Wamena, Medio Mei 1998
Kepada
Yth. Bapak Yang Mulia Pak Harto
UNTUKMU BAPAK YANG KUCINTA [1]
Ketika asa tinggal simbul yang hampa
Ketika kepercayaan terkoyak ambisi dan emosi
Ketika fitnah mengimbas merambah kelubuk hati nan buta
Dan ketika bicara tinggal dianggap angin nan lalu
Ketika hati mulai terpenjara oleh akal
Ketika akal tak lagi sejalan dengan hati
Ketika nurani tak lagi dihormati dan dijunjung
Ketika kebenaran tidak lagi punya kesanggupan bicara
Ketika etika telah sima dari bangsaku Maka …………..
Yang bicara tinggallah huruf mati tanda vocal
Yang bicara tinggal lagi sumpah dan serapah
Yang bicara tinggal lagi akal tanpa hati dan moral
Dan yang bunyi adalah nada tanpa etika dan kesopanan
Di sini akal jadi raja, dan hati adalah budak
Yang terdengar hanya suara tanpa arah
Pada-Mu Bapak tercinta, titahmu tetap yang terbaik
Bagi Negara dan Bangsaku. (DTS)
Dari pengagum-mu
L. Hamruddin
Wamena – Irja
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 397. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.