Tajuk Rencana : PRESIDEN TENTANG MINORITAS MUSLIM

Tajuk Rencana : PRESIDEN TENTANG MINORITAS MUSLIM

 

 

Jakarta, Pelita

Ini suatu kenyataan di mana kaum muslimin menjadi mayoritas, warga negara dari agama-agama lain mendapat kebebasan. Dan di mana umat Islam menjadi minoritas, mereka sering ditindas. Sejarah juga menunjukkan hal itu. Di Mesir, Irak, Suriah, Yordania, Aijazair, Maroko, Iran, di semua negeri Islam, agama-agama Kristen maupun Yahudi dan Majusi yang semuanya sudah bercokol di sana sebelum Islam tetap lestari sampai kini.

Presiden Soeharto, dalam pada itu, menunjuk sesuatu yang sebaliknya, yaitu sehubungan dengan minoritas muslim. Dalam pidatonya di KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI), Presiden mengingatkan para anggota akan nasib minoritas muslim di sejumlah negara yang bukan anggota OKI -alias bukan negara muslim.

Presiden menekankan, agar OKI selalu mencurahkan perhatian kepada perlindungan hak, kebebasan, dan martabat mereka, karena masih terdapat sikap tidak toleran dan diskriminasi (terhadap umat Islam) atas dasar perbedaan agama.

Pernyataan yang untuk pertama kalinya disampaikan dalam KTT OKI itu cukup menarik perhatian dan mengundang banyak komentar. Peringatan itu mencerminkan keprihatinan kita semua akan masih banyak praktik-praktik penindasan dan pelanggaran hak asasi terhadap umat Islam.

Hal itu terungkap di mana-mana baik secara kasar maupun secara halus. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami umat Islam yang menduduki posisi minoritas di beberapa negara membuat mereka sulit berkembang dalam banyak hal, baik yang menyangkut peningkatan kualitas hidup secara ekonomis maupun dari segi lainnya, seperti penguasaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Bahkan banyak pula yang mengalami kesulitan dalam hal melaksanakan ibadah.

Tanpa maksud mendeskreditkan negara-negara tertentu, kita bisa menyebut nasib umat Islam di Myanmar, di Xinjiang (Cina), di Thailand Selatan, di Filipina Selatan, di sejumlah negara sosialis Eropa Timur dan lain sebagainya.

Pada dasarnya,setiap negara modem sekarang ini menganut prinsip melindungi semua penganut agama, baik secara nyata tersurat dalam konstitusi mereka maupun dalam peraturan-peraturan lainnya yang berlaku. Tetapi, dalam praktik, sering terdapat penyimpangan, baik yang tidak terkontrol maupun yang dalam kenyataannya dibiarkan terjadi.

Nasib umat Islam di Myanmar, misalnya, yang dikenal dengan sebutan Rohingya, menyedihkan. Mereka melarikan diri ke perbatasan Bangladesh untuk menghindari tindakan kekerasan militer, karena dituduh memberontak. Masjid-masjid dan surau­ surau dirusak, dan kehidupan mereka dipersulit. Ini menimbulkan keprihatinan pemerintah Bangladesh, yang berusaha menyelesaikan masalah tersebut serta mengadakan perundingan dengan pemerintah Myanmar guna menjamin keselamatan saudara-saudara kita itu jika kembali ke Tanah Air mereka.

Minoritas Muslim yang paling besar di dunia ini berada di India. Jumlah mereka lebih dari 100 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari seluruh penduduk di negara itu, atau lebih dari separoh umat Islam dari 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab. Sebagai negara sekuler, India memperlakukan semua agama sama di muka hukum.

Namun, dari kasus yang terakhir saja, bersamaan dengan kebangkitan Hindu ­ yang tercermin dari kenaikan suara yang diperoleh Partai Bharatiya Janata (BJP) ­ terjadi ketegangan Hindu-Muslim yang melibatkan Mesjid Babri di Ayodhya, Uttar Pradesh, India Utara. Pemerintah PM Vishwanath Pratap Singh terpaksa jatuh karena membela prinsip sekuler tersebut yang hanya menunjukkan kuatnya semangat anti Islam.

Semangat itu, dikalangan masyarakat Hindu di India, menunjukkan peningkatan ketika parpol tertentu berusaha mengobarkannya demi mendapat suara dari masyarakat Hindu dalam pemilu. Sampai sekarang pemerintah India terus berusaha mencari jalan ke luar untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Minoritas muslim di Filipina Selatan, yang sebagiannya mendukung gerakan separatis Mindanao, mengalami perasaan menjadi warga negara kelas dua. Jumlah mereka tidak main-main-sekitar 10% penduduk (lebih lima juta dari sekitar 55 juta), seperti biasa disiarkan kantor-kantor berita Barat-namun mereka praktis absen dari seluruh sel pemerintahan, setidak-tidaknya di pusat atau jabatan-jabatan menentukan.

Separatisme itu disebabkan yang terpenting oleh situasi terdesak yang mereka alami di daerah-daerah mereka di Selatan, yang lebih sedikit diseluruh pembangunan dan lebih terbelakang, yakni bekas wilayah berbagai kesultanan Islam (yang dulunya menyatu dengan sebagian wilayah kesultanan kita) yang dari segi budaya tidak diakui oleh pihak yang berkuasa di Utara.

Presiden Soeharto sama sekali tidak menunjuk di mana saja kaum minoritas muslim itu berada, tentu saja, seperti juga keadaan mereka satu per satu. Namun, jelas kiranya bahwa nasib minoritas muslim dibanyak negara non-muslim menyangkut faktor pemerintah maupun rakyat di negara yang bersangkutan.

Kondisi kehidupan minoritas Muslim di negara-negara maju seperti Eropa Barat dan AS umumnya lebih baik, karena sikap pemerintah maupun masyarakatnya yang modern.

Menanggapi peringatan Presiden Soeharto dalam pidatonya di hadapan KTT OKI itu, barangkali langkah pertama yang adalah bagaimana kita mendorong negara­ negara tempat minoritas muslim itu berada untuk menunjukkan minat dan perhatian yang lebih baik untuk memelihara hak-hak, kebebasan dan martabat sesama manusia. Itu bisa diwujudkan misalnya dalam bentuk peraturan yang lebih jelas dan tegas.

OKI barangkali dapat membentuk sebuah komite, badan atau apa pun namanya, yang bertugas memantau dan menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok minoritas tersebut, dan menempatkan perwakilannya di negara yang bersangkuta , untuk melakukan konsultasi dan kerjasama dalam upaya menimbulkan iklim yang lebih kondusif guna mewujudkan tujuan tersebut.

Barangkali juga perlu dipertimbangkan untuk memberikan status tertentu­ dalam lingkungan OKI kepada negara-negara yang jumlah penduduk muslimnya cukup besar, meskipun bukan mayoritas, seperti India, Cina, Uni Soviet dan lain­ lainnya. Bagaimanapun, pemberian status itu membuka peluang bagi terwujudnya suatu pola hubungan yang lebih baik dan menimbulkan dampak yang besar bagi umat Islam dan masyarakat di negara yang bersangkutan.

Peringatan Presiden Soeharto berkaitan dengan nasib minoritas muslim di berbagai negara selayaknya mendapat tanggapan yang positif dan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang konkret.

Dalam banyak hal kondisi kehidupan keagamaan di negara kita sendiri dapat dijadikan model alternatif, karena kita dengan sepenuh hati mewujudkan prinsip tersebut, yang 100% adalah prinsip yang islami. Hanya Islam, memang, agama yang jelas-jelas mengakui pluralitas dari dasar ajarannya sendiri (“Tiada paksaan dalam agama”, “Bagimu agamamu , bagiku agamaku”, demikian Quran), sehinggakaum minoritas di negara kita mendapat rasa aman yang sama dengan yang diperoleh mayoritas.

Bahkan, dalam semangat Pancasila yang diterima Islam, kita, sebagai satu bangsa, tak mempersoalkan lagi sebutan-sebutan itu. (SA)

 

Sumber : PELITA (12/12/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 390-393.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.