UPAYA SULUT MEMACU PENGENTASAN PENDUDUK MISKIN

UPAYA SULUT MEMACU PENGENTASAN PENDUDUK MISKIN

  [1]

 

Oleh Tamzil H. Permata

Manado, Antara                                                     .

Seman Presiden Soeharto agar sekitar 27 juta orang miskin di Indonesia dientas mendapat tanggapan spontan dari Pemda Sulawesi Utara (Sulut), yang pada tahun terakhir Pelita V masih memiliki sekitar 15 persen penduduk dengan tingkat konsumsi makannya kurang dari 2.000 kalori per hari.

Gubernur Sulut C. J. Rantung mengemukakan bahwa berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 1990, tercatat ada 368.193 dari 2,6 juta penduduk daerahnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan hidup tersebar di tujuh Dati II, terutama pada kantong kemiskinan yang kritis.

Dalam rapat kerja yang dihadiri para pejabat daerah di Manado, Rantung menyatakan adanya pengalokasian dana yang cukup besar untuk menangani masalah kemiskinan secara nasional pada tahun ini. Drs. J. Kumurur, pejabat sementara Sekwilda Sulut, mengatakan provinsi di bagian utara Pulau Sulawesi itu memperoleh alokasi dana tersebut Rp 6 miliar untuk dengan proyeksi kegiatan melalui pembangunan di sektor ekonomi dan pertanian, serta sosial. Rantung menjelaskan, penanganan terhadap penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di Sulut menggunakan sistem pengembangan kawasan terpadu (PKT) dengan rancangan khusus untuk program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui serangkaian kegiatan.

Program itu terkait dengan empat “leading sector” (sektor utama) pembangunan Sulut, mencakup bidang agro industri, perikanan, pertambangan, dan pariwisata yang secara keseluruhan mengarah ke kawasan yang telah diidentifikasi sebagai kantong kemiskinan, yaitu daerah terisolasi, kumuh, dan perbatasan, serta belurn terbuka terhadap fasilitas telekomunikasi. Kawasan yang termasuk dalam kantong kemiskinan itu tersebar di kabupaten/ kotamadya: Gorontalo, Minahasa, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, Bitung, dan Manado yang memiliki potensi sumber daya alam, namun belum terjangkau pembangunan secara merata, terutama di sektor perhubungan. Di antara tujuh dati II yang memiliki kantong kemiskinan yang menonjol adalah Kabupaten Minahasa mencakup 95 desa/kelurahan, yang tersebar pada 17 dari 27 kecamatan di daerah itu.

Bupati Minahasa Drs. Karel Senduk mengatakan, dari jumlah kawasan berpenduduk miskin itu, 93 desa/kelurahan tercatat dalam kategori kawasan miskin, sedangkan dua desa lain termasuk kategori sangat miskin. Senduk menjelaskan, langkah-langkah untuk memacu penurunan angka kemiskinan di daerah itu diusahakan secara terpadu dengan berbagai pihak, baik pemerintah daerah maupun organisasi kemasyarakatan.

Per Kapita

Rantung mengemukakan, pendapatan per kapita penduduknya sebagian besar masih bervariasi antara Rp 375.000 sampai dengan Rp 700.000 per tahun, walaupun sebagian yang lain diakui sudah berpenghasilan di atas pendapatan per kapita secara nasional Rp 1,5 juta.

Kondisi semacam itu tampaknya dapat dikatakan rawan kemiskinan, jika dicermati dari definisi Presiden Bank Dunia Lewis T. Preston, bahwa penduduk yang dianggap miskin adalah penduduk yang pendapatan perkapita per tahun kurang dari 370 dolar AS atau sekitar Rp 740 ribu.

Keberadaan masyarakat yang berpenghasilan kurang dari pendapatan per kapita secara nasional itu, menurut Rantung, tidak mempengaruhi angka pertumbuhan derajat kesehatan dan gizi yang makin membaik di daerah itu.

Di sisi lain, selama Pelita V di Sulut, terlihat adanya peningkatan angka harapan hidup, sekalipun demikian masyarakat di daerah yang termasuk dalam kantong kemiskinan tetap memerlukan perhatian, jelasnya.

Wajah kemiskinan yang agaknya masih membalut sebagian masyarakat Sulut itu digambarkan oleh Wagub Drs. Achmad Nadjamudin, “perlu perhatian khusus”, karena di antara kehidupan penduduk yang sudah lebih mapan, masih terdapat warga masyarakat yang harus pandai “bersiasat ” agar dapat terus mempertahankan hidupnya.

Dalam pertemuannya dengan sekitar 700 mahasiswa Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado belum lama ini, mantan walikota Gorontalo itu mengakui, banyak anggota masyarakat yang karena miskinnya terpaksa harus menerapkan “kiat khusus” agar tetap dapat makan.

Nadjamudin mengemukakan, seringkali menjumpai warga masyarakat yang tidak pernah makan nasi, karena jatah beras yang seharusnya dimasak menjadi nasi terpaksa dibuat bubur agar cukup untuk dimasak pada siang dan malam hari.

“Soalnya kata mereka, kalau berasnya dimasak menjadi nasi hanya cukup untuk makan siang saja. Supaya malam harinya juga bisa makan, maka jatah beras dibagi dua dan karena tetap tidak cukup, ya dibuat bubur supaya bisa makan duakali sehari,” katanya.

Kiat lain dari si miskin dalam menyiasati kebutuhan makan tiap hari menurut pengalaman Nadjamudin, adalah cara para orang tua untuk “mengerem” selera makan anak-anaknya dengan cara mencampurkan sambel yang pedas pada nasi atau sayuran yang melengkapi makanannya.

“Karena pedas, ya, anak-anak jadi kurang selera untuk makan, sehingga penggunaan nasi dapat dihemat untuk bisa dimakan malam harinya,” tambahnya.

Peran Organisasi

Upaya Pemda Sulut untuk mengentas warga yang miskin di wilayahnya, terutama di Kabupaten Gorontalo yang terpencil, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan Minahasa, tampaknya mendorong organisasi keagamaan di daerah itu untuk ikut berperan, di antaranya Sinode GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa).

Ketua sinode GMIM Pendeta Kelly H. Rondo menjelaskan pihaknya mengambil beberapa langkah dalam menjawab program pemer intah ini, terutama untuk menanggulangi kemiskinan diMinahasa yang menjadi pusat kegiatan organisasi karena mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Untuk tahap awal, menurut dia, membagi beberapa kantong kemiskinan yang mencakup wilayah Minahasa menjadi bagian tengah dan utara, dengan proyeksi kegiatan di tingkat kecamatan.

Menurut Rondo, GMIM telah mengadakan seminar tentang upaya penanggulangan kemiskinan di kalangan  jemaat yang berlangsung di Tomohon, Minahasa.

Kegiatan mengentaskan kemiskinan di Sulut terlihat pula melibatkan pula organisasi agama Islam yang dipelopori oleh BadanAmil Zakat (BAZ) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Penanggulangan kemiskinan dalam Islam tidak pemah berhenti dan setiap tahun lembaga sosial keagamaan seperti BAZ menyalurkan bantuan untuk kaum fakir miskin, jelas salah seorang anggota badan penggurusnya.

Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan tersebut secara terpadu lintas sektoral dan Bappeda Sulut mengusulkan alokasi dana Rp lO miliar untuk kelanjutan program bersangkutan, demikian Kumurur.

(U.MD0-002/MD0-001!SBY-006   /SP02/15:39)

Sumber: ANTARA (03/05/1993)

________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 879-882.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.