TAJUK RENCANA: SETIAP ENGKAU SELESAI, TANCAPKAN LAGI
Jakarta, Pelita
Di depan kita terentang suatu jangka waktu, yang diberi tanda sebagai tahun 1992, yang bahkan sudah kita masuki lebih dari satu hari. Ini adalah jangka waktu yang sangat layak kita anggap sebagai tahun optimisme setidak-tidaknya bila kita menempatkan diri dengan semangat pidato akhir tahun Presiden Soeharto 31 Desember kemarin, yang menekankan sikap optimis ini di tengah -tengah banyak tantangan yang mungkin akan kita hadapi.
Tentu, hitun gan 1992 hanya suatu tanda. Kita, umat muslimin, idealnya bukan orang-orang yang menghadapi saat pergantian tahun 1991 ke 1992 dengan sikap berlebih- lebihan, apa pula dengan sikap yang begitu mubazir, yang memang bukan budaya kita.
Sebagian dari kita malah menganggap bahwa, mestinya, hitungan itu bukan 1992, dan saat pergantian itu bukan Desember-Januari. Kita, umat muslimin, punya hitungan tahun sendiri. Malah sebagian lagi mungkin mengira hitungan tahun itu termasuk urusan agama.
Tidak, tentu saja. Tahun Hijriah itu tahun kita, tapi ia bukan urusan agama. Sementara itu dunia telah beljalan secara demikian rupa di sekitar kita. Bahkan Iran, misalnya, tidak menggunakan kalender yang dulu diumumkan pemakaiannya oleh Khalifah Umar itu, dan sebaliknya mengambil sebuah kalender matahari, yang hanya angka tahunnya dimulai dari hijrah Nabi sementara sistem perhitungannya warisan Majusi.
Betapapun, setelah masa lah identitas dan perjuangan bagi ciri budaya suatu kelompok kaum (yang baiklah kita serahkan kepada waktu), pada akhirnya hitungan tahun hanyalah masalah pemberian tanda. Ini adalah pemberian tanda bagi, tentu saja, perjalanan waktu itu sendiri yang dalam ajaran agama kita diberi tekanan yang kuat sekali. Bukan main pentingnya waktu. Wal’ashrl Demi waktu
Karena waktu itu bukan main mahalnya. Karena jangka waktu itu demikian terbatas. Dan di dalamjangka waktu yang terbatas itulah, kita sebagai pribadi maupun bangsa mendapati diri kita. Kita mendapati pahit dan senang, kecewa maupun harapan. Kita menghadapi berbagai tantangan. Menurut agama, semua itu cobaan. Cobaan bagi pribadi-pribadi, cobaan bagi sebuah bangsa. Dan dalam menghadapi cobaan itulah ikhtiar dan harapan merupakan bagian mutlak dari sikap hidup yang diajarkan. Demikian pula sepanjang menyangkut pergantian waktu 1991 dan 1992.
Optimisme, dengan demikian, adalah ajaran agama sendiri. Agama mengajar kita untuk selalu melihat sisi-sisi baik, sisi-sisi yang berhasil untuk selalu berkusnuzh zhann, istilah teknisnya. Marilah, karena itu, kita melihat sisi-sisi baik yang dicapai dunia Selama tahun 1991. Sisi menggembirakan itu misalnya teijadinya proses perdamaian, rekonsiliasi antar kelompok yang bertikai, dan adanya pelanggaran dalam sistem sosial politik, yang memberi peluang bagi setiap orang dan kelompok untuk memperoleh hak-haknya serta mengekspresikan segala kemampuan yang dimiliki.
Perkembangan itu lazim disebut proses demokratisasi. Asumsi mengenai arus besar ini antara lain dapat dilihat pada proses perdamaian Timur Tengah, rekonsiliasi antar faksi yang terlibat konflik di Kamboja, pembangunan ekonomi negara-negara Eropa Timur, menyusul pembaruan politiknya, dan pemisahan republik-republik, termasuk republik-republik muslim, yang mendorong ambruknya Uni Soviet meskipun di bekas Uni Soviet itu kemudian timbul kekhawatiran di sekitar penggunaan persenjataan nuklir yang jumlahnya berpuluh ribu itu.
Perubahan dan perkembangan sosial politik itu tentu saja diharapkan mempunyai implikasi yang positif dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Kehidupan ekonomi dan budaya nasional kita juga memerlukan proses demokratisasi.
Perubahan sistem sosial politik itu terjadi karena kesadaran manusia yang mengalami perubahan. Yakni timbulnya rasa muak dan kebencian terhadap segala macam kekerasan, baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Kekerasan langsung misalnya pembantaian manusia tak bersalah untuk mencapai tujuan tertentu. Sedang kekerasan tak langsung adalah struktur sosial, politik dan ekonomi yang tak memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mengangkat harkat diri mereka sebagai manusia yang berhak secara layak.
Perubahan itu juga terjadi akibat adanya keterbukaan bangsa-bangsa satu sama lain, yang disebabkan oleh globalisasi informasi, sehingga tidak satu pun bangsa atau negara dapat menutup-nutupi peristiwa apa pun yang menyentuh keprihatinan universal manusia. Kasus Dili yang terjadi 12 November 1991 merupakan contoh yang menghendaki kita membuka tabir peristiwa itu secara tuntas.
Perubahan kesadaran manusia, yang kian hari kian menjauhi penggunaan kekerasan dalam mencapai suatu tujuan, tampak masih akan terus berkembang pada masa mendatang. Karena itu, dalam menghadapi arus besar perubahan ini, selayaknya kita meninjau kembali sistem-sistem yang melingkupi diri, baik sebagai kelompok kecil maupun besar, seperti bangsa dan negara. Karena arus perubahan itu akan susah sekali dibendung.
Setiap upaya membendungnya tidak mustahil dapat menyebabkan pihak pembendung sendiri mengalami alienasi. Padahal tidak satu pun kelompok dapat hidup sendirian di dunia ini.
Barangkali, langkah-langkah positif adalah justru suatu cara untuk tetap memelihara optimisme dalam memasuki tahun baru 1992 ini. Tahun baru, harapan baru. Cara inilah yang dianjurkan agama kita dalam setiap menyikapi pergantian waktu, seperti datangnya tahun baru ini. Marilah kita tidak berhenti tetapi terus bergerak maju. Faidzaa faraghta fanshab. “Bila engkau telah selesai, tancapkan lagi.” Selamat Tahun Baru 1992.
Sumber : PELITA (02/01/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 25-27.