Untuk Kelima Kalinya Terpilih jadi Presiden RI dan Masalah Calon Wakil Presiden

Untuk Kelima Kalinya Terpilih jadi Presiden RI dan Masalah Calon Wakil Presiden[1]

Menjelang dilangsungkannya Sidang Umum MPR 1988 terjadi tour of duty di lingkungan pimpinan ABRI. Letjen. Edi Sudradjat[2] diangkat jadi KSAD, menggantikan Jenderal Try Sutrisno. Jenderal Try Sutrisno menjadi Pangab, menggantikan Jenderal Benny Moerdani. Benny Moerdani, yang waktu itu tetap memegang Kopkamtib, saya tetapkan kemudian sewaktu pengangkatan Kabinet Pembangunan V menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Benar apa yang dikatakan Jenderal (Purn) Soemitro, bekas Pangkopkamtib, pada salah satu media, bahwa di balik pergantian itu tidak ada apa-apa.

Kejadian itu merupakan pelaksanaan program dalam rangka regenerasi semata. Itu sudah termasuk rencana dalam melaksanakan regenerasi dalam pimpinan ABRI. Tidak ada masalah gangguan keamanan dan sebagainya berkenan dengan ini. Tidak pula dibuat­buat. Sudah merupakan keyakinan saya pula bahwa keamanan kita sedemikian rupa sehingga walaupun penggantian itu dilakukan di tengah-tengah sidang MPR, tidak akan terjadi apa-apa. Hal lain, itu juga disesuaikan dengan kebutuhan sesudah Sidang Umum MPR.

*

Tepat pada tanggal 1 Maret —tanggal yang sangat berarti buat saya jika saudara ingat akan pengalaman saya pada tahun 1949— Sidang Umum MPR 1988 dibuka. Kita sudah tahu apa yang akan dibahas dalam sidang terhormat itu, yakni Majelis akan menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden, serta mengambil keputusan­keputusan dan ketetapan lain yang penting.

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim saya langkahkan kaki, dengan mengenakan pakaian stelan sipil warna gelap dan tidak lepas dari peci hitam, lalu menuju ke gedung yang berbentuk kubah di Jalan Gatot  Subroto.

Waktu masuk di ruangan Graha Sabha Paripurna para anggota Majelis yang terhormat sudah hadir. Saya dan Wakil Presiden Umar dipersilakan duduk di atas kursi yang sudah disediakan di depan, di lantai yang setingkat lebih rendah daripada tempat duduk para pimpinan Majelis. Itu lambang kita. Memang UUD kita menegaskan bahwa Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Presiden adalah Mandataris Majelis. Presiden tidak sejajar, melainkan berada di bawah Majelis. Hal ini pun saya jelaskan lagi dalam pidato saya di depan sidang yang kita hormati itu, supaya kita tidak lupa, supaya kita selalu ingat akan hal itu.

Ketua Majelis membuka sidang yang penting itu. Menjelaskan tujuan sidang itu, serta melaporkan pula mengenai suara rakyat yang masuk ke MPR mengenai harapannya agar saya suka menerima untuk diangkat kembali menjadi presiden kurun waktu lima tahun yang akan datang. Lalu saya dipersilakan menyampaikan pertanggungjawaban saya selaku Presiden/Mandataris MPR kurun waktu lima tahun yang lewat. Saya paparkan —tentu saja garis-garis besarnya— apa yang sudah saya, bersama Kabinet Pembangunan IV lakukan, apa yang telah kami bangun dan apa yang belum berhasil kami bangun.

Saya kemukakan, selama masa lima tahun kepresidenan saya (1983-1988), saya telah mendengarkan segala pandangan, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan. Semua itu saya pahami sebagai maksud baik untuk memperbaiki kebijaksanaan yang saya jalankan. Semua itu saya tafsirkan sebagai keinginan untuk maju terus. Maka saya terima semua itu dengan lapang dada.

Saya mengakui bahwa selama lima tahun itu, tidak semua keinginan dapat terpenuhi, dan ada kekecewaan yang masih saya rasakan. Untuk itu dengan sadar telah saya lakukan tindakan penyesuaian  yang sepadan dengan tantangan yang kita hadapi selamalima tahun terakhir ini, khususnya di bidang ekonomi. Sebagian dari tindakan itu pun telah meminta pengorbanan dari semua pihak. Untuk itu pula saya menyampaikan hormat dan terima kasih yang dalam atas kerelaan selumh·bangsa yang telah memberi pengorbanan demi penyelamatan pembangunan dan demi terbukanya harapan akan masa depan yang lebih baik.

Dalam kurun lima tahun yang lalu itu, banyak terjadi pembahan yang sangat dinarnis dalam masyarakat. Ini akibat kemajuan yang dibawa pembangunan itu sendiri, dan pembahan itu terjadi dalam tata nilai, pola berpikir, pola bekerja, serta bangkitnya kekuatan, aspirasi, dan harapan-harapan baru dalam masyarakat.

Pembahan-pembahan itu tadi dengan sendirinya mempakan unsur yang mempengaruhi pelaksanaan tugas kepresidenan saya dalam melaksanakan GBHN yang telah ditetapkan Majelis. Karena itu saya mengajak seluruh bangsa untuk bersikap realistis serta tetap memiliki harapan dan idealisme. Itu mempakan salah satu pedoman yang saya gunakan untuk melaksanakan tugas kepresidenan saya selama ini.

Selain itu, pedoman yang saya pakai melaksanakan tugas saya ialah penugasan Majelis kepada Presiden sesuai dengan Tap MPR No. VIII 1983, untuk melanjutkan pelaksanaan Repelita, meneruskan penertiban dan pendayagunaan aparatur negara, meneruskan menata dan membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan Demokrasi Pancasila, serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional.

Saya tidak lupa mengemukakan dalam kesempatan itu pegangan saya bahwa tidak ada akhir jalan bagi bangsa pejuang. Saya meyakini bahwa kita mesti dan masih tetap mesti jadi bangsa pejuang di tengah dunia dewasa ini. Pada akhir pidato pertanggungjawaban saya itu saya jelaskan bahwa ketika diangkat oleh Majelis lima tahun yang lalu, saya mengangkat sumpah jabatan Presiden menurut agama saya di hadapan Tuhan Yang Maha Mengetahui, antara lain bahwa saya akan memegang teguh UUD kita. Karena itu dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban itu saya berdiri seikhlas-ikhlasnya di bawah penilaian Majelis pemegang kedaulatan rakyat, pemegang kekuasaan tertinggi di Republik kita ini.

Ternyata pertanggungjawaban saya sebagai Presiden/Mandataris MPR. masa bakti 1983-1988 diterima baik oleh Majelis. Tak ada masalah. Begitupun mengenai GBHN, Majelis tidak menemukan kesulitan, sekalipun memang ada komisi-komisi yang harus melaksanakan pemungutan suara. Tetapi itu berjalan lancar saja dan menemukan mufakat.

*

Setelah saya pidato mengucapkan pertanggungjawaban saya selaku Presiden/Mandataris itu, siangnya saya adakan pertemuan terakhir dengan anggota-anggota Kabinet Pembangunan IV di Istana Merdeka. Saya undang para menteri dan istri-istri mereka.Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan para menteri dan para pen damping mereka. Saya sadar, walaupun beban tanggung jawab amanat rakyat berada di pundak saya selaku Presiden

Mandataris, tetapi tanpa bantuan para menteri dan anggota  kabinet, tidak mungkin tugas-tugas itu dapat terlaksana dengan baik. Lebih-­lebih dalam menghadapi keadaan yang sulit seperti dewasa ini, baik yang secara langsung ditimbulkan karena keadaan dalam negeri maupun karena keadaan dunia pada umumya. Saya merasa saya telah melaksanakan tugas saya dengan baik sampai memberikan laporan pertanggungjawaban saya kepada MPR. Dan itu merupakan satu kebahagiaan tersendiri buat saya. Bagaimana selanjutnya, bagaimana penilaian MPR, terserah kepada Majelis.

Saya merasa, saya juga begitu hendaknya para menteri tidak mengharapkan apa-apa dari apa yang telah kita kerjakan, kecuali mudah-mudahan apa yang telah diperbuat itu dapat diterima oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR sebagai suatu karya yang ada artinya. Tapi kalau tidak pun, kami serahkan, hanya Tuhan yang mengetahui segala pengabdian kami itu kepada bangsa dan negara. Mudah-mudahan segala pengorbanan yang telah kami berikan dapat merupakan amal perbuatan dan dapat memperoleh ganjaran yang sesuai dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Juga Wakil Presiden Umar bicara dalam kesempatan itu, senada dengan saya. Saya minta kepada para mantan menteri untuk terus menempati pos masing-masing, tetapi tidak lagi membuat keputusan yang prinsipil, melainkan hanya melaksanakan tugas administratif rutin saja, sampai terpilihnya Presiden baru. Begitu cara kerja kami dalam masa transisi, sebelum kabinet yang baru terbentuk.

*

Saya perhatikan Sidang Umum MPR 1988 yang sebelas hari lamanya itu. Saya nilai Sidang Umum Majelis itu. Saya kemukakan penilaian saya itu kemudian di hari penutupan sidang yang penting itu. Saya katakan, Sidang Umum Majelis itu penuh dengan dinamika gagasan-gagasan dan penyegaran-penyegaran kita dalam memberi makna yang makin dalam dan makin memperkaya pemahaman kita mengenai Demokrasi Pancasila dan praktek penyelenggaraan negara berdasarkan UUD ’45.

Ada sesuatu yang jadi pembicaraan ramai sewaktu berjalannya Sidang Umum MPR 1988 itu, yakni mengenai pencalonan Wakil Presiden. Siapa yang akan diangkat jadi Wakil Presiden RI masa bakti 1988-1993?. Mengenai yang akan jadi Presiden, itu sudah jelas. Siapa pun sudah tahu. Keinginan rakyat sudah disampaikan jauh hari sebelum sidang. Mengenai pencalonan Wakil Presiden itu memang jadi masalah. Sebelum sidang dimulai pun para wakil fraksi sudah berdatangan pada saya, menanyakan masalah itu.

Dalam pembicaraan dengan mereka itu mereka menanyakan pikiran saya mengenai siapa yang akan jadi Wakil Presiden, siapa kiranya yang saya pandang tepat untuk jadi Wakil Presiden. Kepada setiap pihak yang datang pada saya untuk menanyakan soal itu saya ajukan pikiran saya yang sama.

Saya tegaskan pada semuanya bahwa wewenang untuk memilih dan mengangkat Wakil Presiden ada pada MPR. Saya tidak punya hak untuk memilih apalagi mengangkatnya. Saya tidak menyebut nama menjawab pertanyaan itu. Saya lontarkan kriteria untuk menjadi Wapres. Saya lemparkan kriteria. itu. Calon Wapres harus memenuhi lima kriteria, yakni: bersikap mental dan berideologi Pancasila dan UUD ’45, mempunyai integritas pribadi, cakap atau capable, mempunyai prestasi yang dibuktikan dengan karya, dan diterima. atau acceptable oleh semua lapisan masyarakat yang dinyatakan dengan dukungan kekuatan sosial politik yang besar dan dominan.

Jadi, kata saya, siapa pun orangnya, ketentuannya tak berdasarkan like and dislike, senang atau tak senang secara pribadi, melainkan berdasarkan kriteria yang saya ajukan itu. Juga saya tidak hendak mendikte para anggota MPR.

Saya menerima pengurus Yayasan 17 Agustus 1945, B.M. Diah, Roeslan Abdulgani di Istana Merdeka. Dengan mereka juga saya membicarakan soal calon Wapres itu, karena saya ditanya. Saya kemukakan kepada mereka bahwa saya juga menyerukan agar sebisa mungkin dihindari mufakat lonjong (ovaal) dalam pemilihan Wapres itu.

Saya memang mendambakan agar Wapres dipilih dengan suara bulat, dengan cara menghindari voting (pemungutan suara), bukan karena tidak setuju voting, karena pemungutan suara memang dibenarkan oleh UUD ’45. Tetapi pemilihan Wakil Presiden melalui pemungutan suara, membuktikan kurang mampunya menciptakan mufakat, lewat musyawarah dalam mempertemukan perbedaan­perbedaan lewat proses Demokrasi Pancasila, di mana semua dituntut melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa, sanggup mengorbankan kepentingan diri dan golongan untuk memenuhi kepentingan yang lebih besar, terutama kepentingan Negara dan Bangsa.

Wakil Presiden adalah seseorang yang berhak menggantikan Presiden bila Presiden berhalangan. Seandainya ini terjadi, Wapres itu mutlak harus mendapat dukungan penuh MPR dan Rakyat. Di komisi-komisi terjadi voting. Kalahnya FPP dalam voting di sidang komisi-komisi itu meramalkan apa yang akan terjadi dalam pemungutan suara di sidang pleno jika sampai terjadi pemungutan suara. Meskipun voting itu dibenarkan oleh undang-undang.

Mengenai calon Presiden sudah tidak ada masalah. Kepada utusan lima fraksi MPR yang datang berkonsultasi dengan saya secara terpisah pada tanggal 2 Maret pagi di Istana Merdeka, menjawab pertanyaan mereka saya menyatakan kesediaan saya untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden RI periode 1988-1993 mendatang.

Begitu pun sampai pimpinan MPR mengadakan rapat singkat di Ruang Jepara di lstana Merdeka, menanyakan secara resmi kepada saya apakah benar fraksi-fraksi telah meminta saya untuk dicalonkan kembali dan saya bersedia untuk diangkat kembali menjadi Presiden RI periode 1988-1993, apakah saya bersedia menjalankan konstitusi, apakah saya bersedia menjalankan GBHN. Segalanya berjalan lancar. Saya menyatakan sedia. Pimpinan MPR menyatakan sah, saya sebagai calon Presiden RI selama masa bakti 1988-1993. Calon tunggal. Pimpinan Majelis itu kemudian meneliti langsung berbagai persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh calon Presiden. Segalanya berjalan beres sampai rapat pimpinan MPR yang singkat itu, berlangsung cuma sepuluh menit lebih, ditutup.

Namun masalah muncul setelah ternyata ada dua nama diajukan untuk jadi calon Wakil Presiden, yakni Sudharmono,SH dan H.J.Naro,SH. Sudharmono dicalonkan oleh FKP (Fraksi Karya Pembangunan) dan FUD (Fraksi Utusan Daerah) serta didukung oleh FABRI (Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan FPDI (Fraksi Partai Demokrasi  Indonesia). J. Naro dicalonkan oleh FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan).

Dari 1000 anggota MPR itu, FKP mempunyai 548 anggota, FUD 147, FABRI 151, sedang FPP 93, dan FPDI 61 orang. Dengan itu kelihatan perimbangannya. Melihat perkembangannya dari mulai Naro secara resmi dicalonkan sampai dengan saya dilantik kembali jadi Presiden, pada 11 Maret ’88 pagi, jelas, baik FPP maupun Naro sendiri, hanya menggunakan haknya saja tetapi tidak memenuhi kewajibannya.

Haknya memang ada untuk mengajukan calon. Tetapi kalau sudah tahu bahwa mungkin ada dua atau tiga calon, hendaknya fraksi memenuhi kewajibannya. Dengan adanya dua calon Wapres berarti ada perbedaan. Perbedaan calon itu memang dibenarkan. melalui musyawarah perbedaan itu harus dihilangkan Setelah adu argumentasi dalam musyawarah, pihak yang memperoleh dukungan kecil, harus rela dan segera melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa. Rupanya mereka tetap berpikir secara demokrasi Barat, berarti masih mau hitung-hitungan suara walaupun sudah diperhitungkan akan kalah.

Dalam pengertian demokrasi Barat tidak salah, tetapi dalam alam Demokrasi Pancasila itu artinya kurang sempurna. Karena Demokrasi Pancasila mengharuskan dilaksanakan dengan musyawarah untuk mufakat. Kalau perbedaan-perbedaan dibenarkan, perbedaan­perbedaan itu tetap harus menghasilkan mufakat. Dan kita harus bisa mendapatkan mufakat bulat kalau semuanya berpegang kepada Eka Prasetya Pancakarsa.

Dalam menghadapi dua calon, sedang mufakat bulat tetap dipertahankan (tanpa voting) kita dapat menggunakan TAP No.2 tahun 1973, yaitu menanyakan kepada Presiden terpilih, siapa kira-kiranya di antara dua calon yang diajukan untuk jadi Wakil Presiden itu yang bisa bekerjasama dengan Presiden. Tanggal 8 Maret saya ditanya secara resmi oleh MPR mengenai kesediaan saya untuk diangkat kembali jadi Presiden. Tanggal 10 saya sudah terpilih jadi Presiden. Tanggal 11 pelantikan sebagai Presiden dilangsungkan. Pagi-pagi hari itu saya dilantik jadi Presiden RI.

Tanggal 10 Maret malam hari datang pimpinan Fraksi PP pada saya, menjelaskan sikapnya seperti apa yang dijelaskan sebelumnya oleh Naro kepada saya. Saya jelaskan kepada mereka apa yang sudah saya jelaskan kepada Naro. Saya katakan, “Saudara-saudara benar tidak salah menanggapi masalah itu. Tetapi saudara-saudara kurang tepat kalau hanya berpegang kepada hak saudara-saudara saja tanpa melaksanakan kewajiban saudara-saudara. Kewajiban kita dalam bermusyawarah, kalau musyawarah kita itu berpegang pada P4, kita harus melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa. “Dengan cara ngotot­ngototan itu, apa keuntungannya?

Dengan cara ngotot begitu FPP masih tetap akan kalah. Kerugiannya FPP yang sudah mengikuti P4 akan nampak, pernah menerima Eka Prasetya  Pancakarsa tetapi tidak mampu mempraktekkannya. FPP mempunyai kekuatan yang kecil tapi tidak menghargai pendapat pihak yang besar. ltu bisa berarti pula tidak menghargai  kepentingan Negara dan Bangsa. ltulah satu pendapat tentang kejadian ini. Dan malahan ada penilaian, apa benar PPP[3] menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menerima Eka Prasetya Pancakarsa, atau hanya satu permainan saja? Dengan demikian, maka berarti PPP itu membuka dirinya untuk selamanya dicurigai, untuk dicurigai terus. Pada tahun 1978 PPP melakukan walk out karena soal P4. Tahun 1983 ia menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang harus dikerjakannya. Nah, di sinilah kerugian PPP.

PPP meminta diperlakukan sama sebagai kekuatan sospol, tetapi nyatanya membuka pintu untuk tidak mungkin diperlakukan sama. Jadi, bisalah timbul pikiran bahwa PPP itu hanya dalam kertas saja, pura-pura menerima Pancasila secara bulat, tetapi sebenarnya masih dilatarbelakangi ideologi lain. Kalau demikian halnya, itu membahayakan PPP sendiri.

Fraksi PP hanya terdiri atas 93 orang. Kalau dilakukan voting, bisa saja terjadi ada yang tidak disiplin, menyeleweng dari fraksinya dap mendukung atau berpihak pada yang besar sebagai menunjukkan bukti ingin melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa. Kalau sampai itu yang terjadi, FPP akan malu sendiri. Tetapi sebaliknya juga bisa tejadi, yakni FPP bisa menarik suara lain. Kalau ini yang terjadi, ini bisa diartikan membuat goyah fraksi-fraksi lain. Dan kalau itu yang terjadi, bisa timbul curiga-mencurigai di tengah fraksi.

Dan kalau sudah curiga-mencurigai, maka bisa-bisa itu menyebabkan·pertentangan sampai di dalam masalah politik. Itu bisa berarti mengancam persatuan dan kesatuan kita. Padahal Pancasila itu menghendaki persatuan Indonesia. Dus bisa-bisa dituduh ingin memecahkan persatuan kita. Dan doktrin demikian itu hanya dimiliki oleh komunis. Apakah mereka komunis? Kan tentunya bukan! Itu cuma tambah dicurigai saja, bahwa mereka mempergunakan cara-cara komunis. Nah, bagaimana niemperbaikinya, karena kejadian ngotot-ngototan itu telah terlanjur. Yang bisa mengubah hanya FPP sendiri.

Tanggal 11 Maret pagi-pagi, waktu saya datang di gedung MPR untuk dilantik sebagai Presiden, saya dijemput oleh Ketua MPR Kharis Suhud. Saya tahu, tadi malam FPP mengadakan rapat. Maka saya bertanya kepada Kharis Suhud di ruangan bawah, “Bagaimana? FPP sudah menarik calonnya?” “Belum, Pak”, jawabnya. “Tapi tadi malam mereka rapat terus. Ya, kalau mereka tidak menariknya, kita mengadakan voting,” kata Kharis Suhud.

Coba bayangkan, kalau sampai harus terjadi voting. Jawabannya sudah saya jelaskan di depan. Dan kalau sampai Majelis harus bertanya kepada saya, siapa yang akan saya pilih di antara kedua calon itu. Apa jawaban saya? Secara rasional harus saya jawab, “Saya ini sudah lama mengenal Sudharmono, lebih lama mengenal Sudharmono daripada mengenal Naro.” Dengan begitu tentunya saya juga akan lebih percaya kepada Dharmono daripada kepada Naro. Yang penting juga, saya harus menghormati Lembaga Tertinggi Negara, ialah Majelis. Wong Majelis sudah bisa menghimpun suara terbanyak yang mendukung Dharmono, masakan lantas saya mengatakan akan kerjasama dengan Naro. Kalau sampai begitu halnya, kalau sampai saya mengatakan akan kerjasama dengan Naro, sama saja artinya saya menampar Majelis itu, menampar Lembaga Tertinggi Negara kita.

Setelah selesai saya dilantik, sewaktu di dalam lift, Kharis Suhud menyampaikan kepada saya, bahwa ia telah menerima surat dari FPP tapi belum ia baca isinya. “Buka saja,” kata saya. Surat itu dibuka di dalam lift. Beres! Artinya, FPP mencabut pencalonan Naro. Naro sendiri tidak mencabutnya, tetapi fraksi yang mencabutnya, fraksi mencabut pencalonan Naro.

Mengulangi kembali kejadian seputar pencalonan Wapres tahun 1988 itu, saya ingat, di tengah keriuhan di dalam sidang Majelis maupun di luar sidang ada yang bertanya, apa benar nama calon Wapres itu sudah ada di kantong saya? Terus terang, tidak ada. Yang ada di kantong saya ialah kriteria, kriteria untuk memilih wakil presiden itu.

Wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden ada pada Majelis, pada MPR. Karena itu, Majelis dengan menggunakan kriteria itu lantas mencari nama siapa kiranya yang paling cocok. Soal kriteria itu sudah saya jelaskan di depan. Ada yang bertanya lagi, mengapa kok baru sekarang menggunakan kriteria itu?. Sebenarnya dulu juga sudah digunakan kriteria itu. Hanya dulu, jalan yang saya tempuh dipengaruhi oleh situasi dan kondisi waktu itu.

Pada waktu pencalonan Pak Sultan, juga kriteria itu yang saya pakai. Pada waktu pemilihan Pak Adam, juga kriteria itu yang saya pakai. Cuma waktu itu  caranya saya menunjuk orang-orang melalui satu team, jauh sebelumnya. “Silakan nilai, siapa yang kira-kiranya dapat jadi Wakil Presiden mendampingi saya,” saya persilakan team yang terdiri atas lima orang bekerja. Mereka mengadakan lobbying ke kiri ke kanan, dengan organisasi massa, dengan partai-partai. Akhirnya sampai pada satu calon.

Terakhir juga demikian, pada waktu Pak Umar yang kemudian terpilih. Sama saja. Waktu itu team saya tugasi untuk meng-approach partai-partai. Sekarang ini (1988), saya tunjuk 9 orang jauh sebelum SU MPR. Saya lontarkan kepada mereka siapa kiranya yang bisa dan pantas untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sekarang ke-9 orang yang saya tugasi itu bukan mengadakan lobbying, melainkan berusaha memfungsikan Lembaga Tertinggi kita. Sekarang saya ingin benar-benar memfungsikan Majelis, supaya Majelis betul-betul memilih. Majelis yang mempunyai wewenang. Saya hanya melemparkan kriterianya.

Kenapa baru sekarang dilaksanakan seperti ini? Dulu-dulu belum bisa seperti sekarang di tahun 1988. Kalau dulu-dulu saya lontarkan cara demikian, maka akan terjadi bentrokan. Sekarang saja nyatanya masih begitu, masih ada yang belum paham, yang masih salah terima. Apalagi dulu, partai-partai masih banyak, organisasi kekuatan sosial politik belum berwujud persatuan. Kalau dulu dilaksanakan seperti apa yang kita laksanakan sekarang, bisa-bisa buyar tidak karuan.

Dus, saya melaksanakan semua ini secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi dan situasi dan tetap menjunjung demokrasi, tidak otoriter. Tahap demi tahap, melaksanakan pendidikan politik, dengan mengarah pada memfungsikan MPR, Lembaga Tertinggi Negara sesuai dengan konstitusi. Ini merupakan sistem yang nantinya akan terus berkembang.

*

Majelis dengan sadar telah memilih 11 Maret sebagai akhir masa Sidang Umum. Pilihan itu tentunya bukan tanpa alasan. Tanggal 11 Maret telah menjadi tonggak sejarah yang menandai babak baru dan tekad baru bangsa kita untuk meluruskan kembali jalannya sejarah. Ialah jalan selurus-lurusnya bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita dengan melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan konsekuen.

Saya terpilih dengan suara bulat untuk kembali menjadi Presiden RI penuh untuk kelima kalinya. Saya tampil sebagai calon tunggal. Seperti terjadi lima tahun sebelumnya. Tuhan Yang Maha Kuasa menetapkan demikian. Riwayat hidup saya ditetapkan-Nya demikian. Lalu saya mengangkat sumpah dengan kitab suci Al-Quran di atas kepala saya. Kemudian saya mengucapkan pidato pelantikan saya.

Pada kesempatan itu saya tidak menjanjikan apa-apa kepada rakyat Indonesia. Saya hanya menyatakan tekad saya untuk mengerahkan segala kemampuan yang ada pada saya, untuk memimpin bangsa ini dalam melanjutkan perjuangan membangun masa depan yang lebih maju, lebih sejahtera, lebih tentram dan lebih adil daripada segala yang telah dapat kita capai sebagai bangsa sampai sekarang.

Saya mohon pengawasan yang sebaik-baiknya. Pengawasan itu saya anggap sama pentingnya dengan dukungan. Dengan pengawasan itu saya dapat terhindar dari kesalahan, bangsa kita akan terhindar dari kesulitan yang tidak perlu.

Majelis telah menetapkan GBHN. Saya memahami GBHN itu tidak saja dari kata-kata yang tertuang di dalam dokumen kenegaraan yang sangat penting itu, melainkan dari seluruh semangat dan pikiran yang melahirkannya. Juga dari keinginan rakyat yang meningkat dan harapan-harapannya. Saya menarik inti dari semangat GBHN itu sebagai tekad bangsa Indonesia untuk meletakkan landasan yang kokoh dalam Repelita V agar bangsa kita dapat memasuki proses tinggal landas, Insya Allah, dalam Repelita VI menjelang akhir abad ke-20, yang akan mengawali Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun kedua.

Sebagai salah seorang dari Generasi ’45 saya merasa mendapatkan kemuliaan untuk mewakili Generasi Pembebas merampungkan tugas sejarah. Tugas sejarah itu ialah mengantarkan perjalanan bangsa kita memasuki pintu gerbang kedua, memasuki tahap tinggal landas pembangunan masyarakat  yang adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila. Saya yakin, kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan.

Ke bukit kita akan sama-sama mendaki, ke lurah kita akan Sama­sama menurun. Yang berat akan sama-sama kita pikul, yang ringan akan sama-sama kita jinjing. Dengan lebih dahulu tidak henti-hentinya saya memohon bimbingan dan taufik hidayah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang bagi seluruh rakyat Indonesia dan bagi saya sendiri, dengan mohon doa restu rakyat Indonesia seluruhnya yang saya abdi. Maka di hadapan Majelis yang saya hormati itu, dengan khidmat saya nyatakan: saya siap melaksanakan tugas Presiden Republik Indonesia. Ya, untuk kelima kalinya saya siap untuk mengemban tugas yang mulia itu sebagai Presiden penuh/Mandataris MPR.

Dalam kesempatan itu saya nyatakan, saya mohon dukungan, bantuan, dorongan dan keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia, dari kaum tani, dari kaum nelayan, dari kaum pekerja dan karyawan, dari kalangan dunia usaha, dari kaum cerdik cendekia, dari tokoh-tokoh masyarakat, dari kalangan budayawan, dari pemuka-pemuka agama, dari seluruh aparatur pemerintahan dan dari Angkatan Bersenjata RI. Pendeknya dari semua kalangan, semua lapisan dan semua generasi bangsa ini, generasi muda maupun generasi tua, wanita maupun pria. Dukungan itu saya perlukan, karena dengan itu saya akan makin mantap dalam melaksanakan kepemimpinan saya.

Saya yakin akan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia yang telah disuarakan melalui Majelis yang merupakan penjelmaan rakyat. Dukungan rakyat itulah yang membesarkan hati  saya. Dukungan rakyat itulah yang memberi kekuatan batin bagi saya.

Saya ingat akan kata-kata terakhir dalam GBHN yang menyebutkan bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila akan ditentukan oleh partisipasi seluruh rakyat serta sikap mental, tekad dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara negara seluruh rakyat Indonesia. Dengan sekuat tenaga, Insya Allah, tugas kepresidenan itu akan saya laksanakan sepenuh-penuhnya selama lima tahun yang akan datang.

*

Anak-anak saya hadir pada pelantikan saya sebagai Presiden RI untuk masa bakti 1988-1993 itu. Memang mereka yang menginginkannya. Saya paham akan keinginan mereka itu. Sebelum ini mereka tidak pernah penyaksikan dari dekat saya dilantik sebagai Presiden/Mandataris MPR. Masakan pula sekarang, untuk kelima kalinya dilantik sebagai Presiden mereka tidak menyaksikannya dari dekat. Maka disediakanlah bagi mereka kursi-kursi di ruangan Graha Sabha Paripurna itu.

Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menyatakan, pelantikan kali ini (1988) merupakan pelantikan terakhir sebagai Presiden buat saya, itu bisa dimaklumi. Dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia saya yang sudah akan mencapai 67 ini, pantas saja pelantikan ini yang terakhir untuk saya. Kalau sampai selesai saya merampungkan tugas sebagai Presiden masa bakti 1988-1993, berarti nanti pada usia mendekati 72 tahun, saya berhenti sebagai Presiden. Mengingat bahwa rata-rata umur orang Indonesia 56 —kalau tak salah— maka umur 72 itu terhitung lebih dari rata-rata, terhitung cukup tua. Jadi, rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir buat saya.

*

Acara terakhir dalam SU MPR 1988 itu, sebelum sidang yang kita hormati itu ditutup, ialah pengangkatan sumpah Sudharmono sebagai Wakil Presiden yang disambung dengan pidato upacara pelantikannya. Seperti saya, Sudharmono mengucapkan sumpahnya secara Islam. Saya ingat, dalam pidato upacara pelantikannya sebagai Wakil Presiden Sudharmono menegaskan antara lain bahwa ia menyadari keterbatasan dirinya, dan ia akan menempatkan dirinya sebagai salah seorang yang membantu Presiden melaksanakan tugas besar bangsa kita dalam melanjutkan pembangunan nasional.

Pada penutupan Sidang Umum MPR 1988 itu Ketua MPR Kharis Suhud mengemukakan antara lain empat harapan, dambaan serta imbauan Majelis kepada saya selaku Presiden/Mandataris MPR. Keempat harapan itu menyangkut peningkatan dan pemantapan penegasan hukum, penanggulangan masalah penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pembangunan legislatif, serta pengisian Demokrasi Pancasila.

Saya camkan pesan itu. Semoga saya bersama pembantu-pembantu saya dapat melaksanakan tugas yang dipikulkan pada pundak kami itu. Di samping itu Ketua MPR itu mengumandangkan ungkapan Jawa ”Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa banda; digdaya tanpa aji-aji.” (Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, kaya tanpa harta, sakti tanpa pusaka).

Saya meresapkan ungkapan itu dengan senang, ungkapan yang jauh dari asing buat saya, ungkapan yang selalu saya jadikan pegangan dalam hidup saya. Maklumlah kalau saya ngangguk-ngangguk mendengar ungkapan itu diucapkan orang.

***


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 543-555.

[2] Kemudian Letjen. Edi Sudradjat dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal

[3] Partai Persatuan Pembangunan

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.