UMAT ISLAM MEMBUTUHKAN PRESIDEN SEPERTI SOEHARTO
Jakarta, Pelita
Menurut almarhum Prof. Dr. Hazairin, mantan guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia, sila Ketuhanan Yang Maha Esa antara lain harus ditafsirkan bahwa Pemerintah Indonesia harus turon tangan bila pelaksanaan sesuatu ajaran-agama di Indonesia memerlukan uluran tangan Pemerintah.
Inilah agaknya yang membedakan antara negara Pancasila dengan negara sekuler. Di negara Pancasila pelajaran agama diwajibkan sampai ke universitas, tapi di negara sekuler seperti AS seorang guru yang memimpin acara berdoa di sekolah negeri dianggap telah melakukan sesuatu yang tidak konstitusional karena negara dan agama dipisahkan (separation of church and state). Jadi negara tidak boleh campur tangan dalam masalah agama.
Di lingkungan UI, pendapat Prof. Hazairin itu sangat berpengaruh dan diikuti oleh para penerusnya seperti Prof. Daud AH, Ny. Habibah Daud SH, Sayuti Thatib SH, atau Idris Ramulyo SH. Karena dosendosen UI biasanya juga mengajar diuniversitas-universitas swasta, maka pengaruh “ajaran” Hazairin ini tentunya sudah menjalar pula ke manamana. Alhamdulillah praktek-praktek kenegaraan selama Pemerintahan Presiden Soeharto rupanya sejalan dengan tafsir Hazairin ini.
Sepanjang yang menyangkut ajaran agama Islam, lihat saja misalnya pelaksanaan ibadah haji. Umat Islam Indonesia mustahil bisa pergi haji ke Mekkah tanpa uluran tangan pemerintah, karena Pemerintahlah yang punya pesawat terbang, Pemerintahlah yang berwenang mengeluarkan paspor dan exitpermit serta Pemerintahlah yang berwenang mengatur Biro Perjalanan yang boleh melakukan pelayanan perjalanan umroh dan haji.
Tahun demi tahun kelihatan sekali Pemerintah Presiden Soeharto berupaya keras untuk meningkatkan pelayanan haji ini, karena tuntutan pelayanan itu sendiri juga meningkat dari musim ke musim.
Betapa Presiden Soeharto menaruh perhatian penuh pada pelaksanaan ibadah haji ini dapat kita lihat dari kasus tahun ini. Jumlah jamaah haji Indonesia tahun ini meningkat pesat sampai mencapai 81.000 lebih, atau meningkat lebih 40 persen dari pada jumlah tahun lalu. Ini tentunya tidak terlepas dari membaiknya situasi ekonomi dan semakin meningkatnya kesadaran beragama umat Islam.
Karena jumlah jamaah haji yang sangat banyak itu, Presiden Soeharto rupanya khawatir kalau-kalau Pemerintah Arab Saudi tidak mampu menerima dan mengurusnya dengan baik. Oleh karena itu Presiden Soeharto memerintahkan kepada Menteri Agama unawir Sjadzali agar pergi sendiri ke Riyadh dan menanyakan secara langsung kesanggupan Pemerintah Arab Saudi menerima jamaah haji Indonesia.
Mengapa mesti langsung, bukankah di Jakarta ada Dubes Arab Saudi? Itulah bukti kecintaan Presiden Soeharto kepada Umat Islam. Ia penuh perhatian, memperhatikan masalah umat hingga serinciserincinya.
Perhatian pemerintah terhadap umat Islam yang masih segar dalam ingatan adalah adanya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) tempo hari.
Alhamdulillah, RUU-PA kini sudah menjadi Undang-Undang, dan dengan demikian memperkokoh keberadaan Hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaan ajara Islam mengenai hukum yang berkaitan dengan perkawinan, waris dan sebagainya memerlukan uluran tangan Pemerintah, dan Pemerintah pun dengan kekuasaannya menurut Pasal 5 ayat 1 UUD 45, mengulurkan tangan dengan cara mengajukan RUU-PA.
Dengan berlakunya RUU-PA, maka Hukum Islam semakin tegar menjadi bagian dari Tata Hukum Nasional. Umat Islam kini akan mempunyai Peradilan sendiri dalam masalah-masalah perkawinan, waris dan sebagainya.
Uraian di atas hanya merupakan, beberapa bukti saja betapa Presiden Soeharto sangat menaruh perhatian terhadap pelaksanaan ajaran Islam dalam Negara Pancasila. Tidak usah diuraikan di sini betapa repotnya pemerintah mengurus angkutan Idul Fitri, Hari Raya paling akbar, kalau dilihat dari sisi kesibukan umat. Maka, kalau akhir-akhir ini sudah ada 121 ulama dan Kiai yang ingin mencalonkan kembali Soeharto sebagai Presiden RI periode 1993-1998, itu adalah cerminan dari sikap lugas mereka. Lugas dalam arti bahwa sebuah republik harus punya presiden, tapi sampai sekarang belum ada seorangpun yang menyatakan bersedia untuk jadi Presiden RI yang akan datang, Presiden Soeharto terbukti bersedia dan mampu menjadi Presiden RI sejak tahun 1967, dan secara resmi Soeharto belum pernah menyatakan menolak untuk periode berikutnya. Itulah sebuah kelugasan, dan umat Islam memang memerlukan seorang Presiden seperti Soeharto.
Runtuhnya Komunis di percaturan internasional, angin pembaruan sekarang ini bertiup dari Eropa Timur dan Soviet. Pembaruan di kawasan itu antara lain ditandai oleh berantakannya sistem komunis.
Pemerintah Presiden Soeharto adalah pelopor pembaharuan karena di Indonesia partai komunis sudah dibubarkan oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1966, jauh sebelum angin pembaruan bertiup di Eropa Timur dan Uni Soviet.
Sumber : PELITA (08/06/1990)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 356-359.