“SAYA TAKUT SURAT SAYA NYASAR LALU SAYA DIPANGGIL POLISI”
Berbagai Surat Kepada Presiden Soeharto :
“Saya mengucapkan terima kasih apabila surat saya ini dibalas atau tidak. Sebenarnya saya sudah lama sekali ingin mengirim surat kepada Bapak. Tapi saya tidak tahu alamat yang jelas, saya takut surat saya nyasar, lalu saya dipanggil Polisi. Sekarang saya kirim surat pada Bapak. Saya mau minta gambar Bapak sekeluarga. Riwayat hidup Bapak bagaimana Bapak jadi Presiden.”
Ini merupakan salah satu, isi dari sekian banyak surat kepada Bapak Soeharto, Presiden RI, yang hari Minggu 8 Juni ini akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke-65. Menurut keterangan, ketika Soeharto lahir di desa Kemusuk, Argamulya, Yogyakarta itu, hari itu tepat sehari sebelum hari Raya Idul Fitri 65 tahun lalu, sama seperti peringatan hari kelahiran itu tahun ini.
Presiden Soeharto, di samping menerima surat-surat dari berbagai penjuru dunia, juga dari dalam negeri dan kebanyakan dari generasi muda. Di antara surat-surat yang dibolak-balik wartawan “SH” itu banyak yang tidak mencantumkan alamat yang jelas sehingga tidak mendapat balasan.
Secara keseluruhan, pengirim-pengirim surat berpendidikan mulai dari SD sampai lulusan SMTA, dari pembantu rumah tangga sampai guru Sekolah Dasar, mulai dari Pulau Simeulu di Aceh Tenggara dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Surat yang dikutip di atas berasal dari seorang yang mengaku pembantu rumah tangga, Ati S. dari Bogor. Pendidikannya hanya sampai kelas 4 SD, kegemarannya membaca, menggunting gambar-gambar dan berita-berita dari koran dan majalah. Juga senang mengumpulkan perangko, tapi katanya tak pernah memperolehnya sebab tidak pernah menerima surat
“Bapak, sebelumnya saya ingin berterus terang dulu pada Bapak, Saya cuma seorang pembantu rumah tangga. Yang sudah enam tahun bekerja sebagai pembantu….,”tulisnya membuka suratnya.
Nia Yuniasari dari Ciamis Selatan menulis “4 x 4 = 16 Sempat atau tidak sempat harus dibalas.” Lalu gadis ini meminta sepeda mini dan bertanya: “bagaimana caranya menjalankan tugas sebagai Kepala Negara.”
Noor Dewi Yantiningsih dari Lumajang, selain meminta bantuan untuk kepentingan sekolahnya, iajuga “mendoakan Bapak Soeharto supaya terpilih menjadi Presiden kembali.”
“Bagaimana Bapak Presiden bisa menjadi Presiden?,” tanya Chandradinata dari Jawa Timur. Pertanyaan serupa dikemukakan Ilham Maruri dari Klaten, Jawa Tengah. Ilham yang mengaku anak petani ini juga menanyakan pengalaman Pak Harto sewaktu masih di bangku sekolah.
Ary dari Pangkal Pinang di samping ingin tahu bagaimana dapat diangkat menjadi Presiden, juga meminta raket bulutangkis dan bola kaki.
Lain lagi Yati Masri dari pedalaman Kalimantan Selatan la menulis sudah lulus dari STM tahun 1983, tetapi sampai ia mengirim surat itu belum mendapat pekerjaan.
“Wah Pak, cari kerja di Kalsel susah sekali. Saya ingin seperti bapak jadi Presiden. Enak ya Pak,” tulisnya.
Tidak Sayang Lis
“Balas ya Pak Harto. Kalau tidak dibalas berarti Pak Harto tidak sayang Lis,” tulis Listy Retnoningsih dari Pekalongan. tapi sekaligus minta kamera. “Bapak mimpi apa, kok bisa jadi Presiden. Setelah jadi Presiden perasaannya bagaimana?, ”tulis Supri Welasati dari Jawa Timur dan Deni dari Jakarta Timur bertanya, “bagaimana bapak bisa meraih sebagai Presiden,” sekaligus ia meminta hadiah sepeda mini.
Neni Junaidi dari Palembang tidak melihat Soeharto sebagai Presiden dan Kepala Negara, tetapi lebih dari itu seperti tercantum dari pada pertanyaannya
“Bagaimana Bapak dapat menjadi Presiden yang dicintai rakyat seluruh Indonesia…?”
John Charles T dari Jakarta Utara juga menanyakan, bagaimana bapak bisa jadi Presiden, di bumbui dengan “Harap dibalas ya? Dan jangan lupa itunya (hadiahnya).”
Oni dari Tegal menanyakan “apakah dulu punya cita-cita jadi Presiden?” Suratnya itu juga menyatakan keinginannya untuk menjunjung Taman Anggrek di Jakarta.
Dwi Satriyani dari Jambi, Herla Riwu dari Kupang NTT, Mila dari Malang, Hariyanti Nova dan Githa Sabrianna dari Padang mengajukan pertanyaan yang hampir sama dengan berbagai variasi menanyakan riwayat Pak Harto menjadi Presiden, sebagai Bapak Pembangunan yang dicintai oleh rakyatnya.
Salah satu surat lainnya sampai lima halaman tulisan tangan, ditulis rapi disertai pas foto, dari Sabirin, Serbelawan Sumatera Utara.
Kedua Kali
Hanya satu dari antara pengirim-pengirim surat itu yang sudah ke dua kalinya mengirim surat kepada Pak Harto, yaitu Lea Meliana dari Medan.
“Ternyata bapak dan ibu sangat besar sekali perhatiannya kepada saya, walaupun saya hanya sebagai rakyat kecil.” Katanya, ia telah mendapat balasan atas kartu ucapan Selamat Idul Fitri yang dikirimkannya.
Lea juga mengucapkan selamat hari ulang tahun kepada Pak Harto, dengan embelembel “tapi tak bisa mengirim kado.”
Dari kendaraan sepeda motor, mesin ketik, sampai seragam olahraga untuk dipakai pada Senam Kesegaran Jasmani diminta kepada Presiden Soeharto. Tapi yang paling banyak meminta foto Bapak dan Ibu serta keluarga.
Tetapi ada pula yang meminta foto-foto menteri. Tiga pengirim surat meminta alamat Wakil Presiden dan Menpen Harmoko, Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (waktu itu), alamat Kedubes Filipina dan Spanyol.
Katon dari Jawa Timur menyatakan keinginannya mengunjungi kediaman Presiden, tapi sayang tak sanggup, tulisnya. “Pak, saya kagum sekali dengan Bapak karena Bapak telah memerintah negara dengan baik sehingga rakyat menjadi hormat kepada Bapak,” tambah Katon.
Katon juga mengirim sajak “Mari Membangun,” sedang Utami Nugraheni dari Wonosari Gunung Kidul mempersembahkan sajak “Gersang”.
Yuni dari Blora, bertanya tentang dunia pendidikan : “Gimana sih, uang pembayaran selalu naik terus. Oh ya, uang SPP Negeri dan Swasta selalu berbeda. Apakah anak seorang yang tidak mampu bisa sekolah bila uang sekolah naik terus? Bagaimana kalau ada guru yang bermain cinta dengan muridnya?”
Yusnidar Simatupang dari Kisaran, Sumatera Utara menanyakan mengapa di kotanya hanya ada satu SMA Negeri, sedang di kota lain lebih dari itu?
Sri Murwati dari Pekalongan mengakui pembangunan begitu maju tetapi ia bertanya “Kapan listrik masuk desa saya?”
“Pak, Sandra mempunyai masalah yaitu, uang ayah saya diambil orang, dengan jumlah yang boleh dikatakan cukup banyak. Tapi ayah saya tidak dapat menuntutnya karena yang mengambil itu adalah adiknya sendiri. Saya takut usaha ayah saya tersendat-sendat sebagai pengusaha kecil,” demikian Sandra Situmeang dari Sidikalang, Sumatera Utara.
Anak Yatim
Seorang gadis remaja mengungkapkan isi hatinya penuh permohonan kasih sayang. Ia mengaku duduk di kelas satu SMP, anak yatim dan tunggal. Yatim bukan karena ayahnya meninggal tetapi kawin lagi, saat ia masih dalam kandungan.
Ibunya yang hanya tamatan kelas V SD, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tidak punya rumah, tinggal bersama majikan dengan gaji Rp 25.000.-/bulan.
Sang gadis menceriterakan penyakitnya, untuk membaca harus pakai kaca mata. “Harganya? Mencekik leher Rp 65.000,- berapa bulan baru bisa dijangkau gaji ibu?” dan untuk itulah ia meminta perhatian Presiden.
Yang paling memelas hati, katanya, adalah perlakuan teman-temannya yang mencemoohkannya sebagai anak “orang gajian”.
Khususnya ketika teman-teman sekolahnya melewati rumah di mana mereka menumpang saat kegiatan baris-berbaris. Kebetulan sang ibu sedang menyapu halaman.
“Saya ingin bertanya kepada Bapak…? Apakah seorang anak orang gajian atau buruh harus menjadi bahan cerita bagi anak-anak yang mampu..? Apakah saya harus bertahan sedangkan Mama tidak mempunyai kedudukan yang tinggi? Apakah mereka masih mencemoohkan saya kalau Mama saya menjual makanan atau kue? Saya tunggu jawaban Bapak Presiden yang mulia dan terima kasih atas kediaannya,” ujar gadis ini dan tidak lupa mengirim salam kepada Ibu Tien Soeharto. (RA)
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber : SINAR HARAPAN (11/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 618-622.