Tajuk Rencana : TAK PERLU MERISAUKAN UTANG LUAR NEGERI
Jakarta, Suara Karya
DALAM pertemuan dengan warga negara Indonesia di Bonn, Jerman, Kamis lalu, Presiden Soeharto menjelaskan soal utang luar negeri Indonesia. “Besarnya bantuan luar negeri tidak perlu dirisaukan, karena jika dihendaki asset yang dihasilkan dari pinjaman luar negeri cukup untuk melunasinya,”kata Kepala Negara.
Namun, ditegaskan Presiden, kita tidak menginginkan hal itu karena kita akan meneruskan program pembangunan. “Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh beberapa negara berkembang dikawasan Amerika Latin dan Afrika, pinjaman yang diterima Indonesia dari luar negeri dikelola sebaik-baiknya guna memperoleh nilai tambah dan demi kemakmuran masyarakat,” kata Presiden.
Selanjutnya Presiden mengungkapkan, jumlah komitmen pinjaman luar negeri yang diperoleh Indonesia seluruhnya 94 milyar dolar AS. Yang sudah dicairkan 73 milyar dolar. Dari 73 milyar dolar yang telah digunakan itu, 28 milyar dolar di antaranya sudah dilunasi sehingga sisa utang yang harus dilunasi tinggal 45 milyar dolar.
DARI data yang diungkapkan Kepala Negara itu dapat dilihat bahwa manajemen utang luar negeri, memang terkendali dengan baik. Sebab dalam jangka waktu belum sampai 25 tahun (lima Pelita) kita berhasil melunasi utang 38, 36 persen.
Dan, dengan manajemen yang terkendali secara baik itu kita berhasil lolos dari krisis utang luar negeri yang melanda banyak negara berkembang.
Namun, dengan perkembangan ekonomi internasional yang, tampaknya, belum pulih dari suasana tidak menentu, barangkali kewaspadaan kita menghadapi kemungkinan dampak negatifnya terhadap perekonomian nasional, seyogianya tetap di pertinggi. Terutama dampak negatifnya terhadap upaya kita untuk terus memacu ekspor, khususnya ekspor nonmigas.
Izinkan kita menggaris bawahi hal ini karena kuat tidaknya daya tangkal kita terhadap kemungkinan ancaman krisis utang luar negeri pada akhirnya amat ditentukan oleh sampai berapa jauh kita berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekspor di tahun tahun mendatang.
UNTUK itu, barangkali titik sentral pemanfaatan utang luar negeri agar lebih berturnpu pada sektor-sektor yang langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan lebih memacu kegiatan ekspor nonmigas di sisi lain.
Bagaimana pola dan formula pemanfaatan utang luar negeri untuk tujuan ganda itu, tentulah para ahli yang paling tahu. Tetapi, bilal diteliti lebih dalam sebenarnya cukup erat keterkaitan antara upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan upaya untuk meningkatkan ekspor-nonmigas, khususnya ekspor komoditi yang berasal dari sektor perekonomian rakyat.
Namun, ada kesan keterkaitan itu cenderung terpotong oleh pola peningkatan efisiensi yang menyebabkan produksi sektor perekonomian rakyat harus ikut memikul beban peningkatan efisiensi yang dilakukan oleh sektor usaha berskala besar. Padahal sumber inefisiensi itu justru lebih banyak terletak pada manajemen usaha berskala besar karena sistemnya yang masih cenderung mendua, antara profesionalisme di satu pihak, dan tradisionalisme di pihak lain.
OLEH sebab itu, barangkali sudah tiba waktunya untuk menciptakan iklim yang lebih memberi peluang bagi sektor perekonomian rakyat untuk memacu dirinya sendiri tanpa perlu ikut memikul beban inefisiensi yang masih menjangkiti usaha berskala besar. Dalam konteks itulah bantuan luar negeri akan dapat berperan sangat menentukan. Dan, sekaligus hal ini dapat pula menjadi salah satu faktor penangkal membengkaknya kesenjangan. (SA)
Sumber : SUARA KARYA(05/07/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 450-452.