Pagergunung, 14 November 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
di Jakarta
TAK SEBURUK PRASANGKA ORANG [1]
Dengan hormat,
Dengan keberanian dan rasa senasib direformasi, saya menulis surat kepada Bapak Soeharto meski tanpa tahu nomor rumah Bapak. Bapak Soeharto yang saya hormati dan kagumi. Dari dulu saya selalu mengidolakan Bapak yang arif, tegas, tegar dan penuh kebapakan meskipun saya belum pernah bertemu langsung dengan Bapak.
Saya melihat Bapak hanya lewat TV, koran dan majalah. Juga keluarga Bapak yang harmonis, rukun dan mementingkan rakyat banyak ketimbang kepentingan pribadi (seperti mbak Tutut) misalnya.
Bapak Soeharto yang saya cintai, saya sangat trenyuh pada 13 Mei yang lalu. Bapak begitu tegar dan berwibawa tanpa ada rasa penyesalan dan beban sedikitpun. Saya juga salut dengan keluarga Bapak yang memilih dan dan siap untuk diperiksa kapanpun juga. Itu menyiratkan jiwa besar dan ketabahan luar biasa bagi kami sekeluarga.
Sebelumnya saya mohon maaf belum memperkenalkan diri langsung menulis panjang lebar. Saya sulung dari 3 bersaudara sudah berumah tangga punya anak 1 laki-Iaki. Orangtua saya dan suami saya petani. Dalam masyarakat, Bapak saya menjabat sebagai Kaur Pemerintahan, sejak 15 tahun yang lalu, di desa Pagergunung, Kec. Bulu, Kab. Temanggung.
Setelah Bapak turun dari jabatan Presiden, arus reformasi melanda daerah Temanggung. Pada bulan Juli, bapak saya direformasi, dituntut mundur dan menyerahkan jabatannya karena korupsi uang 30 juta, atas penjualan tanah bengkok milik Kepala Desa (di sini sebagai upah pamong dari Kades yaitu Bengkok).
Berhubung itu tidak benar, maka setelah ada pengusutan dan pemeriksaan dari Camat Bulu, diteruskan ke Itwil Kab. Temanggung, tidak terbukti. Bapak tidak diberhentikan, selang 10 hari kemudian para reformis tidak terima dan mengajukan proposal ke Kabupaten Temanggung dengan permasalahan yang sifatnya pribadi. Bahkan salah satu dari personel LKMD, Dan Ton Hansip, Ketua Karang Taruna Dusun Cepit datang tengah malam (02.30 sampai 03.00 WIB) mau minta Jabatan Kaur Pemerintahan diberikan kepadanya. Kami sekeluarga tidak bisa tidur karena kaget. Kata Reformis, kami sudah untung menjadi Pamong. Karena sudah punya Tegal ndeles (di atas desa Cepit Lereng Gunung Sumbing).
Padahal kami sebagai anak Pamong, sudah bersikap yang kami anggap paling baik. Di Desa saya langsung menjadi Kader PKK, yaitu:
- Ketua Kelompok Khusus UP2K
- Ketua Kelompok Takesra
- Ketua Kelompok BKB
- Ketua Kelompok Posyandu
- PKBRT, dll
Dengan menjadi anak Pamong dengan segala tetek bengeknya, kami dapat merasakan bagaimana repot dan lelahnya keluarga Bapak Soeharto. Yang pada dasarnya anak-anak Bapak dituntut untuk tampil, pada acara-acara Bapak dengan luwes, trampil dan menguasai semua persoalan dan permasalahannya.
Padahal kami sadar dan tahu bahwa Bapak Soeharto dan putra-putri Bapak yang sudah berkeluarga juga punya permasalahan-permasalahan seperti keluarga umumnya. Sebagai manusia kadang -kadang kita juga punya kelemahan dan kekeliruan dan pernah berbuat kesalahan.
Saya sering bertanya dalam hati apakah orang-orang (Reformis) sempurna dalam tindakannya? Kami sekeluarga masih tetap percaya bahwa Bapak tidak seburuk yang diberitakan di TV dan Koran. Dua orang adik saya yang perempuan di Semarang, yang laki-laki di Yogya tidak pernah ikut demonstrasi mahasiswa. Kata mereka, yang ikut demo hanya mahasiswa yang tidak lulus-lulus, terancam DO dan orangtuanya kena PHIK, buat apa demo. Lha wong mahasiswa kok mau ngatur negara, ngurus diri sendiri belum bisa, apalagi ngatur orang-orang di bawahnya.
Bapak Soeharto yang terhormat, saya sebagai ketua kelompok Takesra/Kukesra di Pagergunung, yaitu Petiran I dan Petiran II, mewakili 60 orang anggota kelompok memohon bantuan dana kepada Bapak. Soalnya, sekarang bantuan pinjaman Kukesra yang Rp 40.000,- per KK tidak mencukupi, padahal ada baberapa yang sekarang lebih meningkat kehidupannya dari pada sebelumnya. Sekarang ada berhenti total berusaha karena untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari.
Bapak Soeharto yang saya kagumi, saya tidak memuji karena untuk meminta sumbangan saja saya dari hati yang paling dalam pun saya tetap memilih Bapak daripada keluarga yang lain, terutama Mbak Tutut.
Untuk saya sebagai pribadi saya bahkan mau minta kenang-kenangan dari keluarga Bapak, kalau boleh pakaian bekas Mbak Tutut atau kerudungnya satu, kalau nggak boleh sapu tangan pun bolehlah.
Untuk kedua kalinya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan terima kasih sebelumnya. Saya akan menunggu dan mengharap sekali dengan bantuan ini, berapapun jumlahnya.
Akhirnya saya akhiri dulu surat saya, sekian dan terima kasih. (DTS)
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hormat saya,
Muslichah
Kec. Bulu – Temanggung
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 517-519. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.