Mengetahui Aspek-Aspek Kehidupan Rakyat
Surono (Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat masa bakti 1978-1983; Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan masa bakti 1983-1988)
Saya kenal Bapak Jenderal TNI (Purn.) Soeharto sejak awal kemerdekaan, terutama setelah pertempuran di Ambarawa. Waktu itu, kalau tidak salah ingat, Pak Harto menjabat sebagai Komandan Batalyon dari Yogyakarta. Saya sendiri berasal dari Divisi Gunung Jati, yang stafnya berada di Purwokerto dan daerahnya meliputi Banyumas, Cirebon dan Tasikmalaya.
Dalam Divisi Gunung Jati, saya ada di staf dan merangkap ajudan dari Kolonel Gatot Subroto, yang waktu itu memimpin pertempuran di Ambarawa. Dalam kedudukan sebagai staf dan ajudan itulah saya mengenal Pak Harto, karena saya sering menghubungi pasukan beliau dalam rangka perintah-perintah penyerangan.
Setelah pertempuran di Ambarawa itu, saya selalu bersama-sama dengan Pak Harto. Ketika menjadi Komandan Resimen di Salatiga, secara langsung saya menjadi bawahan beliau. Tetapi ini tidak lama, karena Pak Harto kemudian dipindahkan.
Saya sendiri tetap di Salatiga sampai tahun 1953. Sebelumnya, sewaktu ada operasi terhadap Batalyon 423 dari Kudus, Pak Harto bertindak sebagai komandan operasi, dan saya berada di staf, yang waktu itu disebut sebagai OMT (Operasi Merdeka Timur). Ketik Pak Harto sakit, maka saya yang menggantikan beliau sebagai Komandan OMT untuk menggiring batalyon 423 ke daerah Tegal dan Brebes.
Masa selanjutnya ialah saya masuk pendidikan SSKAD (1954-1955). Setelah menyelesaikan pendidikan, saya ditempatkan sebagai Kepala Staf Resimen di Solo, dan Pak Harto sebagai Kornandan Resimennya. Saya bersama-sama lagi ketika Pak Harto menjadi Pejabat Kasad, dan saya diangkat menjadi Deputi Operasi Kasad. Setelah itu saya diberi berbagai penugasan, baik dalam bidang militer maupun sipil sampai sekarang ini.
Sejak bersama-sama itu, saya melihat bahwa sebagai komandan, Pak Harto adalah seorang yang sangat disiplin. Banyak teman-teman yang sangat takut akan kerasnya disiplin Pak Harto. Akan tetapi bagi saya kerasnya disiplin Pak Harto itu justru sungguh bermanfaat untuk melaksanakan peraturan militer. Karena, kalau tidak ada pelanggaran disiplin, Pak Harto juga tidak apa-apa.
Jadi, menurut saya, seorang komandan memang harus menegakkan disiplin militer ini. Selain itu bilamana beliau mengeluarkan peraturan-peraturan, maka beliau secara konsisten menaatinya. Sebagai contoh misalnya, ketika di Salatiga sebagai Komandan Resimen, Pak Harto mengeluarkan peraturan bahwa untuk penghematan, di luar dinas tidak boleh menggunakan kendaraan dinas.
Untuk melaksanakan ketentuan itu, Pak Harto sendiri naik sepeda bila sedang diluar dinas. Pelanggaran terhadap peraturan itu jelas hukum disiplin. Memang Pak Harto adalah seorang yang sangat berdisiplin dan mau memberi contoh teladan yang baik.
Dalam segi lainnya, saya melihat dan merasakan bahwa Pak Harto adalah seorang militer yang memikirkan dan mencintai anak buahnya. Pak Harto selalu berusaha untuk membina dan meningkatkan harkat dan martabat anak buahnya.
Satu bukti yang nampak ialah bahwa sejak dulu beliau sudah mendirikan yayasan-yayasanyang bertujuan untuk membantu kesejahteraan prajurit. Saya kira yayasan itu masih ada sampai sekarang. Kemudian waktu di Solo, sebagai Komandan Resimen, Pak Harto memerintahkan para prajurit supaya menambah pengetahuan umum dengan belajar; hanya dengan pendidikan, mutu prajurit dapat ditingkatkan.
Atas perintah ini maka banyak prajurit yang belajar di LPPU (Lembaga Penambahan Pengetahuan Umum). Hal ini berkaitan pula dengan adanya peraturan yang mewajibkan bahwa seorang tamtama harus lulus SD, untuk menjadi bintara harus lulus SMP, dan menjadi perwira harus lulus SMA. Itu semua diperintahkan untuk seluruh jajaran Resimen.
Ada suatu pengalaman yang cukup berkesan ketika saya menjabat sebagai Deputi Operasi Kasad. Suatu hari, seingat saya hari Senin, Pak Harto memerintahkan saya untuk menjadi Panglima Diponegoro, yang tujuannya untuk mengembalikan citra Kodam Diponegoro, yang hampir tenggelam karena sebagian prajuritnya terlibat dalam pemberontakan G-30-S/PKI.
Sekitar 30% anggota Kodam VII/Diponegoro terlibat G-30-S/PKI. Saya sendiri heran mengapa saya yang ditunjuk untuk itu, karena di Kodam VII/ Diponegoro, resminya sudah ada panglima, yaitu Pak Suryosumpeno yang sedang masuk kursus C, dan Pak Widodo, Kepala Staf Kodam, sebagai Pejabat Panglima. Hal tersebut saya kemukakan kepada Pak Harto.
Tetapi sebagai Kasad, Pak Harto tetap memerintahkan saya untuk memegang kendali di Kodam Diponegoro. Saya terima penugasan itu, walaupun tanpa surat keputusan. Pada waktu itu Pak Harto mengatakan:
”Dulu saya juga jadi panglima, tanpa surat keputusan”.
Hari Jum’at, jadi hanya selang empat hari setelah pembicaraan itu, saya berangkat dan langsung mengambil langkah langkah seperlunya. Kemudian saya adakan misi kesenian Kodam VII/Diponegoro yang melakukan pertunjukan keliling ke Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur dan Bali.
Dengan membawa keliling misi kesenian ini, saya bermaksud untuk memperlihatkan bahwasanya Kodam VII/Diponegoro masih ada, masih kuat dan tidak tercerai-berai akibat pengkhianatan G-30-S/PKI.
Selama menjadi Pejabat Presiden, dan kemudian menjadi Presiden, ada sesuatu yang saya kagumi dari Pak Harto. Saya kagum akan perubahan dan kemajuan berpikir Pak Harto. Ini telah dibuktikan. Pak Harto bukan seorang yang berpendidikan tinggi dan bukan ahli ekonomi, tetapi mengetahui banyak mengenai ekonomi.
Coba simak. Pada waktu menjadi Pejabat Presiden, Pak Harto banyak belajar dari pakar ekonomi; tetapi sekarang pakar ekonomi kewalahan. Para pakar ekonomi memang lebih menguasai secara teoritis, tetapi Pak Harto, dalam arti praktis, tidak kalah dari mereka.
Dalam bidang politik pun demikian. Pak Harto tidak belajar ilmu politik, beliau tidak pula mengikuti organisasi politik; tetapi dalam memecahkan masalah politik telah terbukti kemampuannya serta pandangan politik beliau tepat sekali. Dulu kita konfrontasi dengan Malaysia, tetapi kini dibawah Pak Harto malah merangkul, dan kemudian membentuk ASEAN. Pada waktu dahulu menghilangkan konfrontasi dengan Malaysia merupakan sesuatu hal yang sulit dilakukan, tetapi akhirnya Pak Harto mampu melakukannya.
Kenangan yang tak mungkin saya lupakan ialah ketika Pak Harto mengadakan kunjungan-kunjungan tidak resmi dan mendadak atau incognito di beberapa daerah di Jawa. Ini sekitar tahun tujuh puluhan, dan saya sendiri ketika itu menjadi Pangkowilhan 11/Jawa-Madura (1970-1973). Kunjungan seperti ini dilakukan dengan diam-diam, dan saya sebagai Pangkowilhan Jawa-Madura ikut dalam rombongan bila beliau sedang mengadakan kunjungan kerja di Jawa.
Kunjungan ini terasa sangat besar manfaatnya, sebab kita datang begitu saja, tanpa persiapan formal dan sebagainya. Seringkali datang sekonyong-konyong ke suatu daerah atau desa, sehingga kita bisa melihat apa adanya dan kita dapat menghayati suasana daerah secara nyata.
Dari mengikuti kunjungan kerja diam-diam ini saya melihat sikap “merakyat”-nya beliau. Misalnya saja kalau mau menginap, biasanya gubernur atau bupati meminta untuk menginap di gubernuran kabupaten atau suatu tempat yang baik. Tetapi Pak Harto justru memilih untuk menginap di kelurahan saja atau tempat-tempat yang menyatu dengan rakyat.
Dalam pandangan Pak Harto, meskipun fasilitasnya kurang, namun jelas fasilitas tersebut sudah jauh lebih baik daripada waktu bergerilya dulu. Dan ini memang saya rasakan, karena sebagaimana Pak Harto, saya juga ikut bergerilya di daerah Cilacap.
Yang juga sangat mengesankan dalam kunjungan-kunjungan demikian ini ialah penghayatan beliau terhadap kehidupan desa. Pak Harto tidak canggung ketika berdialog tentang berbagai aspek kehidupan desa, terutama pertanian, dengan rakyat yang dijumpainya dalam rangka kunjungan tersebut. Demikian pula bila mengunjungi pondok-pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Meskipun tidak ahli dalam bidang agama, namun Pak Harto dapat berdialog akrab dengan para kyai dan para santri di pondok-pondok pesantren yang dikunjungi. Hal ini membawa manfaat yang besar pada perjalanan karier Pak Harto selanjutnya.
Saya berpendapat bahwa Pak Harto adalah seorang komandan yang mengetahui dan menguasai segala aspek kehidupan rakyat. Bagi saya seorang komandan di Indonesia harus menguasai dan menyelami kehidupan rakyat, baik lingkungannya, maupun aspirasinya.
Oleh sebab itulah dalam setiap kesempatan berkunjung ke suatu daerah, Pak Harto tidak canggung berdialog dengan rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan. Dalam pada itu sebagai seorang komandan, Pak Harto konsisten dalam memegang keputusan keputusan yang sudah diambilnya. Oleh karena itu sering orang mengatakan bahwa Pak Harto sulit diubah bila sudah mengambil keputusan.
Saya kira hal itu ada benarnya. Sebab, dalam lingkungan militer, nilai seorang komandan itu terletak pada decision making-nya. Kalau decision making itu sendiri merupakan proses yang panjang. Menurut pelajaran staf (general staff), sebelum sampai kepada suatu keputusan ada beberapa estimate yang harus dipersiapkan/ dipertimbangkan, yaitu intelligence estimate, personnel estimate, operations estimate, dan logistic estimate. Nah, kalau sekarang ini harus ada estimate masyarakat dan estimate lingkungan.
Estimasi-estimasi itu dilakukan oleh staf, diolah dan semua dihimpun, kemudian kita memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan, yang disebut causes of actions. Di sini kita menimbang untung-ruginya suatu tindakan yang akan kita lakukan. Kita tentunya akan mengambil keputusan yang lebih banyak untungnya, dibandingkan ruginya.
Maka dari itu diperlukan suatu pengolahan yang masak agar mendapatkan keputusan yang terbaik, dan ini tergantung pada komandan. Oleh karena itulah Pak Harto tetap firm dalam memegang keputusan yang telah dibuat.
Selama dua periode dalam kepemimpinan Pak Harto, saya mendapat kepercayaan memegang jabatan Menteri Koordinator, yaitu Kesra dan Polkam. Sebagai Menko, saya memperoleh keleluasaan dari Bapak Presiden untuk mengkoordinasikan segala kegiatan dari departemen-departemen dalam lingkup koordinasinya.
Meskipun demikian, karena titik berat pembangunan terletak dalam bidang ekonomi, maka Presiden lebih menekankan pada masalah Ekuin. Presiden sendiri selalu memimpin rapat-rapat bidang Ekuin, sementara bidang Kesra dan Polkam dipimpin oleh masing-masing Menkonya. Dalam kaitan ini, baik selaku.
Menko Kesra maupun Menko Polkam, saya selalu mengadakan rapat rapat koordinasi, baik dengan departemen dalam lingkup koordinasi maupun antar bidang. Tujuannya adalah untuk menampung segala masalah yang berkaitan dengan departemen yang bersangkutan, memecahkan masalah dan mengambil kebijaksanaan yang dianggap perlu. Dengan demikian, rapat koordinasi di tingkat menteri, selain sebagai filtering sidang kabinet terbatas, juga meringankan beban Presiden, terutama di bidang Kesra dan Polkam.
Sebab, berbagai masalah telah dapat diatasi di tingkat menteri. Kemudian pada kesempatan pertama, hasil-hasil tersebut dilaporkan kepada Presiden.
Pengalaman yang cukup menarik selama saya menjabat Menko Polkam adalah soal tahanan G-30-S/PKI di Pulau Buru. Saya belum menjadi Menko Polkam ketika para tahanan G-30-S/PKI itu di tempatkan di Pulau Buru.
Pengalaman itu berkaitan dengan upaya perubahan mental masyarakat untuk dapat menerima para tahanan G-30-S/PKI eks Pulau Buru, dan mengubah mental para tahanan tersebut untuk memahami kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Pancasila. Hal ini karena sementara anggota masyarakat tidak mau menerima mereka di lingkungannya, sehingga menjadi suatu masalah sosial-politik yang tidak ringan.
Nah, pada masa saya menjadi Menko Polkam, masalah para tahanan G-30-S/PKI ini difokuskan pada soal pengamanannya. Pemerintah tidak ingin Pulau Buru justru menjadi ”pelatnas” bagi para tahanan G-30-S/PKI sehingga mereka mampu menggalang kembali organisasi yang sudah dilarang.
Dalam Rakor masalah-masalah ini dibahas dan kemudian hasilnya dilaporkan kepada Bapak Presiden Soeharto. Dalam kaitan ini, pemerintah mengadakan pembinaan terhadap mereka, misalnya kita kirim para rohaniawan, dan diajarkan cocok tanam untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya. Selain itu kita adakan juga kursus-kursus, dan santiaji, agar mereka dapat kembali ke jalan yang benar. Dengan upaya itu maka mental para tahanan eks Pulau Buru dapat berubah, juga mental masyarakat yang menerimanya.
Sekarang mereka sudah bebas, dan banyak diantara mereka yang kembali ke daerah asalnya dan diterima masyarakat dengan aman dan hidup tenang. Tetapi sebagian besar tetap di Pulau Buru, tinggal bersama keluarganya, bercocok tanam, menyongsong hari esok yang lebih baik. Semua itu merupakan pengalaman-pengalaman saya bersama Pak Harto selama memegang jabatan dalam tugas kenegaraan.
Sekarang ini, setelah tidak memegang jabatan dalam pemerintahan, dan duduk sebagai Ketua Umum KONI Pusat, saya melihat bahwa Pak Harto juga mempunyai perhatian yang besar dalam bidang keolahragaan. Tidak ada satu pun Kepala Negara di dunia, selain Presiden Soeharto, yang mengikrarkan panji-panji olahraga.
Pak Harto mencanangkan “Memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat“. Tidak hanya itu saja. Pendanaan untuk meningkatkan prestasi di bidang olah raga inipun telah dicarikan jalan keluarnya, yaitu melalui SDSB yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial.
Dalam kaitan sebagai Ketua Umum KONI Pusat inilah saya sering memberikan laporan kepada Pak Harto, terutama mengenai pembinaan atlit, events di tingkat nasional maupun internasional ataupun menyangkut parasarana olahraga. Mengenai yang terakhir ini, saya telah melaporkan kepada Pak Harto mengenai kondisi lstora Senayan.
Kondisi Istora Senayan sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Selain segi pengamanannya, juga privacynya (dalam arti kemurnian untuk pembinaan) hampir-hampir tidak ada. Kita lihat saja di sekeliling Senayan itu banyak sekali perumahan, dan tukang jualan pun tidak hanya mangkal di luar tetapi banyak juga yang masuk ke dalam kompleks Senayan.
Karena itu tidak jarang ada atlit yang menderita sakit akibat memakan makanan dari luar, baik ketika memasuki pelatnas maupun dalam turnamen-turnarmen tertentu. Selain itu, sekalipun kita sudah berusaha mengadakan patroli untuk pengamanan, namun masih ada saja yang kecurian didalam kompleks olahraga Senayan.
Saya kira kompleks olahraga yang ideal haruslah merupakan tempat tersendiri. Seperti di Korea Selatan misalnya, kompleks olah raganya tersendiri, di pinggiran kota dan ada pegunungan sedikit.
Saya tidak mempunyai kesan-kesan yang tidak menarik tentang Pak Harto. Sebagai manusia biasa tentunya Pak Harto tidak lepas dari kehilafan dan kealpaan.
Disamping itu mungkin soal kurang pengertian dan pemahaman oleh bawahannya. Sebab, biasanya sering terjadi perbedaan antara kebijaksanaan yang telah digariskan dengan pelaksanaannya. Bilamana terjadi hal-hal yang kurang baik, maka Pak Harto juga yang akan menerima risikonya.
Dengan segala kesiapannya, dan kebesaran-jiwanya pula, serta sebagai komandan, Pak Harto biasanya “keluar” mengambil alih tanggungjawab atas kekeliruan anak-buahnya; dan “kedalam”, mengambil tindakan sesuai dengan kesalahannya. Ini memang sudah menjadi gaya hidup Pak Harto.
***
_______________
Sumber: Surono, “Mengetahui Aspek-AspekKehidupanRakyat”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 582-589.