Tata Cara Kerja Saya dan Kedudukan Para Pembantu Saya

Tata Cara Kerja Saya dan Kedudukan Para Pembantu Saya [1]

Kegiatan saya berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan ABRI, yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri handayani. Dan dalam rangka itu saya selalu berusaha untuk tidak menumpuk atau menyimpan atau menunda pekerjaan. Sejauh mungkin segera saya selesaikan. Tak mau saya menunda-nundanya dengan alasan ‘saya capek, nanti saja’ dan sebagainya. Sebab, kalau tidak saya selesaikan cepat, berarti memberi contoh kurang baik kepada bawahan. Bisa ditanyakan kepada semua pembantu saya, apakah ia ajudan atau pun yang dari Sekneg, Sekkab, dan sebagainya; apakah ada tandon, apakah ada sisa, tumpukan surat-surat yang tidak saya behandel atau yang terlalu lama menunggu? Selama 20 tahun lebih itu tidak pernah ada dokumen atau pun masalah yang dihadapkan pada saya yang saya tunda penyelesaiannya.

Saya tidak suka pada penangguhan penyelesaian masalah-masalah itu. Prinsip kerja saya harus segera selesai, segera tuntas. Apakah itu laporan dari menteri, dari eselon satu, dari masyarakat atau pun dari tamu-tamu negara.

Sekarang mengenai waktunya. Para pembantu saya memberikan laporan secara langsung kepada saya. Secara langsung pula saya memberikan petunjuk kepada mereka mengenai laporan itu. Ada yang secara pribadi masing-masing, di samping dalam rapat.

Kemudian masih saya lakukan kontrol, mengecheck, apakah semua itu berjalan benar, berjalan lancar. Saya tidak membatasi jam kerja. Misalnya, saya bekerja sekian jam sehari. Tak mungkin! Ya, seolah-olah saya bekerja dua puluh empat jam sehari. Artinya, dalam dua puluh empat jam itu saya siap untuk menyelesaikan segala masalah. Umpamanya, saya sedang tidur, lalu ada masalah yang datang dengan tiba-tiba. Maka saya dibangunkan, ya, saya menerima untuk dibangunkan, dan terus saya selesaikan masalah itu. Tidak menunggu-nunggu.

Pengalaman sampai sekarang, yang saya anggap baik, ialah bangun pukul 05.00, segera saya sujud pada Tuhan, kemudian terus membaca dan menyelesaikan surat-surat. Begitu saya bekerja sampai 07.30-08.00. Berarti tiga jam sudah saya bekerja pada pagi itu. Dan saya berikan semua berkas itu kepada ajudan untuk segera didistribusikan. Setelah itu, barulah saya minum kopi. Dengan demikian, pagi-pagi begitu, sewaktu staf saya masih betul-betul segar, mereka sudah menerima dan membaca disposisi dan petunjuk saya, dan segera pula yang bersangkutan bisa memberikan pekerjaan kepada bawahannya.

Setelah itu barulah saya mandi, sarapan, dan kemudian berangkat ke kantor untuk menerima laporan-laporan secara fisik yang biasa dimulai pukul 09.00.

Apakah saya bekerja di rumah, di Istana atau di Bina Graha, itu disesuaikan dengan tamu dan kedudukan tamu yang saya terima. Saya menerima credential di Istana Merdeka. Menerima tamu negara harus di Istana Negara. Kalau sifatnya nasional atau sehari-hari, saya menerimanya di Bina Graha, sedangkan yang sedikit jumlahnya saya terima di rumah.

Mengapa saya atur demikian, mengapa saya menerima tamu di rumah? Untuk bergerak ke Istana atau ke Bina Graha memerlukan energi dan biaya yang tidak kecil. Pengawalan Kepala Negara  dari rumah di Jalan Cendana ke Istana atau ke Bina Graha memerlukan pengeluaran yang cukup berarti. Tempo-tempo lalu lintas juga terganggu oleh deretan kendaraan  pengawalan itu. Karena itu, kalau tamu saya itu satu atau dua orang saja, maka saya menerimanya di rumah saja. Saya tidak mau melibatkan banyak  orang cuma  karena saya menerima satu atau dua orang tamu. Jadi, bukan karena saya malas, melainkan karena efisiensi. Dan saya mengambil prinsip, di mana pun saya harus bisa melaksanakan tugas saya. Ya, di Istana, ya di Bina Graha, ataupun di rumah. Saya harus bersedia bekerja 24 jam.

Alhamdulillah, sampai sekarang, selama lebih dari 20 tahun, cara kerja saya itu sudah merupakan suatu yang rutin. Artinya, tidak ada masalah. Dan kalau pun saya bepergian dan harus menginap di fempat itu, saya berusaha supaya kemudian tidak ada surat-surat yang menumpuk di meja kerja saya. Saya atur supaya tidak ada surat yang menggeletak sampai beberapa hari. Saya cepat menyelesaikan semuanya  itu.

Tempo-tempo, agar tidak capek, saya selesaikan surat-surat itu malam hari. Biasanya, setelah mendengarkan siaran “Dunia dalam Berita”, saya merampungkannya paling lambat sampai pukul dua belas malam, supaya esok harinya saya lebih tenang. Ya, paling lambat saya tidur pukul dua belas.

Dengan demikian, saya hanya tidur lima jam, sebab pukul 05.00 saya sudah harus bangun. Tetapi alhamdulillah, saya diberi kebiasaan tidur cukup dengan lima jam saja. Cuma kalau capek sekali, kadang-kadang saya harus tidur sore barang sebentar, dan kemudian bekerja lagi.

*

Kalau ada yang mengatakan bahwa para menteri kita itu berlindung di balik nama Presiden, saya artikan, masalahnya memang mereka sebagai pembantu saya dan mereka bersikap begitu semata-mata menjaga jangan sampai terjadi kesalahan. Dan kalau nanti tindakan itu salah, memang Presiden yang bertanggung jawab. Secara konstitusi, saya yang bertanggung jawab terhadap bangsa, Mandataris MPR yang bertanggung jawab dengan dibantu oleh Wakil Presiden dan para menteri, sebagai pembantu Presiden.

*

Hampir dua puluh tahun lamanya saya tidak pernah mengenakan atribut-atribut, bintang-bintang, bendera-bendera kepresidenan, dan sebagainya, (kecuali pada saat-saat yang amat khusus). Mengenai ini saya berpikir bahwa tugas dan fungsi Presiden sebagai Panglima Tertinggi tidak memerlukan atribut dan harus bisa dilaksanakan tanpa itu. Secara konstitusi sudah jelas pula, Presiden itu memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Perang. Dus, sudah secara otomatis dan tidak perlu ditonjolkan dengan atribut, pakai  tanda pangkat jenderal dan sebagainya. Dengan ini saya ingin menunjukkan bahwa tanpa atribut, tanda pangkat, bendera, dan sebagainya itu, secara konstitusi Presiden itu sudah kuat.

Tanpa sebutan Panglima Tertinggi dalam konstitusi, memang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang kita berada di tangan Presiden. Dengan sikap saya itu, saya ingin menunjukkan bahwa tanpa pangkat jenderal pun Presiden bisa memegang komando Angkatan Perang. Dan Presiden yang bukan jenderal pun tetap memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang kita itu. Ya, kalau besok ada orang sipil, yang bukan tentara jadi Presiden, tetap ia memegang kekuasaan tertinggi atas ABRI kita. Dengan ini, saya ingin meluruskan semuanya itu.

Pada waktu saya masih aktif sebagai anggota ABRI, pernah saya pakai pangkat saya. Saya tunjukkan itu, saya sebagai ABRI. Sebagai Presiden, tidaklah perlu. Karena itu pula, dalam rangka memakai tanda kehormatan, misalnya pada Hari Nasional dan sebagainya, pakai sajalah yang kecil; tetapi yang paling tinggi nilainya. Dengan ini saya ingin menanamkan suatu pengertian, sesuai dengan konstitusi, tidak harus Panglima Tertinggi itu hanya bisa dijabat oleh orang yang dari ABRI.

Saya bekerja dengan dibantu oleh para menteri dan pembantu­pembantu lainnya. Sebagai orang, tentu saja kemampuan saya terbatas. Itulah sebabnya saya adakan pembantu-pembantu saya.

*

Di mata saya, semua pembantu saya itu sama. Para pembantu saya itu bekerja berdasarkan tugas dan fungsinya. Dan kepada mereka saya jelaskan prinsip kerja saya, pegangan kerja saya, yakni Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa dan Tut wuri handayani itu.

Di mata saya tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada. Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masing-masing, mempunyai kepercayaan yang sama dari saya. Semuanya pembantu-pembantu dekat saya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Begitu juga dengan Sudharmono. Tetapi karena Sudharmono sebagai Sekretaris Negara, dengan sendirinya dia harus banyak mengerti.

Saya berpendirian bahwa saya memperoleh mandat dari MPR untuk melaksanakan GBHN dan mempersiapkan bahan-bahan GBHN berikutnya. Dasarnya sudah jelas yaitu Pancasila dan UUD ’45. Ini selalu saya tekankan kepada para menteri. Mereka, sebagai pembantu­ pembantu saya, harus mengerti dasar itu. Dan kalau mengerti dasar itu, tidaklah akan sulit bagi mereka untuk bekerja seirama, sebahasa dengan saya.

Sampai sekarang, saya tidak menemukan kesulitan. Pembantu­pembantu saya itu melaporkan masalah-masalah di bidangnya masing­masing. Mereka meminta petunjuk pada saya atau mencocokkannya, apakah benar rencana mereka itu, apakah benar jalan pikiran mereka itu. Ada orang yang berkata, “Apa-apaan, setelah menteri-menteri menghadap Presiden, selalu mengatakan ‘sesuai dengan petunjuk Presiden'” Tetapi memang begitu kejadian yang sebenarnya. Artinya, kalau mereka datang kepada saya, mereka memerlukan petunjuk saya, bagaimana pendapat saya tentang ini dan tentang itu. Mereka sendiri sebenarnya sudah mempunyai pikiran, pendapat tentangnya. Tetapi mereka perlu mengecheck, supaya jangan sampai salah atau terjadi macam-macam. Supaya jangan sampai bergerak sendirian, saya memberikan petunjuk. Begitulah.

Dalam sistem pemerintahan kita, para menteri itu memang menempati kedudukan sebagai pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam pemerintahan yang bersistem liberal dan bersistem parlementer, menteri-menterinya bisa bertindak sendiri­-sendiri. Tetapi dalam pemerintahan kita, sesuai dengan UUD ’45, para menteri kita adalah pembantu-pembantu. Presiden yang harus melaksanakan GBHN, Ketetapan-ketetapan MPR berdasarkan Pancasila dan UUD’45.

***


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 426-430.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.