Pengantar Web Soeharto.Co
HM Soeharto Presiden Republik Indonesia, Bapak Pembangunan Bangsa. HM Soeharto merupakan kader terbaik bangsa yang keseluruhan hidupnya dihabiskan untuk membangun bangsa ini. Mulai dari perjuangan fisik pada era kemerdekaan hingga perjuangan terwujudnya Tinggal Landas. HM Soeharto selalu hadir dalam momen-momen penting krisis bangsa. HM Soeharto berperan dalam perlucutan tentara Jepang, menahan masuknya Belanda ke Indonesia, penggagalan Kudeta Presiden Soekarno Indonesia 3 Juli 1946, Serangan Umum 1 Maret 1949, meredakan pemberontakan-pemberontakan, menjadi panglima operasi Mandala, penggagalan kudeta PKI tahun 1965 dan perjuangan mewujudkan tinggal landas hingga tahun 1998.
Penghapusan memori terhadap langkah dan kebijakan Presiden HM Soeharto berarti pula akan menghapus memori pengalaman-pengalaman bangsa ini mengurai krisis dan strategi-strategi yang tepat dalam membangun bangsa yang multikultur serta berada dalam tarik ulur yang kuat dalam percaturan internasional. Melalui kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia sempat menuai predikat sebagai Macan Asia. Penghapusan memori bangsa ini terhadap Mantan Presidan Soeharto akan menghapuskan pula memori, pengalaman dan pride (harga diri) bangsa ini dari sosoknya sebagai macan (bangsa besar yang diperhitukan dalam percaturan internasional).
Web ini menyajikan informasi hal-hal terkait pribadi Presidan Soeharto maupun langkah-langkah dan kebijakan Presiden Soeharto dalam membangun Indonesia. Tujuannya agar menjadi pelajaran kita semua sehingga benar-benar mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa maju dan berdaulat baik secara ekonomi, hukum, politik, militer dan sosial budaya. Agenda tinggal landas perlu dilanjutkan agar bangsa ini tidak menjadi halaman belakang dalam percaturan peradaban-peradaban dunia.
Biografi Soeharto Masa Kecil
Presiden Soeharto, Presiden ke-2 RI, lahir pada tanggl 8 Juni 1921, di desa Kemusuk daerah Argomulyo Godean, sebelah Barat Yogyakarta. Merupakan putra ketiga dari istri pertama (Nyonya Sukirah) dari Bapak Kartosudiro, seorang ulu-ulu atau petugas pengatur air di desa Kemusuk. Masa kecilnya dihabiskan sebagaimana layaknya anak-anak pedesaan Jawa. Sebagai anak desa, ia tumbuh tidak dalam suasana kemegahan sebagaimana kalangan bangsawan. Pernah suatu ketika di ejek teman-temannya dengan sebutan “Den Bagus tahi mabul” (tahi kering).
Agar memperoleh sentuhan pendidikan secara lebih baik, usia 8 tahun ia dititipkan oleh ayahnya kepada adik perempuan satu-satunya yang berdomisili di Wuryantoro Wonogiri. Suatu daerah sebelah timur Yogyakarta yang secara sosio-ekonomi tidak lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi Godean. Hanya saja bibinya bersuamikan mantri tani, Bapak Prawirowihardjo dan disinilah ia memperoleh pendidikan lebih baik daripada yang diperolehnya di Kemusuk. Belum satu tahun tinggal di Wonogiri, Soeharto kecil dijemput untuk pulang ke Kemusuk karena dirindukan oleh Ibunya. Setahun kemudian ia baru dijemput keluarga Prawirowihardjo untuk menetap lagi dan melanjutkan sekolah di Wuryantoro Wonogiri.
Setelah menamatkan sekolah rendah lima tahun, ia dimasukkan sekolah lanjutan rendah (schakel school) di Wonogiri. Ia terpaksa pindah rumah ke Selogiri, 6 kilometer dari Wonogiri dan tinggal di rumah Citratani, kakak perempuan yang menikah dengan pegawai pertanian. Saat usia menginjak 14 tahun , ia baru di khitan (sunat), dan dirayakan dengan selamatan (tasyakuran) secara sederhana.
Kehidupan keluarga Citratani retak, sehingga ia terpaksa pindah ke Wonogiri lagi dan tinggal di keluarga Bapak Hardjowiyono, teman ayahnya, seorang pensiunan pegawai Kereta Api. Keluarga ini tidak punya anak. Di tempat ini, Soeharto kecil biasa membersihkan rumah sebelum berangkat sekolah, dan pergi ke pasar untuk belanja ataupun menjualkan hasil kerajinan tangan buatan Bu Hardjo. Melalui keluarga ini pula, Soeharto kecil bersentuhan dengan Kyai Daryatmo, sosok kyai sufistik yang tidak hanya memiliki penguasaan ilmu agama sangat luas, akan tetapi juga merupakan seorang tabib (menguasai ilmu pengobatan) dan psikolog sekaligus guru masyarakat. Kediaman Kyai Daryatmo tidak berjauhan dengan kediaman Bapak Hardjowiyono dan di langgar (mushola) Kyai inilah, Soeharto kecil belajar agama. Ia juga sering mendengarkan nasehat-nasehat Kyai Daryatmo kepada mereka yang banyak datang memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, petani sampau bakul-bakul (pedagang kecil).
Keceriaan tinggal di keluarga ini harus terputus dan Soeharto kecil harus kembali ke Kemusuk untuk melanjutkan sekolah Muhammadiyah yang dijalaninya setiap hari dengan naik sepeda dari Kemusuk ke Yogyakarta. Ia terpaksa meninggalkan keluarga Hardjowiyono dan langgar (mushola) Kyai Daryatmo karena ada peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tuanya tidak sanggup membelikan. Walaupun di kota, di Yogya ia bisa bersekolah dengan memakai sarung atau kain. Ia tidak kikuk, karena ada murid lain yang ke sekolah dengan pakaian seperti dirinya. Pada saat di Yogya inilah ia mulai mendengar gerakan-gerakan menentang penjajahan yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Ia tetap saja fokus pada pelajaran dan pada tahun 1939 (usia 18 tahun) ia berhasil menamatkan sekolah di schakel Muhammadiyah Yogyakarta.
Biografi Soeharto Masa Remaja
Setelah tamat ia justru dihadapkan kesulitan baru, karena ayahnya maupun anggota keluarga ayahnya yang lain tidak ada yang sanggup membiayainya melanjutkan sekolah. Ia masih ingat kata-kata ayahnya saat itu. “Nak… tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat, Insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri”. Ia kesana kemari mencari pekerjaan. Pada waktu itu tidak gampang mendapatkannya tanpa uluran tangan orang yang berkedudukan, berpengaruh, orang kaya ataupun pengusaha besar. Setelah kesana kemari tidak berhasil, ia pergi ke Wuryantoro, karena di tempat ini banyak kenalan.
Sampai suatu ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks Bank). Ia mengikuti klerek bank berkeliling kampung dengan sepeda dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap, dengan kain blankon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah ia membantu klerek menampung permintan para petani, pedagang kecil dan para pemilik warung yang menginginkan pinjaman. Disinilah ia belajar pembukuan dan dalam dua bulan pembukuan itu dikuasainya. Bahkan Mantri Bank Desa mengakui jika otak Soeharto kecil encer. Tapi takdir tidak selalu sejalan apa yang direncanakan oleh setiap orang, begitu pula dengan apa yang dialami Soeharto kecil. Suatu ketika, saat turun dari sepeda yang sudah reot, kain yang dipakainya tersangkut pada per sadel yang menonjol keluar dan sobeklah kain yang dipakainya. Ia dicela klerek yang didampinginya dan juga dimarahi Bibinya. Ia dibentak Bibinya dan dikatakan kalau itu satu-satunya kain yang baik dan tidak ada kain lain yang bisa diberikan kepadanya. Peristiwa itu mengantarkannya kembali menjadi pengangguran dari pekerjaan yang sudah dengan susah payah didapatkannya. Ia mencoba mengadu nasib ke Solo, tapi tidak juga mendapatkan pekerjaan. Ia kembali ke Wuryantoro Wonogiri dan hari-harinya diisi dengan kegiatan gotong royong, membangun sebuah langgar (mushola), menggali parit dan membereskan lumbung.
Biografi Soeharto Masa Militer Awal
Tangga karier Soeharto remaja mulai terbuka ketika ada pengumuman dibuka pendataran masuk KNIL (Koninlijk Nederlands-Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia diterima masuk Kortverband di Gombong. Merupakan dinas pendek yang latihannya mirip milisi, dalam waktu 3 tahun. Ia lulus terbaik dan ditugaskan praktek menjadi wakil Komandan Regu di Batalyon XIII Rampal Malang. Ia juga praktek jaga malam di pantai pertahanan di Gresik selama dua minggu, tapi malang nasibnya ia diserang Malaria. Penyakitnya itu kambuh lagi ketika di Malang dan memaksanya dirawat di rumah sakit. Setelah keluar rumah sakit ia ikut ujian masuk Sekoilah Kader di Gombong untuk mendapatkan pangkat sersan. Setelah selesai mengikuti pendidikan dan mendapatkan pangkat sersan, ia dikirm ke Bandung, dijadikan cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat dan ditempatkan di Cisarua.
Garis takdir menentukan lain, setelah dua minggu penempatan, Balanda menyerah pada Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942, Jepang mulai menguasai Hindia Belanda. Dalam suasana penuh ketidakpastian atas kemungkinan penangkapan oleh Jepang, dengan berbekal uang satu gulden, ia main kartu cemeh dan kertu londo. Uangnya bertambah menjadi 50 gulden dan ia gunakan bekal pulang kampung bersama seorang temannya, Amat Sudono, naik kereta dari Cimahi menuju Yogyakarta. Dari Yogya ia kembali ke Wuryantoro dan harus berbaring selama enam bulan oleh serangan Malaria.
Sementara Jepang sudah membentuk lembaga-lembaga keamanan mulai dari Karisidenan hingga kampung-kampung, seperti Keibodan dan Seinendan. Wanita-wanita dikerahkan melalui Fujin Kei. Kenco atau Bupati dibentuk tanpa menurut kebiasaan lama yang bertumpu pada garis keturunan sebagaimana jaman Belanda. Begitu pula dengan pengangkatan pamongpraja. Romusha juga dibentuk sebagai Badan Pengerahan Pekerja Paksa. Tenaga-tenaga itu dipakai untuk membangun dobuku (dam irigasi) di pelbagai tempat di Jawa, namun juga dikirim ke Birma untuk membangun jalan sesuai kebutuhan Jepang. Pengibaran bendera Merah-Putih yang semula diijinkan segera dilarang da diganti bendera Jepang, Hinomaru. Begitu pula dengan lagu Indonesia Raya digantinya dengan Kimigayo. Setelah mulai sembuh, Soeharto muda mulai lagi mencari pekerjaan dan mengadu nasib di Yogya.
Biografi Soeharto Masa Penjajahan Jepang
Pantang menyerah merupakan salah satu ciri kas pemuda desa yang kelak memimpin Indonesia ini. Soeharto muda ikut kursus mengetik dan juga sakitnya kambuh ketika mengadu nasib di Yogyakarta ini hingga suatu ketika ada penerimaan keanggotan Keibuho, Polisi Jepang di Indonesia. Ia diterima dan bahkan lulus latihan dengan predikat terbaik. Kepala Polisi Opsir Jepang bahkan menyuruhnya Belajar Bahasa Jepang dan menganjurkannya mendaftarkan menjadi tentara sukarela PETA (Pembela Tanah Air). Ia diterima dan dilatih sebagai Shodancho, komandan peleton. Disini ia memperoleh tempaan keras khas Jepang dengan titik berat pada penguasaan taktik kesatuan kecil, peleton atau seksi. Selesai pelatihan ia ditempatkan di Batalyon di Wates Yogyakarta, pos pertahanan di Glagah di pantai selatan Yogyakarta, Solo dan Madiun.
Nasib baik memayungi Soeharto muda ini karena segera terpilih menjadi untuk mengikuti pelatihan Chudancho (komandan kompi), untuk mempelajari taktik dan strategi perang. Selesai latihan ia di tempatkan di Seibu, markas besar Peta di Solo, di Kusumoyudan. Setelah itu ia di tugaskan Jaga Monyet (nama asrama Tentara) Jakarta, untuk melatih siswa STM menjadi tentara zeni. Kemudian dipindah lagi Markas Besar PETA yang sudah pindah ke Madiun. Ia berhasil lolos dari pembersihan akibat pemberontakan PETA di Blitar dan masih dipertahankan Jepang untuk kemudian ditempatkan di kaki Gunung Wilis di desa Brebeg selatan Madiun melatih prajurit PETA. Kini pemuda yang masa lalu sokolahnya berpindah-pindah dan kesulitan mencari pekerjaan itu telah mengenal dua tradisi kemiliteran (Belanda dan Jepang) yang sangat berpengaruh dalam menopang karirnya kelak dikemudian hari.
Biografi Soeharto Masa Penjajahan Jepang Berakhir
Berita proklamasi 17 Agustus 1945 yang didapatnya melalui koran Matahari terbitan Yogya pada tanggal 19 Agustus 1945, bagi Soeharto Muda merupakan sebuah panggilan jiwa untuk mendedikasikan dirinya dalam pengabdian kebangsaan. Berita itu telah menjadi tonggak awal bagi dirinya untuk secara formal terlibat dalam menentukan jatuh bangunnya Republik Indonesia pada waktu-waktu berikutnya.
Koran itu memberitakan telah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan wakil Presiden. Koran itu juga memberitakan seruan Sultan Hamengku Buwono IX agar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk mendedikasikan dirinya dalam menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.
Pada tanggal 7 Oktober 1945, tepatnya jam 10.30, ia berhasil memimpin pasukannya turut menaklukkan markas tentara Jepang di Kotabaru. Pada saat itu usia Pak Harto masih 24 tahun dan harus mengambil beban tanggung jawab kepemimpinan pasukannya karena komandan sedang menjalani tugas dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Madiun. Selanjutnya memimpin pasukannya dalam “Pertempuran Lima Hari” di front Pandeanlamper Semarang. Prestasi kemiliterannya terus berlanjut dengan turut serta menaklukkan tentara Jepang di lapangan terbang Maguwo. Pertempuran-pertempuran itu selain merupakan pengambilalihan kendali Militer Jepang —yang sudah kalah dalam Perang Dunia II— atas wilayah Republik Indonesia, juga merupakan konsolidasi kekuatan persenjataan BKR. Pasukan Seharto muda dalam pertempuran di Maguwo itu dapat merebut beberapa buah pesawat yang kelak menjadi modal dalam pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia.
Selain peran perlucutan senjata tentara Jepang, Soeharto muda juga turut serta memukul mundur majunya pasukan sekutu dari Magelang menuju Ambarawa. Ia memimpin Batalyon X dari sektor Yogyakarta dengan kekuatan empat kompi. Pasukannya menusuk Ambarawa melalui Banyubiru dalam sebuah pertempuran “Palagan Ambarawa” yang bersejarah. Pertempuran itu dipimpin langsung Kolonel Sudirman yang kala itu hendak dilantik sebagai Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan strategi “supit udang”. Pasukan Soeharto muda diberi tugas menduduki Banyubiru untuk pengamanan lambung pasukan induk pejuang yang memasuki Ambarawa. Setelah Magrib ia masuk Banyubiru dan memukul mundur kekuatan Sekutu menuju Ambarawa serta menempatkan pasukan yang baru menang itu jauh di garis depan (front line) pertempuran. Penempatan pasukan itu menunjukkan kejeniusan strategi perang komandan muda untuk mengelabuhi serangan balik pasukan sekutu yang lebih lengkap dalam teknologi persenjataan modern. Malam harinya, semalam suntuk Banyubiru dihujani keganasan meriam sekutu. Namun pasukannya terlindung karena berada dalam zona jauh di depan dan Banyubiru tetap tertutup bagi sekutu dalam menusuk lambung pasukan induk pejuang.
Biografi Soeharto Masa Kudeta Tan Malaka
Pada tanggal 4 Januari 1946, seiring tekanan sekutu mempersempit ruang gerak pejuang, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pindah ke Yogyakarta, sekaligus menandai perpindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Perpindahan Ibukota semakin menambah tekanan kepada Yogyakarta sebagai simbol eksistensi pemerintah Republik Indonesia yang di dalamnya syarat dengan tekanan politis maupun militer, baik dari dalam maupun luar (Sekutu dan Belanda). Sementara itu, Letkol Soeharto, atas prestasinya di berbagai front pertempuran, dipercaya sebagai Komandan Resimen 22 Divisi Diponegoro Yogyakarta yang ternyata kemudian menjadi Ibu Kota.
Untuk mengantisipasi sikap Belanda para pemimpin Indonesia melakukan perubahan sistem kabinet dari presidensil menjadi kabinet parlementer dan Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri. Sjahrir merupakan tokoh sosialis yang dipandang tepat menjalankan diplomasi dengan Belanda karena bersamaan dengan momentum kebangkitan Partai Sosisialis di Belanda.
Pagi hari tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono bersama kelompoknya menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden. Mereka menuntut Presiden Soekarno agar bersedia:
- Memberhentikan Kabinet Sjahrir II,
- Menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik,
- Mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
- Mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Tuntutan itu secara jelas tidak hanya meminta pergantian Kabinet Sjahrir, akan tetapi juga meminta penyerahan kepemimpinan Presiden yang meliputi kepemimpinan politik, sosial dan ekonomi. Presiden Soekarno sudah mengetahui rencana tersebut berkat laporan Letkol Soeharto. Aparat keamanan istana sudah berjaga-jaga dan dengan mudah melakukan penangkapan terhadap Mayor Jenderal Sudarsono beserta kelompoknya. Penangkapan itu tanpa gejolak karena pasukan di konsinyir Letkol Soeharto. Pada hari itu pula upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan sendirinya berakhir tanpa pertumpahan darah. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara. Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.
Peristiwa itu sendiri dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946. Namun peran Letkol Soeharto yang genial itu tidak banyak diekspose kecuali penolakan surat perintah yang kemudian dirinya dijuluki sebagai perwira muda koppig.
Biografi Soeharto Masa Pemberontakan PKI Madiun
Letkol Soeharto merupakan salah satu bagian skenario Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam menetralisir pemberontakan FDR/PKI Madiun tahun 1948. Penugasan Letkol Soeharto merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana Panglima Jenderal Sudirman menjadikan Divisi III/Diponegoro sebagai instrumen penengah konflik antar kesatuan ketentaraan yang terjadi pada saat itu.
Infiltrasi PKI telah menyebabkan konflik antara Divisi Siliwangi (yang baru long march dari Jawa Barat menuju Ibukota Yogyakarta sebagai konsekwensi perjanjian renvile) dan kesatuan Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) nyaris mengalami jalan buntu. Kedua belah pihak (brigade-brigade siliwangi dan KPPS) bertempur secara fanatik. Tidak jarang perkelahian perorangan dengan sangkur terjadi. Konflik ini benar-benar tajam. Panglima Besar Jenderal Sudirman bahkan hampir memenuhi tuntutan KPPS untuk mengeluarkan kesatuan Siliwangi dari Surakarta, namun atas masukan dari para stafnya (termasuk AH. Nasution), rencana tersebut dibatalkan.
Penyelesaian konflik tentu tidak cukup di atas meja, namun juga harus dilakukan gelar pasukan yang disegani kedua belah pihak untuk menjadi penengah. Sebagai solusi, selain menempatkan sosok tegas Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta, Jenderal Sudirman melibatkan Divisi III Diponegoro (sebagai satuan ketentaraan yang tidak terlibat konflik) untuk turut menengahi konflik.
Biografi Soeharto Masa Agresi Militer Belanda
SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Letkol Soeharto merupakan aktor utama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Keberhasilan serangan ini menjadi modal utama dalam melicinkan pintu diplomasi Indonesia di forum internasional sehingga Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan. Rencana Belanda hendak menguasai kembali Indonesia yang pada awalnya didukung sekutu dapat dipatahkan.
Ada banyak pihak yang meragukan Letkol Soeharto sebagai aktor utama Serangan ini. Namun mencermati fakta dan situasi yang mengitarinya, keragu-raguan itu dengan sendirinya terpatahkan.
Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya dimungkinkan oleh keberadaan komando tunggal —yang memiliki kendali penuh atas setiap lini kekuatan tempurnya— dalam mengaplikasikan strategi perang yang telah direncanakan. Kemampuan menyusun “taktik perang” dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya dimiliki seorang komandan terlatih yang memang menguasai strategi sekaligus memahami medan pertempuran yang dihadapi.
Dalam kondisi terpisah dan terputus komunikasi dengan struktur kemiliteran yang lebih tinggi, maka kendali penuh atas wilayah Yogyakarta berada di tangan Letkol Soeharto. Begitu pula dalam konteks Serangan Umum 1 Maret 1949, perencanaan, mobilisasi pasukan dan penyiapan strategi perang merupakan inisiatif sepenuhnya komandan Brigade X/ Wehrkreise III Yogyakarta.
Dalam kondisi terpisah dan terputus komunikasi dengan struktur kemiliteran yang lebih tinggi, maka kendali penuh atas wilayah Yogyakarta berada di tangan Letkol Soeharto. Begitu pula dalam konteks Serangan Umum 1 Maret 1949, perencanaan, mobilisasi pasukan dan penyiapan strategi perang merupakan inisiatif sepenuhnya komandan Brigade X/ Wehrkreise III Yogyakarta.
Biografi Soeharto Masa Komando Mandala
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan Irian Barat disepakati akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Sebagaimana tabiat aslinya, Belanda berusaha merobek perjanjian dengan berbagai cara, termasuk melalui pintu diplomasi maupun cara-cara militer dengan terus memperkuat tentaranya di Irian Barat. Setelah melalui jalur diplomasi tidak menuai hasil, pemerintah Indonesia memutuskan pembebasan Irian Barat dilakukan melalui konfrontasi di segala bidang termasuk dengan menggunakan kekuatan militer.
Pada awalnya, langkah-langkah militer pembebasan Irian Barat kurang menuai hasil. Sampai suatu ketika Presiden Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat sekaligus memenuhi usulannya —usulan Mayor Jenderal Soeharto— menjadikan Kawasan Timur Indonesia-Irian Barat sebagai satu kesatuan Mandala di bawah satu komando.
Secara keseluruhan operasi, perjuangan pembebasan Irian Barat dilaksanakan dalam empat fase. Pertama, fase diplomasi. Kedua, fase operasi militer pra Mandala. Ketiga, fase Mandala terintegrasi, dan; Keempat, fase konsolidasi. Melalui keempat fase tersebut dapat diketahui peran penting Mayor Jenderal Soeharto dalam proses percepatan pembebasan Irian Barat.
Biografi Soeharto Masa Pemberontakan G 30 S/PKI
Setelah menjalankan peran penting dalam Perjuangan Pembebasan Irian Barat, garis takdir menempatkan Mayor Jenderal Soeharto menjalani peran penyelamatan kudeta bangsa atau yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September 1965/PKI.
Takdir sejarah tidak menghendaki dekonstruksi peradaban Nusantara yang kali ini hendak didesain sebagai subordinasi imperium Komunisme. Oleh sebab sepele, rencana kudeta yang telah disusun rapi itu hancur berantakan. Kegagalan itu diawali dengan melesetnya rencana “pengamanan” Presiden Soekarno untuk hadir tepat waktu di Lapangan Udara Halim pada pagi hari pelaksanaan kudeta. Kegagalan Brigadir Jenderal Soepardjo “menjemput” Presiden Soekarno di Istana Negara menyebabkan rencana menyandera Presiden Soekarno agar secara mudah diarahkan sesuai skenario Aidit menjadi berantakan. Aidit dan komplotannya, Letkol Untung Cs, kemudian bertindak ceroboh dengan mendemisionerkan kabinet dan Presiden Soekarno sebagai pemimpin tertinggi negara melalui pengumuman radio.
Kecerobohan sepele itu akhirnya membongkar kedok Aidit yang sebenarnya, sekaligus menggerakkan naluri Mayor Jenderal Soeharto, yang segera menangkap situasi, bahwa Presiden maupun bangsa dan negara dalam keadaan bahaya. Berbekal amanat Jenderal Soedirman agar dirinya menjaga keselamatan bangsa dan negara, ia mengumpulkan loyalis nusantara yang tersisa, untuk kemudian melakukan perlawanan terhadap upaya kudeta. Kurang dari 24 jam, kudeta yang telah disusun rapi itu akhirnya hancur berantakan oleh serangan balik Mayor Jenderal Soeharto. Keberhasilan ini tidak hanya menggagalkan upaya PKI mengganti pemerintahan yang sah, akan tetapi juga menyelamatkan eksistensi peradaban nusantara yang akan dicerabut oleh kekuatan Komunisme.
Biografi Soeharto Masa Pembangunan
Selama lebih 30 tahun kepemimpinannya, Presiden Seharto berhasil membawa Indonesia kedalam pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5% pertahun. Panjang usia harapan (life expectancy) meningkat tajam dari 56 tahun pada tahun 1966 menjadi 71 tahun pada tahun 1990. Proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolute menurun tajam dari 60% pada tahun 1966 menjadi 14% pada tahun 1990. Investasi meningkat tajam, tabungan domestik cukup tinggi dan usaha pertanian tumbuh cepat sehingga mencapai swasembada pada tahun 1984. Inflasi dapat dipertahankan dibawah 10%, rata-rata defisit neraca berjalan mencapai 2,5% dan cadangan devisa dipertahankan mendekati jumlah kebutuhan impor kurang lebih 5 bulan. Selama 7 tahun —antara tahun 1983 sampai tahun 1990—, ekspor non migas telah tumbuh rata-rata diatas 20% pertahun dan ekspor barang-barang manufaktur tumbuh 30% setiap tahunnya.
Pertumbuhan Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan (mulai tahun 1967 s/d 2007) menjadikan Indonesia digolongkan kedalam ekonomi industri baru (Newly Industrializing Economies, NIEs) Asia Tenggara. Antara tahun 1967-1990-an, pendapatan per kapita riil meningkat lebih dari tiga kali. Pertumbuhan tinggi dan konsisten, stabilitas yang terkelola dengan baik dan disertai political will pemerataan telah menghasilkan capaian-capaian: (1) perbaikan kesejahteraan rakyat secara signifikan, (2) panjang usia harapan (life expectancy) meningkat cukup tajam dari 56 tahun pada tahun 1966 menjadi 71 tahun pada tahun 1991, (3) proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut menurun tajam dari 60% tahun 1966 menjadi 14% pada tahun 1990, (4) perbaikan secara cepat dan signifikan indikator sosial- ekonomi mulai dari pendidikan hingga kepemilikan peralatan serta penguasaan teknologi. Indonesia juga telah berubah dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada tahun 1984 dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan melalui program keluarga berencana (KB). Capaian prestasi ini menjadikan Indonesia (bersama Malaysia dan Thailand) digolongkan sebagai “Keajaiban Asia”.
Presiden Soeharto merupakan kader terbaik bangsa yang keseluruhan hidupnya dihabiskan untuk membangun bangsa ini. Mulai dari perjuangan fisik pada era kemerdekaan hingga perjuangan terwujudnya Tinggal Landas. Ia selalu hadir dalam momen-momen penting krisis bangsa. Mulai dari perlucutan tentara Jepang, menahan masuknya Belanda ke Indonesia, penggagalan Kudeta Presiden Soekarno Indonesia 3 Juli 1946, Serangan Umum 1 Maret 1949, meredakan pemberontakan-pemberontakan, menjadi panglima operasi Mandala, penggagalan kudeta PKI tahun 1965 dan perjuangan mewujudkan tinggal landas hingga tahun 1998. Keterkaitan erat perjalanan hidupnya dengan jatuh bangunnya bangsa ini, maka segencar apapun pihak-pihak tertentu berusaha menghapus peran Presiden Soeharto dari peta sejarah, tetap tidak akan menuai hasil. Penghapusan peran kesejarahan Presiden Soeharto akan berarti penghapusan eksistensi kesejarahan Indonesia itu sendiri. Jika generasi Presiden Seokarno menjadi peletak dasar visi kebangsaan, maka Presiden Soeharto lah peletak tiang pancang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui struktur kelembagaan negara yang kuat. Maka tidak heran jika ia berhasil membawa Indonesia menjadi Newly Industrializing Economies dan macan asia.