakarsa Pak Harto, yaitu Yayasan Amal Bhakti, Muslim Pancasila, yang beliau juga menjadi ketuanya. Yayasan yang didirikan pada tahim 1982 ini memus tkan kegiatannya pada bidang keagamaan Islam. Sejak berdirinya sampai tahun 1990, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila telah membantu masyarakat Islam di seluruh Indonesia dengan membangunkan masjid sebanyak lebih-kurang 400 buah dengan ukuran bervariasi antara15 x 15m, 17 x 17m dan.19 x 19m yang bernilai sekitar Rp 40 milyar. Jumlah ini tentu akan bertambah terus sesuai dengan permohonan dari rnasyarakat dan tersedianya dana yang dihimpun oleh yayasan yang tidak akan kunjung habis.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa pengelolaan administrasi yayasan-yayasan tersebut dilakukan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasarnya. Pengeluaran keuangan yang besar disalurkan bagi masyarakat, sesuai dengan tujuan yayasan dan bahkan tidak ada pengeluaran untuk pengurus dan anggota yayasan.
Salah satu langkah strategis yang beliau ambil, yang didasarkan atas perhitungan yang amat tajam dan tepat, adalah mengenai pengadaan cengkeh untuk kebutuhan rokok kretek dalam negeri yang besar artinya bagi pembangunan kita. Sejak permulaan Pelita I tahun 1969, Pemerintah telah mengetahui bahwa Indonesia membutuhkan cengkeh cukup besar untuk produksi rokok kretek. Untuk itu Indonesia harus mengimpor cengkeh setiap tahun, karena produksi di dalam negeri sangat kecil. Waktu itu kebutuhan kita akan cengkeh sekitar 30.000-40.000 ton, sedangkan produksi dalarn negeri hanya sekitar 5.000-10.000 ton per tahun. Maka menjadi tekad pemerintah untuk meningkatkan produksi cengkeh dalam negeri. Peningkatan produksi ini akan memberikan manfaat ganda, yaitu meningkatkan penghasilan petani dan mencapai swasembada cengkeh. Jelas bahwa peningkatan produksi cengkeh di dalam negeri menyebabkan kita dapat menghemat banyak devisa, terlebih-lebih kalau kebutuhan cengkeh itu akan terus meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun 1990 kebutuhan cengkeh diperkirakan mencapai sekitar 65.000 ton.
Sement.ara itu kita juga rnengetahui bahwa pro.dusen cengkeh di luar negeri terbatas, antar lain Tanzania dan Zanzibar, sedangkan negara importir cengkeh yang terbesar adalah Indonesia. Karena itu perlu diusahakan agar kita dapat membeli langsung dari, negara produsen, agar harganya tidak dipermainkan oleh para pedagang , yang berasal dari pihak ketiga, seperti yang selama itu berlangsung. Apabila kita dapat memperoleh harga yang sebaik-baiknya (serendah-rendahnya) maka harga jual di dalam negeri dari cengkeh ex-impor itu akan lebih rendah daripada harga jual cengkeh dalam negeri. Padahal untu mendorong petani agar mau menanam dan memproduksi cengkeh, maka disamping usaha-usaha penyuluhan dan lain-lain, perlu pula dilindungi harga jualnya. Ditetapkanlah harga dasar cengkeh yang cukup menarik bagi petani. Maka akan terjadi perbedaan harga yang cukup besar antara cengkeh ex-impor dan cengkeh dalam negeri. Maka perbedaan harga itu harus dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, dan jangan sampai jatuh kepada importir cengkeh.
Karena itu pada prinsipnya pemerintah sendiri yang seharusnya mengimpor cengkeh langsung dari negara produsen. Namun apabila pemerintah sendiri yang melaksanakan impor itu, disamping prosedurnya akan amat kaku (birokratis) juga diperlukan modal yang cukup besar, yang waktu itu justru masih amat terbatas. Maka diputuskanlah untukmenunjuk dua pengusaha swasta yang bersedia melaksanakan impor cengkeh itu dengan jumlah, harga beli dan harga jual di dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan para importir pelaksana hanya menerima fee 20% diatas perhitungan pengeluaran-pengeluaran impor sampai di Indonesia.
Dengan cara ini ternyata dapat diperoleh manfaat yang amat besar, yaitu: produksi cengkeh di dalam negeri terus menerus meningkat, hingga pada suatu saat dapat swasembada (mulai tahun 1980-an), yang berarti penerimaan petani meningkat dan pengeluaran devisa tidak diperlukan lagi. Sejak itu persediaan dan harga cengkeh di dalam negeri relatif stabil, sehingga dapat menjamin peningkatan produksi rokok kretek, yang amat bermanfaat bagi penumbuhan lapangan kerja dan penerimaan negara. Disamping itu dari selisih harga impor cengkeh dengan harga jual cengkeh di dalam negeri, dapat terkumpul dana yang cukup besar. Berdasarkan keputusan Presiden, dana ini dikelola oleh Sekretariat Negara dan penggunaannya ditetapkan oleh Presiden. Dari dana inilah kemudian dikenal adanya proyek-proyek Banpres, yang sebagian besar diperuntukkan bagi pembangunan atau rehabilitasi rumah-rumah sakit di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Dana ini juga yang menjadi sumber bagi bantuan kepada masyarakat untuk peningkatan produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, bantuan untuk pembangunan dan rehabilitasi berbagai kampus perguruan tinggi negeri dan swasta, pemuda dan olah raga, sarana perhubungan dan penerangan, kesejahteraan sosial, perumahan, dan lain sebagainya. Keseluruhan proyek ini meliputi jumlah ratusan milyar rupiah. Dewasa ini dana Banpres yang berasal dari cengkeh itu tidak ada lagi, karena produksi cengkeh di dalam negeri telah mencukupi dan tidak ada lagi impor cengkeh.
Adalah sangat menarik untuk dikemukakan bahwa dalam penentuan selisih harga cengkeh waktu itu (tahun 1969) telah terjadi diskusi yang cukup serius antara Menteri Perdagangan dengan Bapak Presiden, dimana saya kebetulan hadir. Menteri Perdagangan memperkirakan selisih harga itu jauh lebih kecil daripada yang diperkirakan Pak Harto dan ternyata selisih harga itu cukup besar jumlahnya, sebagaimana yang diperkirakan oleh Pak Harto.
Keputusan lain yang beliau ambil yang didasarkan pada pengetahuan praktis yang up to date adalah mengenai pertukaran (ruilslag) tanah dan gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura. Rencana atau gagasan ruilslag tersebut telah mengundang kontroversi yang cukup tajam waktu itu, sehingga memerlukan campurtangan dan putusan Pak Harto. Karena Pak Harto mengetahui dengan pasti nilai harga tanah di Singapura waktu itu, maka Pak Harto memberikan petunjuk bahwa pertukaran itu dapat dilaksanakan apabila gedung Kedutaan Besar RI yang terletak di atas tanah kontrakan jangka panjang (bukan hak milik) yang terletak di tempat yang bernilai tinggi (pusat business) ditukar dengan kompleks kantor kedutaan besar dan perumahan duta besar dan staf di atas tanah yang lebih luas dan terletak di daerah yang lebih tenang dengan status hak milik. Disamping itu masih ditambah dengan kewajiban menyediakan tambahan uang tunai 100 juta dollar Singapura bagi negara. Ternyata keputusan tersebut dapat terlaksana dengan aman dan sirnalah kontroversi mengenai masalah gedung Kedutaan Besar RI di Singapura itu.
Berpijak pada Pendirian yang Beliau Hayati Kebenarannya
Segi lain yang amat mengesankan dari pribadi Pak Harto adalah keteguhan sikap dalam memegang prinsip/pendirian yang tak tergoyahkan dalam rangka mengemban tugas amanat rakyat. Segala sikap dan langkah yang beliau ambil selalu beliau kaitkan dengan kepentingan tugas atau kepentingan nasional, tanpa mengabaikan keseimbangan kepentingan pribadi.
Sikap beliau yang konsekuen misalnya, tidak berkenan menerima tawaran atau pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh berbagai universitas, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, berkaitan erat dengan prinsip/pendirian dan kepribadian beliau itu. Saya masih ingat dan amat terkesan bagaimana beliau secara bijaksana menolak tawaran atau rencana pemberian gelar Doktor HC untuk ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada pertengahan tahun 1970-an. Ketika itu delegasi Universitas Indonesia yang dipimpin oleh rektor beserta semua dekan fakultasnya datang menghadap Pak Harto dan menjelaskan rencana, dengan disertai aIasan-alasan pemberian gelar itu. Dasar alasan Pak Harto tidak berkenan menerima gelar itu adalah bahwa menyandang gelar itu bukan saja kehormatan, tetapi juga tanggungjawab. Beliau merasa belum siap untuk mempertanggungjawabkan gelar yang akan disampaikan itu. Menurut Pak Harto, menyandang gelar itu malahan akan memberakan beliau, padahal beliau masih harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pembangunan sebagai amanat rakyat. Waktu itu kita sedang dalam pelaksanaan. Pelita II.
Akhir-akhir ini Universitas Gadjah Mada, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga menyampaikan permintaan agar Pak Harto berkenan menerima gelar Doktor HC dari universitas yang bersejarah itu. Tetapi tampaknya Pak Harto masih tetap belum berkenan.
Sikap yang sejajar juga beliau tampilkan, ketika menjelang Sidang Umum MPR 1983 fraksi-fraksi di MPR menyuarakan keinginim mereka guna mengukuhkanaspirasi rakyat untuk memberikan gelar Bapak Pembangunan. Pada prinsipnya beliau menilai tidak perlu ada pemberian gelar atau sebutan semacam itu, karena apa yang beliau lakukan dan hasilkan dalam pembangunan nasional ini adalah semata-mata pelaksanaan amanat rakyat. Namun karena masalah ini adalah berkaitan dengan aspirasi rakyat dan produk lembaga tertinggi negara, MPR, maka beliau menyerahkan hal itu kepada para wakil rakyat di MPR. Akhirnya Ketetapan MPR tentang sebutan Bapak Pembangunan itu disatukan dengan Ketetapan MPR mengenai penerimaan pertanggungjawaban Presiden/ Mandataris.
Ada hal lain, yang tampaknya sederhana, tetapi nyatanya memperoleh pertimbangan yang dalam dan prinsipil dari beliau. Banyak orang, bahkan mungkin masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, mempertanyakan mengapa Pak Harto sebagai seorang muslim belum melaksanakan ibadah haji. Padahal tentunya sudah memenuhi syarat-sxarat dan mampu. Sayapun pernah menanyakan hal itu langsung kepada Pak Harto. Penjelasan beliau adalah, bukannya beliau tidak mau atau tidak ingin, tetapi keadaan yang belum memungkinkan. Masalah ibadah adalah masalah pribadi, dan beliau ingin melaksanakan ibadah haji itu sepenuhnya sebagai insan pribadi. Selama beliau masih mengemban tugas dan tanggungjawab yang amat berat sebagai Presiden/Kepala Negara, maka tidak mungkin melaksanakan ibadah itu dengan khidmat dan khusyuk. Akhir-akhir ini terbetik berita bahwa beliau akan menunaikan ibadah haji pada tahun 1991, bertepatan dengan usia beliau 70 tahun. Saya-dan saya yakin juga bangsa Indonesia-merasa bersyukur atas keputusan beliau itu dan mendoakan semoga niat beliau dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya atas berkat dan rahmat Allah SWT.
Suatu masalah yang selama ini selalu menjadi sorotan dan bahkan kritik orang atau masyarakat adalah kegiatan usaha (bisnis) keluarga. Dalam hal ini beliau menyadari benar dan menerimanya sebagai masukan yang beliau perhatikan. Beliau menanggapinya dengan prinsip-prinsip yang beliau pegang teguh. Pengangkatan beliau, tugas dan tanggungjawab beliau sebagai Presiden tidak berarti harus melarang atau membatasi kegiatan keluarga untuk terjun dalam dunia usaha/bisnis, selama kegiatan usaha itu dilakukan secara wajar berdasarkan peraturan seperti yang berlaku bagi warga masyarakat lainnya.
Sebagai Presiden, beliau tidak dapat melarang atau membatasi kegiatan usaha anggota keluarganya, karena mereka memiliki hak sama seperti warganegara yang lain. Tetapi sebaliknya juga tidak boleh ada perlakuan istimewa atau perlakuan khusus terhadap anggota keluarga dalam bentuk apapun. Sikap atau kebijaksanaan yang jelas dan tegas ini telah beliau tuangkan dalam surat (edaran) tertulis pada tahun 1976, ketika waktu itu beredar kritik dan desas-desus di masyarakat seolah-olah keluarga Presiden memperoleh perlakuan istimewa dari instansi/pejabat yang bersangkutan. Surat tersebut (Nomor B-33/Pres/9/76 tanggal 21 September 1976) disampaikan kepada semua menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen dengan tembusan kepada semua lembaga tinggi negara dan juga disiarkan di pers.
Dengan adanya surat Presiden tersebut diharapkan setiap instansi/pejabat bersikap lugas dan tidak ragu-ragu memperlakukan keluarga Presiden yang berhubungan dengan instansinya sama seperti terhadap warga masyarakat lainnya. Dengan demikian, maka tidak ada halangan atau cela sedikitpun apabila perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Presiden itu menang tender atau memperoleh proyek, karena mereka memang telah mengajukan penawaran dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang terbaik, bukan karena fasilitas khusus atau perlakuan yang istimewa. Sebaliknya setiap instansi atau pejabat yang bersangkutan tidak perlu ragu-ragu untuk menolak atau tidak memenangkan tender atau suatu proyek, apabila sesuatu perusahaan tidak memenuhi syarat atau tidak mengajukan penawaran yang terbaik dibandingkan dengan yang lain, sekaliptin perusahaan tersebut milik atau diusahakan oleh keluarga Presiden. Sikap yang non-diskriminatif itu sebenarnya bukan saja terhadap perusahaan keluarga Presiden, tetapi juga berlaku bagi perusahaan milik keluarga pejabat siapapun.
Penutup
Demikianlah sekelumit kesan saya terhadap Pak Harto, yang menyangkut gagasan-gagasan beliau yang mantap dan realistik, kepemimpinan dan kepribadian beliau yang kukuh, yang dapat menjadi tauladan bagi kita semua. Kesan-kesan tersebut yang saya peroleh selama saya bertugas membantu beliau kurang-lebih seper-empat abad, saya coba untuk mengutarakannya seobyektif mungkin; tetapi sebagai kesan-kesan pribadi tentunya tidak dapat lepas dari subyektivitas pembawa kesan.
Saya berharap uraian sekelumit kesan ini dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat mengenai seorang tokoh pemimpin bangsa-seorang tokoh pembuat sejarah, Bapak Pembangunan Indonesia yang telah lebih dari 25 tahun melaksanakan tugas kepercayaan rakyat dengan segala kemampuan, tenaga dan pikirannya dan berusaha membawanya ke arah kemajuan dan hari depan yang lebih cerah.
Kepada Pak Harto saya ingin menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya, sekiranya uraian saya ini tidak sesuai dengan yang sebenarnya terkandung dalam nurani dan nalar Bapak.
Akhirnya saya dan isteri dengan ini menyampaikan ucapan selamat yang sehangat-hangatnya atas hari ulang tahun Bapak Soeharto yang ke-70. Kita semua turut berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada Bapak dan Ibu Soeharto serta seluruh keluarga besar Soeharto. Juga semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan taufik dan hidayat-Nya kepada Bapak Soeharto dalam melanjutkan tugas memimpin bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
***