SUDOMO: ASAL “NJEPLAK” SAMA DENGAN “ASBUN”

SUDOMO: ASAL “NJEPLAK” SAMA DENGAN “ASBUN”

 

 

Jakarta, Antara

Menko Polkam Sudomo mengimbau agar para tokoh masyarakat atau pengamat politik, terlebih dahulu mempelajari sesuatu permasalahan secara seksama sebelum melontar pernyataan di tengah-tengah masalah atau media massa

Orang yang asal “njeplak” sama saja istilahnya dengan “asbun”, ujar Sudomo kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, akhir-akhir ini, banyak muncul pernyataan atau pendapat tentang keterbukaan, padahal, tidak semua orang yang mengeluarkan pernyataan itu tahu persis apa masalah pokoknya.

“Akibatnya, masyarakat bertambah bingung lagi, karena tidak ada kejelasan mengenai bentuk keterbukaan yang diinginkan,” tambahnya.

Mengulangi apa yang pernah diungkapkan sebelumnya di Bina Graha Selasa, Sudomo berpendapat, segenap organisasi kekuatan Sospol, hendaknya menciptakan suatu konsensus untuk mendefinisikan dan merumuskan tentang sikap keterbukaan yang diinginkan.

Sementara Presiden Soeharto dalam temu wicara dengan petani, saat meresmikan Bendungan Palasari di Jembrana, Bali, baru-baru ini, menyebutkan empat hal yang menjadi batasan tentang keterbukaan secara umum.

Menurut Kepala Negara, cara melontarkan pendapat harus rasional sehat dan masuk akal, tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat, tidak merusak persatuan bangsa, serta tidak bertentangan.Ya jangan asal “njeplak”, tutur Presiden.

 

Macet

Sudomo menjawab pertanyaan, menolak anggapan bahwa “sikap asal njeplak,” timbul akibat macetnya komunikasi politik, sehingga hal itu membuat orang terangsang untuk bereaksi terhadap setiap masalah yang muncul ke permukaan.

“Saya rasa itu cuma masalah kualitas saja. Kalau memang tidak menguasai masalahnya, ya tidak usah ngomong, nanti rakyat malah bingung,”demikian Sudomo.

Isu tentang keterbukaan, mencuat ke permukaan dan menghiasi berbagai media cetak nasional, setelah dilontarkan oleh Dubes AS di Indonesia (saat itu), Paul Wolfowitz dalam pidato perpisahan sebelum ia mengakhiri masa tugasnya di Indonesia bulan Mei 1989.

Masalahnya lebih berkembang lagi setelah Komisi II DPR-RI yang dipimpin Samsudin dari F-ABRI, menjadikan keterbukaan politik sebagai isu pokok dalam rapat-rapat kerja dan dengar pendapat umum pada masa persidangan DPR lalu, terutama dengan Mensesneg Moerdiono, mantan Pangkopkamtib Jenderal Pum, Soemitro dan pengamat senior LIPI, Dr. Alfian.

 

 

Sumber : ANTARA(27/07/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 265-266.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.