Tajuk Rencana PRESIDEN SOEHARTO TAMPIL SEBAGAI PEMIMPIN GERAKAN NON BLOK DI PBB
Jakarta, Kompas
JIKA pada hari Kamis 24 September lusa, di depan sidang Majelis Umum PBB, Presiden Soeharto berpidato, ia menyampaikan pesan kepada 178 negara anggota PBB sebagai Ketua Gerakan Non Blok. Ia membawa mandat 108 negara berkembang, yang baru saja berkonferensi puncak Negara -negara Non Blok di Jakarta.
Apakah pidato Presiden Soehartojuga akan berjudul To Build The World A new, Membangun Kembali Dunia, seperti yang dibawakan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 30 September 1960 di depan sidang Majelis Umum PBB? Sekiranya, judulnya lain, sebagai bangsa kita tidak bisa melepaskan preseden sejarah itu. Terulang kembali, justru ketika dunia dihadapkan pada perubahan besar, pada saat itu, kembali Presiden Republik Indonesia berdiri di depan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Presiden Republik Indonesia yang pertama, berpidato di depan PBB, 5 tahun setelah diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Karena kaitan itu, pesan yang disampaikan oleh Presiden Soekamo, mewakili pula hasrat dan aspirasi bangsa-bangsa Asia, Afrika, Amerika Latin. Hasrat itu, terutama adalah hasrat untuk merdeka dan di atas masyarakat bangsa-bangsa yang merdeka, yang bebas dari segala bentuk eksploitasi manusia atas manusia, marilah kita bangun kembali dunia.
Tidak sampai sebulan jaraknya setelah terpilih sebagai Ketua Gerakan Non Blok serta menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi X Negara-negara Non Blok, Presiden Soeharto menyampaikan Pesan Jakarta, The Jakarta Message. Tinggal satu-dua bangsa belum bemegara merdeka dewasa ini. Hasrat dan aspirasi negaranegara yang diwakili oleh Presiden Soeharto ialah hasrat untuk mewujudkan perikehidupan rakyat yang sejahtera di negara-negara Non Blok dan di seluruh dunia.
Dunia baru yang disarankan untuk dibangun bersama, ialah kerja sama antar bangsa dibangun di atas prinsip-prinsip yang asli dari PBB seperti universalisme, persamaan ,perdamaian, keadilan, kesejahteraan. Prinsip-prinsip PBB hanya universal dan menjamin kesamaan, manakala tidak ada diskriminasi, termasuk diskriminasi yang bersandar pada perbedaan kekuatan.
OLEH pers dan pengamat Barat pun, KTT Non Blok di Jakarta dinilai positif. Diakui berlansungnya pergeseran orientasi dari rethorika dan sikap-sikap ekstremradikal, ke orientasi yang lebih mementingkan program aksi nyata, baik program aksi untuk ikut menyelesaikan konflik dan ketegangan politik, maupun program aksi untuk memperbaiki peri kehidupan rakyat lewat pembangunan sosial ekonomi.
Identifikasi persoalan dibuat atas pemahaman tentang perubahan, yang ditandai oleh berakhirnya permusuhan dan ancaman perang nuklir antar dua adikuasa AS dan Uni Soviet, notabene, yang terakhir itu mengalami disintegrasi. Namun belum sempat dunia menarik napas lega, muncul konflik-konflik dalam bentuk baru, konflik etnis yang sungguh merupakan ironi, berlangsung justru di bekas Yugoslavia, salah satu pendiri GNB.
Kecuali waspada dan tanggap terhadap berkecamuknya bentuk-bentuk konflik baru, KTT Non Blok di Jakarta, sepakat untuk mengetuk hati negara-negara industri di Utara, agar mau memobilisir dana dan dayanya, yang dialihkan dari persaingan senjata, ke kerja sama ekonomi dengan negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang di Selatan, yang kebanyakan anggota GNB, berpenduduk 3,5 milyar, merupakan tiga perempat penduduk dunia. Namun tingkat kemakmurannya, berbanding sebaliknya dengan penduduk negara-negara industri. Jumlah penduduk mereka hanya 25 persen dari penduduk dunia, tetapi tingkat kemakmurannya menguasai 80 persen dari tingkat kemakmuran dunia.
Kesenjangan sosial ekonomi akan merupakan sumber ketegangan baru, yang sudah dimulai misalnya lewat gejala migrasi penduduk secara besar-besaran dari Selatan ke Utara. Kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara berkembang juga merupakan keadaan berlawanan dengan tujuan PBB yang menghendaki terwujudnya kemajuan dan kemakmuran untuk semua bangsa.
Esensi Pesan Jakarta itu, kiranya, akan disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya. Uluran tangan untuk bekerja sama membangun masyarakat dunia yang lebih merata dan lebih adil, atas prinsip persamaan dan kebersamaan. Persoalan konkret seperti masalah utang, arus dana, terbukanya pasar, merupakan jalur-jalur yang memerlukan koreksi.
KECUALI prinsip dan semangatkerja sama, amat kuat dalam orientasi baru yang dikukuhkan oleh KTT Non Blok di Jakarta adalah orientasi mandiri dan orientasi tahu diri,dua prinsip yang memberikan sandaran dan kredibilitas kepada GNB.
Negara -negara berkembang tidak bertumpu pada mendicancy, pada sikap minta minta dan sikap melemparkan tanggung jawab hanya kepada orang lain. Seperti ditegaskan dalam prinsip mandiri dan pada program kerja sama Selatan-Selatan, pekeljaan rumah, pertama-tama dan terutama dimulai secara domestik oleh negara negara berkembang sendiri.
Disepakati untuk terselenggaranya kondi si politik maupun kondisi sosial yang menunjang secara positif, dilakukannya usaha-usaha pembangunan. Reformasi dan transformasi di dalam negeri, disepakati sebagai titik awal setiap langkah pembangunan.
Mudah dipahami, manakala kelemahan-kelemahan struktur domestik yang bertalian dengan penyelenggaraan kekuasaan dan lain-lain, tidak terungkap dalam konferensi yang dihadiri oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Namun, belajar dari pengalaman sesama negara berkembang, diterima kiranya, bahwa kelemahan kelemahan domestik yang menghambat reformasi ekonomi dan yang memboroskan dana masyarakat, juga merupakan kelemahan yang hams diatasi.
Seperti dalam merumuskan perihal hak-hak kebebasan dan hak-hak asasi, koreksi atau perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan domestik itu, menjadi tanggungjawab negara-negara yang bersangkutan.
Ada maksud lain, mengapa penampilan Presiden Republik Indonesia kedua di depan sidang majelis Umum PBB, mengingatkan kita akan tampilnya Presiden Rl yang pertama di depan forum yang sama. Ingin kita tunjukkan, orientasi ke luar, kepedulian Indonesia terhadap persoalan-persoalan dunia, melekat pada sejarah, pan dangan hidup dan konstitusi kita.
Sekiranya ada anggapan, mengapa kita yang belum menjadi negara industri, sudah mulai ikut-ikut mengurus kesulitan dan penderitaan bangsa-bangsa lain, anggapan demikian tidak tepat. Kepedulian terhadap bangsa-bangsa lain yang menderita, menjadi bagian jati diri kita. Karakter itu terbangun sejak zaman pergerakan kemerdekaan di masa lampau.
Dulu kita peduli dan berdiri di barisan depan dalam menggalang setiakawan untuk perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa dari penjajahan. Kinikita kembali berdiri di depan, untuk bersama-sama dengan bangsa lain, menempuh langkah-langkah bagi kemajuan dan kemakmuran bersama. Inilah refleksi dari sikap kita sebagai bangsa yang tidak egosentris, tidak hanya mementingkan urusan sendiri.
Orientasi kepedulian terhadap bangsa-bangsa lain, akan memperkuat kepedulian kita ke dalam, ke kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang ketinggalan. Itulah resultat dari interaksi antara kepedulian ke dalam dan kepedulian ke luar.
Lebih dari itu, berulangnya analogi sejarah di atas, yakni tampilnya Presiden RI di depan forum PBB pada saat-saat kritis, yakni titik balik perubahan, ingin kita tangkap sebagai amanat bagi kita. Siklus sejarah yang bertemu kembali, ingin kita tangkap sebagai isyarat, zaman boleh berubah dan berkembang, namun untuk sanggup secara kreatif menghadapi dan menanggapi perubahan zaman itu, kita sebagai bangsa tetap teguh pada jati diri kita.
Pada akhimya, jati diri kita sebagai bangsa yang berpandangan hidup seperti terungkap dalam Pancasila itu, yang menyebabkan kita dipercaya untuk memimpin Gerakan Non Blok dan akan sanggup melaksanakannya.
Sumber : KOMPAS (22/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 219-222.