Waktu Menginjak Umur 66 Tahun[1]
Suasana perekonomian kita di bulan-bulan permulaan tahun 1987 masih juga berat. Saya mesti memberi contoh apa yang patut kita lakukan dalam suasana seperti itu. Penghematan! ltu pasti mesti kita lakukan. Maka pada hari Lebaran tahun 1987, di bulan Mei, saya dan istri saya tidak menerima ucapan selamat Idul Fitri secara langsung (Open House) di kediaman kami di Jalan Cendana. Ini kami tetapkan dalam rangka hidup sederhana. Maklumlah, mengadakan acara Open House seperti itu tentu harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Untuk penjagaannya saja kita mesti menyediakan biaya.
Saya juga menghimbau agar masyarakat menghindarkan suasana kegembiraan yang berlebih-lebihan dan agar segala sesuatunya disesuaikan dengan keadaan. Kita sedang prihatin. Apakah himbauan saya itu mendapat tanggapan yang cukup, entahlah. Kami telah memberi contoh.
*
Waktu itu, di pertengahan Juni, sidang IGGI di Den Haag (Negeri Belanda) menyetujui·pemberian pinjaman baru sebesar 3,16 milyar dollar AS untuk tahun 1987/1988 kepada Indonesia. Pinjaman itu terdiri atas bantuan multilateral sebesar 1,68 milyar dollar dan bilateral 1,48 milyar dollar AS. Ini berarti kenaikan 21 persen dibandingkan dengan tahun 1986 yang jumlahnya 2,5 milyar dollar AS. Kestabilan kita pulalah yang menyebabkan ini.
*
Saya jalan lagi ke daerah, keluar dari Jakarta, untuk meresmikan pembangunan. Waktu meresmikan proyek PIR PTP VI, irigasi Batang Kapar dan jalan tembus Lubuk Alung-Manggopoh-Simpang Empat, saya mengadakan temu wicara bersama para petani PIR Kelapa Sawit.
Saya menandaskan di depan para petani itu bahwa semangat kita, paling tidak semangat saya, untuk terus membangun tidak pernah akan melemah. Kepercayaan saya bahwa melalui pembangunan kita akan dapat menikmati hari esok yang baik, tidak pernah akan goyah.
Begitu banyaknya proyek pembangunan yang telah kita selesaikan itu pada akhirnya ditujukan untuk perbaikan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kesejahteraan rakyat itulah yang tetap kita pegang teguh dalam segala gerak dan arah pembangunan kita.
Saya pesankan juga kepada semua pihak, agar memelihara dengan baik semua yang telah kita bangun di seluruh tanah air kita itu.
Saya ajak semua pihak juga untuk menyadari bahwa salah satu hal yang menjadi kelemahan bangsa Indonesia selama ini adalah kekurangmampuan kita memelihara apa yang telah kita bangun dengan susah payah. Tidak jarang kita harus membayar mahal kekurangan kita itu. Sebab itu, hendaknya semua memperbaiki kekurangan kita itu. Hendaknya semua ·pihak memelihara dengan sungguh-sungguh segala apa yang telah kita bangun dengan susah payah itu.
*
Kemudian tiba saatnya seluruh keluarga menahan saya di rumah. Waktu saya menginjak usia 66 tahun, pada tanggal 8 Juni 1987, keluarga saya menyelenggarakan selamatan di Jalan Cendana. Sore hari itu dihidangkan nasi tumpeng lengkap. Istri saya mengatur ini semua. Eyang Soemoharjomo yang sudah berusia 88 tahun hadir, dan orang tua yang mengenakan kebaya biru tua berbunga putih kecil-kecil dan selendang jumputan yang melingkar di lehernya itu tentu saja menjadi pusat alur semua yang hadir.
Istri saya mengajak semua untuk sama-sama berdoa agar Tuhan memberikan rahmat pada saya. Katanya, mudah-mudahan saya diberi panjang umur, diberi kekuatan lahir dan batin agar selalu dapat melaksanakan tugas-tugas saya dengan sukses. Maka diajaknya semua untuk membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu menggema lagu “Panjang Umurnya” yang membuat semua gembira.
Saya menerima piring yang disodorkan, lalu mengisinya dengan pucuk tumpeng, membelah tumpeng yang berhias udang-udang merah, menaruh beberapa jenis lauk pauk ke dalam piring dan kemudian menyerahkan piring itu kepada Eyang Soemoharjomo, ibu mertua saya yang saya hormati dan sayangi. Eyang Soemoharjomo memberi restu, mencium kening saya. Itu kesibukan di tengah keluarga.
*
Sebulan kemudian, di minggu pertama Juli 1987 saya meresmikan Museum Keprajuritan di Taman Mini. Pangab/Pangkopkamtib Jenderal TNI Benny Moerdani menjelaskan dalam laporannya bahwa gagasan pembangunan museum ini dicetuskan oleh istri saya, dan perwujudannya direalisasikan oleh ABRI serta berbagai instansi lainnya, sehingga menjadi salah satu bagian dari TMII. Awal pembangunannya telah diresmikan oleh istri saya di bulan November 1985. Dengan ini tambah jelas betapa pentingnya TMII yang dulu banyak dikritik orang itu.
Dengan peristiwa ini saya tegaskan bahwa tradisi keprajuritan yang kita pupuk bukanlah tradisi militerisme. Bangsa Indonesia tidak mengenal suatu kelas militer yang berdiri terpisah dari rakyat, apalagi berada di atas rakyat. Militer Indonesia adalah pejuang, yang bersamasama seluruh pejuang bangsa di bidang lainnya berdampingan bahumembahu mencapai tujuan bangsa yang luhur.
Tradisi keprajuritan kita bukanlah tradisi perang, bukan tradisi militer. Citra keprajuritan kita lebih luhur dari citra militer. Tradisi keprajuritan kita adalah tradisi patriotisme, tradisi kebangsaan, tradisi cinta tanah air.
Untuk menjawab tantangan zaman, profesionalisme militer memang harus terus ditingkatkan. Namun profesionalisme militer itu sendiri bukan tujuan, melainkan merupakan cara agar dapat mengabdikan diri sebaik-baiknya dalam perjuangan besar bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan-tujuan yang luhur. Tujuan itu ialah kehidupan lahir dan batin yang maju, sejahtera dan adil makmur berdasarkan Pancasila.
Sebagai ptajurit profesional, prajurit ABRI sama dengan prajurit profesional di mana pun di dunia ini. Namun ketiga marga pertama dari Sapta Marga membedakan dan menjadikan prajurit ABRI mempunyai watak khas jika dibanding dengan prajurit profesional lainnya. Watak khas itu ialah perjuangan yang tidak mengenal menyerah dalam membela Pancasila sebagai ideologi negara.
Marga pertama dari Sapta Marga menegaskan bahwa prajurit ABRI adalah warganegara kesatuan RI yang bersendikan Pancasila. Marga kedua menegaskan bahwa prajurit ABRI adalah patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. Marga ketiga menyatakan bahwa prajurit ABRI adalah ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
*
Saya adalah donor darah tetap. Dalam melaksanakan pembangunan, bangsa Indonesia terus berusaha untuk menumbuhkan rasa perikemanusiaan dalam kehidupannya. Menyumbangkan darah secara sukarela menunjukkan rasa perikemanusiaan kita yang luhur.
Di Indonesia, rasa perikemanusiaan yang luhur itu mempunyai tempat yang khusus. Sebab dalam pandangan hidup bangsa kita yang juga menjadi dasar falsafah negara kita -Pancasila- terkandung sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Usaha menumbuhkan rasa perikemanusiaan itu tercermin juga dalam perkembangan dan peningkatan donor darah di Indonesia. Pada tahun 1969, pada saat bangsa Indonesia baru mulai melaksanakan pembangunan, jumlah donor darah baru sekitar 28.000 orang. Dari jumlah itu hanya seperempatnya saja yang merupakan donor darah sukarela, sedang tiga perempatnya merupakan donor darah pengganti dari keluarga penderita.
Tahun 1986, jumlah donor darah itu meningkat menjadi hampir setengah juta orang, 80 persen lebih merupakan donor darah sukarela dan sisanya donor darah pengganti. Peningkatan jumlah donor darah yang sangat drastis ini antara lain disebabkan oleh perbaikan kesejahteraan umum di bidang kesehatan khususnya sebagai akibat kemajuan-kemajuan yang kita capai dalam pembangunan.
Dengan meningkatnya jumlah donor danih itu makin banyak pula orang yang dapat diselamatkan dari kematian dan penderitaan. Saya percaya, pada masa datang jumlah donor darah di Indonesia akan lebih besar lagi, sejalan dengan terus meningkatnya taraf hidup masyarakat.
Federasi Internasional Organisasi-organisasi Donor Darah (FIODS) mengadakan kongresnya yang ke-12 di Jakarta, diikuti oleh lebih dari 250 peserta dari 27 negara. Anak saya, Ny. Siti Hardijanti Rukmana, menjadi ketua panitia penyelenggara Kongres FIODS ke-12 ini. Presiden FIODS Ny Carlota Osorio menunjukkan rasa senangnya dengan diselenggarakannya kongres FIODS yang pertama kali di Asia ini. Ia menyatakan senang, pengorganisasian kongres FIODS ini dilaksanakan dengan baik.
Kata Ny. Carlota Osorio:
“Keberhasilan kongres FIODS ini akan memberikan kepada Asia hasil dari usaha internasional demi kualitas hidup dan manusia yang sehat, yaitu para donor darah sukarela, yang memberikan harapan dan hidup melalui tindakan yang terpuji kepada orang lain, sekaligus menunjukkan arah yang pasti menuju perdamaian.”
Federasi Internasional Organisasi-organisasi Donor Darah (FIODS) ini kemudian memberikan kepercayaan kepada anak saya Ny. Siti Hardijanti Rukmana menjadi Presiden FIODS menggantikan Presiden yang lama. Ia juga dipercaya menjadi Ketua Umum Persatuan Donor Darah Indonesia.
Saya bersyukur pada usia 66 tahun saya masih bisa menjadi donor darah tetap dengan sukarela.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 508-512.