KOREKSI UNTUK H. ROSIHAN ANWAR
Tulisan wartawan kawakan, H. Rosihan Anwar mengenai pertemuannya dengan Tgk. Muhammad Daud Beureu’ eh (Kompas 3 November 1986) sangat mengesankan, Saya menyatakan apresiasi terhadap sikap istiqoomah yang ditunjukkan dalam tulisannya tentang pemimpin besar Aceh itu.
Akan tetapi, di samping hal-hal yang menggembirakan, terlihat oleh saya beberapa kekeliruan yang mengganggu keserasian yang mewarnai tulisannya secara keseluruhan.
Malah, di antaranya ada yang saya kira dapat merusak citra ulama-ulama Aceh. Tapi saya yakin hal itu tidak disengaja. Mungkin karena Saudara H. Rosihan Anwar tidak mempunyai data yang cukup mengenai hal tersebut. Maka perkenankanlah saya mengoreksi hal-hal yang keliru itu.
- Beliau mengatakan bahwa Harta benda milik kaum Uleebalang yang kalah disita dan dibagi-bagikan sebagian besar mungkin diberikan kepada ulama. Keterangan ini saya kira keliru. Setahu saya harta peninggalan kaum uleebalang dikelola oleh suatu badan resmi yang bernama Majelis Penimbang yang dibentuk berdasarkan peraturan Daerah No. 1 tahun 1946 yang ditanda tangani oleh Residen Aceh, Teuku Chik Muhammad Daudsyah dan disetujui oleh Wakil Ketua Badan Pekerja Dewan perwakilan Aceh. Mr. S.M. Amin.
Harta peninggalan Uleebalang tersebut oleh Majelis Penimbang dikumpulkan dan diiventarisasi. Sebagian dan harta itu yaitu yang dirampas oleh uleebalang dari rakyat, atau yang dibeli tanpa dibayar harganya dikembalikan kepada rakyat yang bersangkutan.
Sebagian lain, yaitu yang berasal dari harta baitul-mal dan wakaf yang oleh uleebalang telah dijadikan hak miliknya dengan cara yang tidak sah dikembalikan kepada badan-badan agama yang berhak menerimanya.
Sebagian yang lain dipergunakan untuk mengganti kerugian rakyat dan negara, akibat pembakaran, pemusnahan dan perampokan yang dilakukan oleh uleebalang sejak terjadinya kerusuhan, yaitu akibat pertempuran yang terjadi selama revolusi.
Selebihnya dikembalikan kepada ahli waris uleebalang dengan cara perail dan selama perail belum selesai, keluarga uleebalang yang ditinggalkan, yaitu janda-janda dan anak-anak disantuni dengan mempergunakan harta benda milik uleebalang yang telah dikuasai oleh Majelis Penimbang. Semua yang dilakukan oleh Majelis penimbang itu sesuai dengan pasal 4 Peraturan Daerah No.1 tahun 1946.
Tidak tertutup kemungkinan, bahwa dalam keadaan yang bergolak selama revolusi. tangan-tangan jail dari pelaku-pelaku revolusi telah menggerogoti sebagian harta peninggalan uleebalang itu dan bukan tidak mungkin pula bahwa sebagian anggota Majelis Penimbang yang tidak bertanggung jawab telah mempergunakan kesempatan untuk mengail di air keruh.
Hal yang demikian dalam tiap revolusi lumrah terjadi akan tetapi, pernyataan bahwa kaum ulama yang menang telah menyita harta peninggalan kaum uleebalang yang kalah dan membagi-bagikannya yang sebagian besar diperuntukkan bagi ulama, itu bukan saja berlebihan (exaggerated) akan tetapi juga tidak benar.
Memang ada anjuran dari sebagian ulama konservatif, agar harta peninggalan uleebalang dibagi-bagikan kepada pelaku-pelaku revolusi. Akan tetapi. Teungku Muhammad Daud Beureuh dkk. dengan tegas menolak anjuran itu oleh karena harta tersebut bukan ghaniimah atau harta rampasan.
- Kekeliruan lain dalam tulisan Saudara H. Rosihan Anwar yang ingin saya koreksi adalah yang berikut ini : “…. dan akhirnya melalui perundingan antara Gubernur Aceh, Ali Hasjmi dengan para pengikut Daud Beureu’ eh tercapailah persetujuan kembalinya kaum Darul Islam ke pangkuan Ibu pertiwi dan seterusnya … dan seterusnya …”
Ingin sayajelaskan bahwa penyelesaian konflik antara Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat terjadi dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, perundingan terjadi antara pengikut Daud Beureueh yang memisahkan diri dari beliau yang terkenal dengan Dewan Revolusi dengan Misi Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi.
Jadi bukan dengan Gubernur Aceh, Ali Hasjmy. Sedangkan dalam tahap kedua perundingan berlangsung antara Tgk. Muhammad Daud Beureueh dan Kolonel M. Jasin, sebagai Penguasa Perang Daerah Aceh melalui suratmenyurat dan perantara.
- Suatu kekeliruan lain yang mungkin dianggap kecil tapi tidak seyogyanya dibiarkan saja tanpa diperbaiki ialah keterangan Saudara H. Rosihan Anwar bahwa Gubernur Aceh yang baru, Prof. Dr. Ibrahim Hasan dulu bersekolah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Saya kira keterangan beliau ini tidak benar, Saya tahu betul bahwa Prof. Dr. Ibrahim Hasan dulu bersekolah di Universitas Indonesia, Jakarta. Beliau pernah menjadi Rektor universtas Syiah Kuala.
Hanya sekian koreksi saya, mudah-mudahan ada manfaatnya. (RA)
M. Nur El Ibrahimy
Jl. Tebet Barat IV No. 16
Jakarta 12810.
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (08/11/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 622-624.