Soepardjo Roestam: Pak Harto Arif, Tenang dan Tegas

Arif, Tenang Dan Tegas

Soepardjo Roestam  (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan V)

Saya pertama kali mendengar nama Soeharto di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan tahun 1946. Pada waktu itu saya masih bertugas di wilayah Banyumas. Teman-teman yang sering menjalankan tugas di Yogyakarta-Purwokerto sering menceriterakan tentang figur Soeharto. Mereka menilai bahwa Soeharto sebagai seorang komandan pasukan di wilayah Yogyakarta, bekas anggota PETA, adalah berani, dan kadang-kadang nekad. Dibandingkan dengan pasukan-pasukan lainnya di Jawa Tengah, pasukan Pak Harto mempunyai persenjataan yang relatif kuat. Perjuangan fisik di sekitar tahun 1945-1946 memang sedang panas dan memuncak. Oleh karena itu ceritera-ceritera tentang pasukan-pasukan yang persenjataannya cukup lengkap, berani dan patriotik di medan pertempuran bukan saja menarik, tetapi juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi para prajurit didalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman, saya memperoleh. kesempatan untuk mengenal Pak Harto lebih dekat, walaupun masih sangat jarang berhubungan langsung dengan beliau. Maklum, beliau adalah seorang komandan pasukan yang selalu berada di lapangan, sedangkan saya sebagai ajudan lebih banyak berada di kantor. Dalam peranan sebagai ajudan, saya lebih banyak bertugas mencatat petunjuk-petunjuk dan meneruskan laporan-laporan kepada Pak Dirman. Pada kesempatan menerima petunjuk-petunjuk dari beliau, memang tidak jarang saya mendengar Panglima Besar mengatakan bahwa “Harto kae kayane nduwe watek keras” (diucapkan dalam bahasa Jawa logat Banyumas, karena Pak Dirman adalah orang Banyumas asli). Kadang-kadang saya tidak dengan sengaja mendengar Pak Dirman ngrasani Pak Harto. Pernah saya tangkap dari pembicaraan beliau antara lain pemikiran bahwa Pak Harto selalu memperhatikan “aturan permainan organisasi”.
Dari informasi-informasi yang dapat saya serap, maka terbentuklah pandangan saya tentang Pak Harto. Beliau sesungguhnya adalah seorang yang aktif sejak awal sejarah perjuangan bangsa, dan mula-mula bertugas di wilayah Yogyakarta. Sebagai prajurit, beliau memiliki segala sifat kepemimpinan yang telah melekat pacta dirinya. Beliau sudah dikenal sebagai komandan yang dekat dengan prajurit dan rakyat pada saat yang bersamaan. Beliau juga seorang yang secara langsung memimpin operasi-operasi militer, sehingga menjadi salah seorang figur sentral didalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya.
Setelah pengakuan kedaulatan, saya pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, kemudian ke Balikpapan dan selanjutnya kembali ke Jakarta lagi. Sejak itu saya jarang berhubungan dengan Pak Harto. Hanya kalau saya sedang berada di Semarang, untuk mengunjungi mertua, saya kembali mendengar tentang Pak Harto yang pada waktu itu sudah menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dari almarhum mertua saya, saya mendengar bahwa hubungan antara Pak Harto sebagai Panglima Divisi dengan Gubernur dan aparat sipil sangat luwes. Rekan-rekan di Semarang juga menggambarkan Pak Harto sebagai seorang komandan yang selalu berusaha menjaga kekompakan Divisi Diponegoro. Dalam keadaan ekonomi yang serba sulit, Pak Harto terus berupaya memberi kesejahteraan kepada prajurit. Pada waktu itu gaji tentara belum teratur, sedangkan perlengkapan logistik dan persenjataan juga belum tersedia secara lengkap. Waktu itu ada istilah sistem self-bedrijfing dan self-supporting yang dilakukan pula oleh Pak Harto untuk pasukannya.
Saya berhubungan lebih dekat lagi dengan beliau ketika saya diangkat menjadi Wakil Asisten VI Menteri Panglima Angkatan Darat di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), Jakarta. Pada waktu itu Pak Harto memimpin Kostrad. Lewat hubungan kedinasan, saya ikut merasakan bahwa Pak Harto memiliki keteguhan hati dan sikap tegas yang konsisten. Memang sikap beliau tidak menggebu-gebu; walaupun keras dan tegas, tetapi tetap tenang, tenggang rasa dan “nJawani“. Sikap tegas dan konsisten itu terlihat pada waktu menghadapi G-30-S/PKI. Banyak orang tidak mengira bahwa beliau ternyata cekat-ceket, gerak cepat (cepat tetapi tidak tergesa-gesa), vertikal (instruksi ke bawah), horizontal (koordinasi), dengan tetap bersikap tenggang rasa. Sesuai keyakinan beliau, PKI harus dibubarkan karena dinilai sebagai biang keladi dan sumber segala keruwetan dan kekacauan. Dalam waktu singkat, pemberontakan dipatahkan, dan kita mulai dengan konsolidasi.
Di hari-hari pertama setelah pemberontakan PKI, jadi sekitar 2 Oktober 1965, kita masih terus bertanya-tanya tentang nasib Menteri/Panglima Angkatan Darat dan para jenderal yang diculik. Upaya pencarian terus dilakukan, baik melalui penyerapan informasi yang sebanyak mungkin maupun pelacakan langsung terhadap jejak kepergian para penculik. Beliau terus mencari, mencari dan mencari. Kemudian ada info masuk. Ada indikasi kuat bahwa pemberontak telah menghabisi para jenderal di daerah pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Sewaktu beliau bergerak ke daerah Halim, saya tanya: “Bapak mau tindak (pergi) sendiri?” Dan dengan tegas beliau menjawab: “Ya!”. Saya menanyakan demikian, karena daerah itu “rawan security”.
Satu kata yang keluar dengan tegas itu, sangat terkesan di hati saya. Sikap itu semakin meyakinkan saya bahwa kalau Pak Harto sudah memutuskan sesuatu, bulat tekadnya untuk melaksanakannya dan akan menghadapi segala konsekuensi dengan memikul penuh tanggungjawabnya.
Setelah pemberontakan G-30-S/PKI dapat diatasi, lewat sidang MPRS, Pak Harto dipercaya oleh rakyat untuk memimpin pemerintahan negara kita. Saya pun memperoleh kepercayaan berbagai penugasan dari beliau. Tugas-tugas diplomatik yang saya emban di luar negeri tidak memungkinkan saya untuk terlalu sering berhubungan pribadi secara langsung. Akan tetapi hubungan menjadi dekat, setelah saya menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Apalagi setelah saya diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan kemudian menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan V.
Bekerja membantu Pak Harto memerlukan kesungguhan dan sekaligus kemampuan penguasaan atas bidang tugas sampai pada hal-hal yang kecil sekalipun. Beliau itu cermat dan teliti didalam mempelajari sesuatu, disamping mengikuti perkembangan. Kalau kita melaporkan sesuatu masalah, kita harus benar-benar siap untuk menjelaskan masalah itu secara rinci, dan juga memberikan pilihan-pilihan jalan keluar yang logis. Jadi kita harus benar-benar prepared, dan harus mampu mempersiapkan apa yang harus kita lakukan jika sesuatu pilihan kebijakan telah ditetapkan oleh beliau.
Sewaktu menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, saya sering melaporkan berbagai masalah pembangunan, khususnya di bidang pertanian. Dalam kaitan ini, saya memperoleh pengalaman-pengalaman baru dari Pak Harto. Ternyata, beliau sangat menguasai pertanian. Banyak pertanyaan di bidang pertanian yang beliau tanyakan kepada saya. Ada pertanyaan yang di luar dugaan saya diajukan oleh beliau sehingga membuat saya sulit untuk menjawabnya secara akurat. Apalagi saya pribadi belum pernah terjun “menggarap sawah”. Lebih celaka lagi kalau jawaban itu ”ngarang”, pasti akan segera ketahuan. Tampaknya beliau mempunyai pengalaman, dan catatan yang lengkap mengenai segala sesuatunya. Jadi, bekerja dengan Pak Harto membuat saya harus terus belajar lebih banyak. Beliau biasanya bicara apa adanya, tetapi kadang-kadang dengan bahasa “semu“, sehingga kita akan mengerti dan mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, kepemimpinan beliau mencerminkan perpaduan antara karakter kearifan seorang bapak, ketenangan seorang pemikir, dan ketegasan seorang komandan. Beliau selalu berusaha mengerti akan kemampuan yang kita miliki, dan mengembangkan suasana kerjasama yang akrab diantara para bawahan. Beliau selalu berbicara dengan tenang, dan mendengar lalu kemudian tentunya berpikir dan bertindak. Tetapi sekali mengambil keputusan, beliau akan konsekuen untuk menjalankannya dan mengharap agar kita juga konsisten melaksanakannya.
Segala sesuatu diperhitungkan dengan cermat, sabar menunggu, dan melihat jauh ke depan. Saya mempunyai pengalaman tentang hal ini. Dalam bulan Januari 1974, selaku Duta Besar RI di Kuala Lumpur, saya menghadap beliau di Jalan Cendana. Ketika itu saya melaporkan pertemuan yang akan dilakukan antara Pak Harto dan Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Sesudah selesai dan akan mohon diri, seperti biasanya, saya menanyakan apakah ada petunjuk-petunjuk lain. Beliau berkata: “Pardjo, siap-siap kembali ke Jawa Tengah“. Kaget saya. Walaupun begitu saya mencoba. sungguh-sungguh untuk tidak memperlihatkannya. ”Tugas apa Pak?”, tanya saya. “Sebagai gubernur“, kata beliau. Hal ini belum pernah terlintas dalam benak saya. Almarhum Bung Adam Malik, selaku Menteri Luar Negeri, pernah memberi indikasi agar saya kembali ke Departemen Luar. Negeri sesudah bertugas di Kuala Lumpur.
Jadi, petunjuk Pak Harto ini betul-betul diluar dugaan. Ketika saya memberanikan diri untuk bertanya lagi, “kapan saya harus menjalankan tugas gubernur?”. Beliau menjawab,

kira-kira nanti akhir tahun 1974, kalau masa jabatan Munadi (Gubernur Jawa Tengah) selesai. Sekarang diam saja dulu. Kalau Pardjo menunjukkan kemampuan sebagai Pejabat Sementara Gubernur, maka akan dapat terpilih oleh DPRD Tingkat I dalam sidangnya nanti”.

Coba bayangkan. Ada jarak 11 bulan antara pertemuan saya dengan Pak Harto pada bulan Januari 1974 dan rencana pencalonan saya sebagai gubernur yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 1974. Selama itu saya terus tutup mulut. Beliau sudah memikirkan, sudah meng-“otak-atik“. Memang saya banyak belajar dari kemampuan beliau membuat rencana kebijakan untuk masa depan. Disamping.juga kesabarannya untuk menunggu sampai waktu yang tepat untuk melaksanakannya.
Sebagai seorang yang matang dengan berbagai pengalaman di bidang ipoleksosbudhankam, beliau selalu mampu mengendalikan emosi. Sulit bagi kita untuk mengharapkan bahwa beliau akan berbicara tentang sesuatu isyu dengan cara yang dramatik atau meledak-ledak untuk membangkitkan emosi pendengar. Gaya itu bukan style kepemimpinan beliau. Beliau selalu mengajak kita berpikir, menilai fakta, dan mengambil keputusan. Itulah yang selalu terlihat dalam setiap menyampaikan pidatonya, baik pidato kenegaraan setiap tanggal 16 Agustus, pidato menyampaikan RAPBN, pidato penerimaan jabatan Presiden dan lain sebagainya. Bahkan dalam suasana yang paling emosional pun beliau tetap mampu mengendalikan emosi. Misalnya saja ketika di Lubang Buaya sesaat setelah ditemukan jenazah para jenderal yang telah dianiaya secara keji oleh PKI. Memang adakalanya beliau ”meledak” dan terbuka; tetapi itu pun, barangkali, kalau beliau menilai bahwa sesuatu yang didengarnya sudah “keterlaluan”.
Gaya itu juga terus terpelihara sepanjang suasana genting yang meliputi proses penilihan kepemimpinan nasional antara tahun 1966-1968. Demikian pula ketika beliau, selaku Pangkopkamtib, diminta oleh MPRS untuk menyampaikan laporan hasil penyelidikan tentang G-30-S/PKI dan kemungkinan terlibatnya Presiden Soekarno dalam gerakan itu. Dalam menyampaikan laporan, beliau menyampaikan fakta apa adanya, tidak mendramatisir situasi, dan tidak membuat insinuasi, apalagi menuding Bung Karno. Padahal pada waktu itu kelihatannya banyak orang mengharap dan menunggu agar Pak Harto secara langsung menyudutkan Bung Karno dalam peristiwa itu. Bagi saya pribadi, paling enak, paling sreg kalau Pak Harto berpidato atau menyampaikan sesuatu tanpa teks. Jelas, gamblang.
Sebagai seorang manajer, beliau memiliki kemampuan untuk menyerasikan unsur-unsur yang berbeda didalam lingkungannya. Antara lain, misalnya, perbedaan yang menyangkut latar belakang profesi para pembantunya maupun perbedaan persepsi mereka didalam menilai sesuatu masalah. Setiap menghadapi masalah, dapat dipastikan bahwa beliau akan terlebih dahulu membuat risalah dari masalah itu, mempelajari berbagai aspek yang terkait dan meminta pendapat-pendapat, lalu mencari alternatif baru, dan kemudian memutuskan. Keputusan untuk mendevaluasi rupiah pada akhir tahun 1986, misalnya, memerlukan waktu yang relatif lama sebelum beliau, dengan berat hati, memutuskannya. Hal ini karena beliau sangat sadar bahwa keputusan itu secara langsung akan memberi beban kepada rakyat, tetapi di lain pihak, ia merupakan cara terbaik yang dapat dipakai untuk menyelamatkan perekonomian negara.
Contoh lain yang dapat menggambarkan beliau dalam mengambil keputusan ialah berkenaan dengan pencalonan gubernur/ kepala daerah tingkat I. Selaku Menteri Dalam Negeri, sudah menjadi tugas saya untuk selalu melaporkan tentang “suara-suara” mengenai calon yang akan diproses. Saya merasa berkewajiban melaporkan suara-suara dari masyarakat: bagaimana dari partai politik, Golkar dan ABRI. Apalagi beliau tidak suka calon gubernur yang “drop-dropan” dari pusat. Pada kesempatan itu, biasanya beliau rneminta agar supaya DPRD betul-betul memperhatikan aspirasi masyarakat, dan sesekali mengingatkan saya bahwa beliau pernah mendengar ada nama lain dari masyarakat, selain daripada calon-calon yang sudah diajukan. Khusus tentang kemungkinan apakah seorang gubernur dapat meneruskan masa jabatan kedua atau tidak, Pak Harto tetap berpegang pada hasil pemeriksaan akhir rnasa jabatan, aspirasi daerah, dan pertimbangan-pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri serta pejabat. lain yang terkait.
Segi lain yang menarik dari kepernirnpinan beliau adalah besarnya kepercayaan yang diberikan terhadap para bawahan. Para pernbantu beliau diberikan kebebasan untuk mengembangkan kreasi mereka. Hal ini saya rasakan terutama setelah diangkat menjadi Menteri Dalarn Negeri dalam Kabinet Pernbangunan IV, dan sebagai Menteri Koordinator Bidang•Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan V sekarang ini.
Di dalam memimpin kedua lembaga tersebut, saya selalu diberi keleluasaan penuh untuk membina dan mengembangkan tugas dan kewajiban yang melekat pada keberadaan lembaga itu. Ini berarti bahwa tanggungjawab atas segala yang berkenaan dengah maju mundurnya atau berhasil-tidaknya saya mengemban tugas, sepenuhnya berada di atas pundak saya. Dalarn pengalaman saya, keadaan ini membuat saya lebih hati-hati didalam menjaga kehorrnatan dan kepercayaan besar yang diamanahkan oleh beliau kepada saya Apabila saya melaporkan sesuatu rnasalah, beliau selalu rnernberi petunjuk, baik secara langsung maupun tidak langsung, seraya menekankan beberapa hal yang penting. “Silahkan jalan terus jika hal itu sudah baik” atau “cari cara terbaik untuk mengatasi masalah itu” merupakan dua ungkapan yang sering saya tangkap dari beliau.
Kepercayaan seperti ini menyebabkan dalam setiap langkah yang saya ambil, disamping selalu mendambakan hasil terbaik yang ingin dicapai, saya juga selalu bertanya pada diri sendiri. Misalnya,

“apakah saya masih tetap berada didalam jalur kewenangan dan amanah yang telah digariskan? Apakah tindakan saya tidak akah memberi kesan penyalahgunaan wewenang, atau memberi kesempat an pada pihak lain untuk memanfaatkannya di luar jalur yang wajar? Apakah sudah betul tindakan saya? Dan menurut hukum, bagaimana, apakah pantas walaupun tidak salah?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul dalam benak saya, baik dalam setiap mengambil keputusan maupun dalam melaksanakan sesuatu kebijakan. Dalam keadaan yang luar biasa, dimana saya dihadapkan pada permasalahan yang rumit, saya memilih berkonsultasi langsung pada beliau, untuk meminta petunjuk dan nasihat beliau, sebelum menetapkan langkah untuk mengatasi masalah itu. Terus terang, saya tidak mau menentukan suatu sikap lebih dahulu dalam menghadapi masalah yang berdampak nasional, tanpa konsultasi dengan beliau, meskipun hal tersebut berada dalam tanggungjawab saya. Saya memilih bersikap bisa rumangsa, dan menjauhi rumangsa bisa.
Itulah yang terjadi pacta tahun 1986. Saat itu Musyawarah Nasional (Munas) PDI menghadapi jalan buntu dan memutuskan untuk meminta bantuan Menteri Dalam Negeri untuk menyusun DPP-PDI yang baru. Menyadari bahwa keputusan Munas itu dapat ditafsir•secara kontroversial, dan bahkan mungkin dikira justru pemerintah yang mendalangi, maka saya langsung melapor kepada Pak Harto. Setelah mengetahui duduk persoalannya, beliau memberi petunjuk-petunjuk. Saya lega, dan dapat memenuhi permintaan PDI, meskipun cukup banyak pro-kontra atas keputusan itu. Ada yang menilai bahwa Menteri Dalam Negeri keliru, karena mau menerima permintaan itu. Tetapi saya jalan terus. Saya adakan konsultasi-konsultasi intensif dengan seluruh wakil PDI dari daerah, DPP lama, para pejabat yang terkait dengan masalah-masalah politik dan kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh politik lainnya. Hasilnya adalah DPP-PDI yang lebih mencerminkan aspirasi mayoritas peserta pada waktu itu, dan dapat diterima oleh mereka, Perkembangan PDI selanjutnya, sudah barang tentu, menjadi kewajiban mereka .
Sikap hati-hati tapi penuh tanggungjawab itulah yang saya pegang dalam memimpin, Sebagai salah seorang pembantu Presiden, saya merasa !ega apabila Pak Harto sebagai pemimpin eksekutif tertinggi merestui sikap dan tindakan saya. Saya sudah menyadari betapa berat tanggungjawab yang melekat pada jabatan itu sejak awal saya menerima tugas sebagai Menteri Dalam Negeri. Bagi beberapa orang, jabatan itu mungkin lebih dilihat dari segi besarnya wewenang yang dimiliki oleh seorang Menteri Dalam Negeri, kemudian secara sederhana membayangkan betapa enaknya jabatan itu. Tetapi bagi saya, segi yang utama adalah kepercayaan dan tanggungjawab. Saya banyak belajar dari pengalaman sebagai Ajudan Panglima Besar dahulu. Selain itu, Pak Harto sejak awal sudah wanti-wanti mengingatkan betapa berat tanggungjawab itu. Selanjutnya beliau memberi amanah agar saya menyesuaikan gerak dan irama Departemen Dalam Negeri itu dengan tuntutan pembangunan, khususnya pembangunan politik yang telah sampai pada tingkat pemantapan institusional dan pembinaan budaya politik Pancasila.
Saya ingat kembali pada waktu saya memangku jabatan itu dan melapor untuk pertama kali. Dengan bijaksana, Pak Harto menjelaskan perjalanan kehidupan politik nasional dibawah kepemimpinan Orde Baru. Beliau monggambarkan tahapan-tahapan yang telah dilalui, dan tahapan serta tantangan masa depan yang akan menyertai perjalanan menuju terwujudnya masyarakat Pancasila. Saya terima amanah itu dengan doa dan tekad untuk bekerja dengan baik, mulai di hari pertama saya bertugas hingga saat terakhir, insya Allah.
Pelajaran paling berharga yang saya peroleh dari Pak Harto selama memimpin Departemen Dalam Negeri ada!ah dorongan beliau yang tidak henti-hentinya agar saya dapat lebih sabar, tenang dan mantap. Hal ini terutama didalam usaha mempertemukan kepentingan-kepentingan organisasi dan masyarakat politik kita agar lebih menampilkan peranan mereka sebagai infrastruktur politik yang berdaya guna. Beliau juga selalu menekankan perlunya mengayomi, mendorong, dan mengembangkan kemandirian organisasi-organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik kita. Khusus mengenai hubungan dengan DPR, beliau benar-benar menginginkan agar setiap permintaan konsultasi dan tatap muka dipenuhi semaksimal mungkin. Beliau menginginkan DPR yang kuat, DPR yang mampu menjadi mitra pemerintah, dan sekaligus menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat dalam menyukseskan pembangunan nasional.
Kalau dikaji secara. mendalam, sikap Pak Harto yang longgar didalam memberi kesempatan kepada para pembantu beliau untuk berkreasi nampaknya dapat memberikan kesan bahwa seolah-olah mereka disuruh jor-joran, bersaing satu sama lain untuk menonjolkan prestasi. Tetapi saya tahu, bahwa itu tidak benar, dan saya yakin bukan itu maksud Pak Harto. Dengan kelonggaran itu, beliau sesungguhnya memberikan kesempatan yang sama kepada mereka. Dengan demikian dapat terlihat sejauh mana para pembantu beliau dapat melaksanakan amanah tugas yang diberikan dengan tanggungjawab yang penuh. Koordinasi, team work, tidak tumpang tindih, serta selalu berada dalam bidang masing-masing, itulah yang menjadi perhatian Pak Harto.
Gaya kepemimpinan beliau yang sangat mengandalkan stabilitas merupakan suatu catatan tersendiri. Selama empat kabinet pembangunan yang telah beliau pimpin, tidak pernah terjadi penggantian antar waktu anggota kabinet. Kekecualian terjadi hanya jika ada yang meninggal dunia. Dari sini lebih jelas lagi, betapa beliau selalu memberi kesempatan kepada kita untuk berkreasi, membangun, dan mengoreksi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Saya menduga bahwa beliau bukannya tidak pernah kecewa terhadap pembantu-pembantu beliau. Agaknya beliau tidak jarang kecewa, tetapi beliau dapat menahan diri. lni saja sudah dengan jelas menggambarkan berapa matang beliau didalam mengemban dan memelihara kepemimpinan politik beliau. Tenggang rasa, kesetiakawanan dan perikemanusiaan beliau besar sekali. Hanya, orang mungkin kurang paham.
Dari segi hubungan antar pribadi, saya punya kesan yang sangat dalam tentang ketulusan beliau memperhatikan kehidupan pribadi para pembantu dan rekan-rekan seperjtiangan beliau. Baik pada waktu saya masih menjadi Gubernur Jawa Tengah maupun Menteri, setiap kali saya menemui beliau secara kekeluargaan, saya selalu ditanya tentang keadaan keluarga saya. Pertemuan semacam itu agak sering saya alami di saat saya menjadi Gubernur Jawa Tengah. Setiap beliau berkunjung ke Solo, saya selalu menemui beliau di Kalitan. Dalam pertemuan-pertemuan itu, beliau banyak berbicara tentang hal-hal diluar kedinasan, kenangan tempo dulu sewaktu perjuangan fisik, kemudian berceritera tentang ternan-ternan seperjuangan beliau. Saya selalu merasa diwongke (diperlakukan sebagai manusia yang dihargai). Apalagi sewaktu saya opname di Rumah Sakit Gatot Subroto akibat terkena stroke pada tahun 1986. Beliau menengok dan menenteramkan hati saya yang sedang down karena sakit dan tidak dapat melaksanakan tugas.
Perhatian beliau pada kehidupan rekan-rekan seperjuangan bukanlah sekadar basa basi, tetapi benar-benar tulus. Apalagi jika kita menyinggung tentang rekan-rekan seperjuangan yang telah tiada, maka tidak jarang beliau nampak terharu, kemudian menerawang jauh ke masa lampau. Kesan saya adalah bahwa Pak Harto itu tidak lupa pada dua hal. Pertama, di masa lalu beliau hidup dalam keprihatinan dan menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu itu sebagai input yang sangat berharga. Bekti kepada orang tua, mikul/dhuwur mendhem jero, ikhtiar mendekatkan diri dengan sifat-sifat Tuhan kelihatannya menjadi sikap beliau. Kedua, beliau selalu ingat kepada rekan-rekan seperjuangan yang telah berjasa mengisi kenangan masa lalu itu. Dalam hal ini, beliau bukan saja ingat pada nama-nama rekannya, tetapi juga detail dari peristiwa-peristiwa yang pernah beliau alami bersama mereka.
Itulah sekelumit pengalaman dan kesan saya tentang Pak Harto. Sebagai bagian yang penting dari sejarah bangsanya, nilai-nilai kehidupan yang selama ini dipelihara oleh Pak Harto memang patut menjadi obyek kajian bagi generasi yang lebih muda .

***

_______________________

Soepardjo Roestam, “Arif, Tenang Dan Tegas “, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 320-330.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.