Wasiat Kebangsaan Presiden Soeharto (8): Hutang Luar Negeri
Pada prinsipnya, kita melaksanakan pembangunan dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi kita menyadari pula, kemampuan kita serba terbatas. —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 238-239
***
Untuk mempercepat pembangunan, kita memanfaatkan prinsip kerjasama dengan bangsa-bangsa lain secara saling menguntungkan. Tetapi bantuan dari luar itu tetap kita tempatkan sebagai pelengkap. Kita sudah berjaga-jaga jangan sampai bantuan itu nanti membuat kita sengsara. Jangan sampai hal itu mengurangi kemampuan kita sendiri. —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 238-239
***
Kita sendiri menentukan persyaratan mengenai bantuan asing itu. Bukan mereka yang menentukan. —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 238-239
***
Buat saya, andaikata bantuan luar negeri itu dihubungkan dengan politik, saya akan bersikap sama (dengan Bung Karno). Saya akan katakan “go to hell” —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 238-239
***
Setiap hutang (luar negeri) harus kita gunakan untuk membangun, bukan untuk konsumsi, apalagi mercusuar-mercusuaran (proyek-proyek untuk tujuan prestise) —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 238-256
***
Tidak sedikit pun dari hutang, kita gunakan untuk keperluan rutin, juga untuk membeli senjata bagi angkatan bersenjata. Semua Untuk Membangun. —“Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1989: 256
***
Sejak tahun 1969/1970 bantuan itu digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan, dan tidak satu sen pun dari bantuan itu yang digunakan untuk keperluan konsumtif, —Presiden Soeharto, Pidato Kenegaraan, 16 Agustus 1972
***
Indonesia memang perlu pinjaman luar negeri untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, tetapi kemampuan untuk membayar kembali pinjaman tersebut tetap diperhatikan/menjadi pertimbangan (Presiden Soeharto, Menerima Presiden Exim Bank AS, 19 November 1984)
***