TEMUAN WAPRES DAN TANGGAPAN KITA
Oleh : J.C. Tarunasayoga
Enam “cacad” menonjol dan merata di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah hasil pantauan Wapres akan menjadi lebih akurat bila masyarakat memberikan tanggapan seperlunya.
Enam “cacad” itu adanya krisis nilai-nilai sosial dalam masyarakat, kelemahan manajemen, kelemahan bertindak lanjut, kelemahan penerapan kontrol social, masalah koordinasi dan masalah pertahanan lima di antaranya (kecuali masalah pertanahan) ternyata erat terkait dengan sikap mental manusia Indonesia.
Tegasnya, secara merasa manusia Indonesia dewasa ini sedang dalam krisis nilai-nilai sosial dan mengalami berbagai kelemahan dalam mengurus dirinya dan orang lain (masyarakatnya).
Tak perlu harus malu kalau dikatakan bahwa banyak Gubernur atau Bupati lemah dalam mengkoordinasi segala sesuatunya di daerahnya sama lemahnya juga Sekwilda yang tak mampu berbuat banyak mengatur manajemen di wilayah itu. Jangankan di wilayahnya di kantomya sendiri pun mungkin tidak mampu.
Pergeseran
Mencoba mencari sebab-sebabnya, mendorong kita untuk mengamati secermat mungkin strukturalisasi kepemerintahan kita.
Secara khusus corak cara pengangkatan pemimpin kepemerintahan, baik yang di tingkat pusat maupun daerah. Tampak menonjol dan merata di mana-mana, siapa yang diangkat menjadi pemimpin (pejabat) ialah seseorang yang punya wibawa.
Kewibawaan seseorang menjadi syarat utama dan atas wibawa yang dimiliki itu diasumsikan bahwa hal-hal yang menyangkut koordinasi, manajemen, kontrol sosial, dan lain-lain akan jalan dengan sendirinya. Wibawa seseorang semakin menjadi harga mati untuk syarat terangkatnya seseorang menjadi pemimpin/pejabat.
Akibatnya, kharisma tidak diperhitungkan lagi sesuatu yang sebenarnya “tersimpan di dalam” diri bukan setiap orang. Atas dasar wibawanya pula seorang Gubernur memerintah propinsinya, sama halnya seorang bupati centang perentang di wilayah kabupatennya.
Kewibawaan pulalah mengalahkan segalanya, termasuk mungkin kritik yang masuk/terdengar, saran yang dapat saja dianggap sekedar omongan. Wibawa itu pula yang dibawa manakala seorang pejabat berhadapan, dengan wakil rakyat (DPR/D).
Dalam besaran skala nasional, dan melihat perkaitannya dengan sikap mental manusia Indonesia, wibawa itulah yang kini diperebutkan, diperjuangkan, dipertaruhkan, bahkan kalau perlu “mengemis” dibawa dari orang kunci. Dewasa ini sedang tetjadi perlombaan wibawa di bumi Indonesia dan siapa pun bebas terlibat.
Begitulah akhirnya soal wibawa sudah masuk ke dalam struktur kepemerintahan. Untuk keluar dari sana menjadi terlalu sulit, karena jabatan di eselon bawahnya pun corak cara pengangkatnya menjadi sama.
Eselonisasi menunjuk bukti itu paling nyata, sehingga orang mengejar mati-matian supaya mendapatkan eselon, sebab eselon itulah yang semakin mengukuhkan wibawanya.
Kalau seorang kepala bagian merasa bahwa wakilnya tidak becus, ia tidak mampu berbuat banyak berhubung wibawa sang wakil itu dikukuhkan oleh SK Menteri. Bahkan sekali pun wakil kabag itu ternyata tidak pernah bekerja/masuk kantor dan terlalu banyak ngobyek, kepala bagian itu tak mungkin menggesernya. Mungkinkah pihak Kepala Kantor mampu? Entahlah! Teoritis mungkin saja, tetapi praksis sehari-hari semuanya dapat sangat lain…!
Di sinilah pergeseran besar-besaran yang telah terjadi dalam struktur kepemimpinan kita, terkait erat struktur kepemerintahan kita. Namun berhubung proses dan corak caranya sudah “mendarah daging” usaha untuk memulihkan pergeseran itu tidak gampang. Pemerintah pusat pun tidak mampu banyak, sebab justru di sana pula semuanya dimulai.
Kontrak Wibawa
Menggantungkan segala-galanya pada wibawa ternyata tidak baik. Kalau enam “cacad” temuan Wapres sangat dipengaruhi oleh sikap menggantungkan wibawa itu, perlu dikupas lagi akibat-akibat lain yang tumbuh.
Yang dimaksudkan ialah, selama seorang pejabat pemimpin duduk dalam kursi kepemerintahannya, terjadilah kontrak wibawa melalui berbagai cara. Kontrak wibawa itu dimaksudkan agar kewibawaannya tetap kokoh, berlangsung lama, bahkan pada gilirannya nanti dapat terjadi estafet wibawa.
Jalinan kontrak wibawa dapat betjalan mulus berhubungjabatan seperti Gubernur, Bupati, atau Walikotamadya berdampak tunggal. Beliaulah penguasa tunggal di daerah itu, dan siapa pun tanpa diminta, pasti sudah lebih dahulu menyodorkan berbagai kemungkinan agar terjadi kontrak wibawa.
Berhubung semua pihak terpusatkan perhatiannya pada menjaga wibawa pimpinan melalui kontrak-kontrak wibawa, itu dengan sendirinya kesalahan yang terjadi di dalam koordinasi atau manajemen misalnya bukan saja ditutup rapat-rapat, melainkan di anggap baik atau tidak terjadi apa-apa. Di situlah sering dianggap sebagai akat ABS asal bapak senang.
Masalahnya bukan senang dan tidak senang, tetapi wibawa…! Apaja dinya wibawa bapak gubernur kalau seorang kepala Dinas Kesehatan membeberkan wabah sampai di suatu daerah dan telah merenggut puluhan nyawa?
Apa pula buntutnya kalau peserta KB Lestari dilaporkan “apa adanya” tanpa angka dan dat mya disulap dulu? Justru aparat di bawalah yang sering mengukuhkan kontrak wibawa itu, mengingat mereka berkepentingan juga dengan corak kerja dan corak pikirsemacamitu.
Temuan Lain
Kalau di atas disebutkan bahwa lima dari enam “cacat” temuan Wapres itu berakar pada sikap mental manusia Indonesia. adakah” temuan lain” sebagai obatnya?
Sekarang ini para calon anggota DPR-RI maupun DPRD sedang menyala-nyala semangatnya. DCS selalu diubah menjadi DCT, mereka juga berharap semoga benar-benar menjadi anggota DPR nantinya.
Di dalam semangat semacam itu masalah ini dimunculkan secara tepat. Maksudnya, diharapkan agar para calon anggota DPR (D) itu benar-benar melihat masalahnya, masalah negaranya, masalah pemerintahnya.
Kalau Bapak Wakil Presiden telah dengan lantang menyerukan berbagai kelemahan kita, layaklah bila semua itu dijadikan modal perjuangan DPR (D) sejak kini sampai nantinya.
Secara struktural DPR (D) harus benar-benar berfungsi sebagai wakil rakyat, yang mengetahui tepat kesulitan rakyat Indonesia seraya mencarikan pemecahannya. Kalau di kalangan pemerintahan pusat maupun daerah terdapat cacat semacam itu, DPR (D) lah yang sepantasnya tampil menjadi “dewa penyelamat.” melalui konsep-konsepnya.
Kalau masalahnya terletak, antara lain dalam soal pemilihan (penunjukan?) pimpinan/aparat, pasti DPR (D) sangat tersangkut di sana. Bukankah DPR (D) tahu persis liku-likunya?
Tegasnya fungsi dari keperananan DPR (D) perlu dikembalikan ke tempat semula, sebutlah defungsionalisasi DPR (D). Kalau memang yang terbaik itu justru harus ada jarak antara Pemerintah dan DPR (D), baiklah jarak itu dipertegas lagi.
Kalau memang fungsi legislatif berbeda dari eksekutif, baiklah perbedaan itu dinyatakan dalam praktek hidup kepada pemerintahan. Kalau yang terpisah hanya gedung dan bangunan fisiknya saja, itu semua pasti tidak menolong.
Temuan lain yang pantas disodorkan ialah pengertian penguasa tunggal harus disempitkan. Jangan sampai seperti sekarang ini, segala-galanya lalu menjadi tergantung pada penguasa tunggal itu. Sampai-sampai untuk memberi keterangan kepada masyarakat pun harus dilakukan oleh Bupati padahal masalahnya menyangkut sapi Banpres mati.
Dalam hal apa sebetulnya seorang Bupati berperan sebagai penguasa tunggal di wilayah kabupaten itu?
Masih ada satu hal lain lagi, yakni yang berkaitan dengan sikap mental wibawa sebaiknya diabdikan ke dalam pelayanan. Siapa yang berjiwa pelayan, itulah pemimpin yang baik. Nah…..! (RA)
…
Jakarta, Prioritas
Sumber : PRIORITAS (05/02/1987)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 43-46.