Tajuk Rencana: BERAT SAMA DIPIKUL

Tajuk Rencana: BERAT SAMA DIPIKUL

 

 

 

Jakarta, Suara Karya

WALAUPUN bukan sesuatu yang baru, apa yang ditegaskan Presiden Soeharto, ketika meresmikan berbagai proyek pembangunan di Pasaman, Sumatra Barat, kemarin, rasanya akan menggugah hati nurani setiap warga negara tercinta ini yang masih punya hati nurani.

“Usaha membangun bukanlah perkara yang mudah. Tanpa tekad yang mantap kita akan kecil hati, dan mungkin panik, menghadapi berbagai tantangan besar yang menghadang kita, seperti yang kita rasakan dewasa ini,” kata Presiden.

“Setiap golongan dan lapisan bangsa perlu menyadari situasi yang kurang menggembirakan ini, justru untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab, persatuan dan kesatuan nasional itulah yang menumbuhkan daya tahan bangsa menghadapi berbagai tantangan besar selama ini”.

Untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, pertama-tama perlu ditingkatkan kesetiakawanan nasional. Pepatah kita mengatakan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun,” kata Presiden lebih lanjut.

MUNGKIN ada yang menganggap seruan untuk terus menerus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa tidak lagi begitu menggugah hati nurani pendengarnya. Tetapi, bila kita mau melihat kembali ke belakang, persatuan dan kesatuan itulah yang menjadi kunci utama bagi bangsa ini untuk memproklamasikan kemerdekaan. Persatuan dan kesatuan juga kunci utama bagi keberhasilan menyelamatkan kemerdekaan itu dari berbagai rintangan dan cobaan. Persatuan dan kesatuan itu pula yang memungkinkan bangsa ini melaksanakan pembangunan  dengan hasil yang dinikmati sekarang. Dan, kesetiakawanan selalu jadi kunci persatuan dan kesatuan itu.

TETAPI, kesetiakawanan tidak terbentuk dan berkembang dengan sendirinya. Kesetiakawanan lahir dan berkembang karena adanya perasaan senasib sepenanggungan.

Perasaan itulah yang menyebabkan kesetiakawanan begitu kental menghadapi kaum penjajah hingga melahirkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perasaan itu pula yang menyebabkan kesetiakawanan begitu padu menghadapi PKI dengan G30S-nya.

Mestinya, tantangan – tantangan besar yang dihadapi pembangunan dewasa ini juga akan mengentalkan kesetiakawanan. Tetapi, keberhasilan pembangunan selama Orde Baru, tampaknya, cenderung memunculkan dimensi baru pula. ibarat sebuah pasukan  yang  memenangkan  pertempuran,  setiap anggota  pasukan  cenderung dikuasai keinginan untuk memperoleh lebih banyak hasil kemenangan itu. Dan, mereka cenderung pula lupa bahwa setiap anggota pasukan punya saham, betapa pun kecilnya, dalam mencapai kemenangan.

Kalau kita mau jujur terhadap diri sendiri, dikhawatirkan hal inilah yang akan menjadi titik lemah dalam upaya meningkatkan kesetiakawanan nasional.

OLEH sebab itu, untuk mengatasi tantangan – tantangan tidak kecil yang menghadang pembangunan kita, barangkali tepat waktunya seluruh bangsa menengok kembali ke belakang, meneliti dan menghayati sejarah petjuangan bangsa merebut kemerdekaan dan mengatasi bahaya – bahaya yang mengancam kemerdekaan itu, demi makin kukuhnya kesetiakawanan nasional.

Dari sejarah perjuangan bangsa itu dengan jelas dapat dilihat bahwa rasa senasib sepenanggungan merupakan wujud yang paling konkret dari solidaritas sosial.

 

 

Sumber: SUARA KARYA (24/06/1987)

 

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 474-475.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.