Yasir Hadibroto: Pak Harto Tangguh Dan Berbobot

Tangguh Dan Berbobot

Yasir Hadibroto
(Gubernur Lampung Periode 1978-1988 dan Kemudian Menjadi Anggota DPA)

Saya sudah mendengar nama Pak Harto, ketika saya berada di Palagan Ambarawa, pada bulan Desember 1945. Pada waktu itu, pasukan lnggris yang mendarat di Semarang, terus ke Magelang dan mundur kembali ke Ambarawa dikepung oleh pasukan saya yang berasal dari Banyumas di sektor Barat dan lasykar Mataram yang dipimpin oleh Pak Harto di sektor selatan. Di sinilah saya mulai “kenal” dengan kagum kepada Pak Harto, dan pasukan yang beliau pimpin. Bagaimana tidak kagum. Kalau pasukan yang saya pimpin berani menghadang lawan, itu hal yang biasa, sebab pasukan saya semuanya sudah terlatih. Anak-anak buah saya adalah bekas PETA, Heiho dan KNIL, serta perlengkapan kami hampir sama saja dengan apa yang dimiliki oleh musuh, bahkan kami pun membawa empat pucuk meriam. Tetapi lasykar Mataram itu? Senjatanya tidak lengkap dan pakaiannya pun tidak teratur atau tidak berseragam. Namun dalam kontak senjata di Banyubiru pada tanggal 8 Desember 1945 dari pukul15.00-17 .00 itu lasykar Mataram tersebut ternyata mampu menahan pasukan Inggris, sehingga mereka mundur kernbali ke Ambarawa.
Peristiwa itu memberikan kesan khusus di hati saya terhadap Pak Harto. Keberhasilan itu pastilah ditentukan oleh kepemimpinan beliau. Sebab, kepemimpinan seseorang sangat menentukan berhasil tidaknya sesuatu tugas yang dilimpahkan kepadanya dengan dukungan anak buahnya. Mulai saat itu timbul kesan pada saya bahwa Pak Harto adalah figur pemimpin yang tangguh dan berbobot. Sayangnya pada masa itu saya tidak dapat langsung berkenalan dengan Pak Harto, sebab situasi memang tidak memungkinkan. Kami masing-masing konsentrasi penuh dalam menghadapi pertempuran dan serangan-serangan pesawat musuh yang sewaktu­waktu memberondong kami dari atas. Walhasil di Ambarawa saya hanya mendengar nama Pak Harto dan melihat beliau dari jauh saja.
Kesan saya berkembang terus setelah bertemu langsung dengan Pak Harto. Pertemuan yang pertama itu terjadi pada waktu penumpasan Darul Islam di Tegal dan Brebes tahun 1952-1954. Ketika itu Pak Harto menjadi atasan saya, karena saya menjabat sebagai komandan batalyon di Purworejo, dan beliau sebagai Komandan Gerakan Banteng, yang menumpas Darul Islam. Pak Harto sering memberikan briefing. Pandangan-pandangan yang beliau berikan didalam briefing itu semakin memberikan keyakinan pada saya, bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang mempunyai pendirian yang sangat teguh dalam menumpas gerombolan tersebut. Beliau tidak pernah merasa gentar ataupun goyah didalam menghadapi tantangan yang bagaimanapun beratnya. Operasi-operasi terhadap Darul Islam itu telah melahirkan sikap percaya yang semakin kuat baik bagi saya terhadap beliau ataupun sebaliknya. Pola hubungan antara atasan-bawahan yang demikian telah mengesankan saya, sehingga saya pakai sebagai pedoman didalam hubungan saya dengan para bawahan.
Pada tahun 1958 saya dipanggil oleh Pak Harto yang ketika itu sudah menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Oleh beliau saya diminta untuk membantu Pak Yani dalam mengatasi masalah PRRI di Padang. Kepada saya antara lain ditugaskan untuk menyusun batalyon dengan komposisi anggotanya yang meliputi kader-kader baru maupun lama. Dalam proses penyusunan itu, Pak Harto juga mendengar dan menerima usul saya untuk merekrut beberapa anggota dari kader yang lama dalam penyusunan Batalyon Banteng Raiders.
Setelah operasi PRRI itu selesai, saya bertemu kembali dengan Pak Harto, yaitu dalam Operasi Dwikora. Ketika itu saya menjadi bawahan langsung dari beliau. Pak Harto adalah Panglima Kostrad dan saya sebagai Komandan Brigade Infantri IV Kodam Diponegoro yang diperbantukan di Kostrad. Tugas yang dibebankan kepada saya adalah memimpin pasukan yang akan didaratkan di Malaysia. Agar tugas itu dapat berhasil dengan baik, maka kami mengadakan ber­ bagai latihan di Banyumas. Dan Pak Harto langsung memeriksa latihan tersebut; Pak Harto mengamati latihan-latihan kami baik siang maupun malam. Kadang-kadang kalau kebetulan tidak ada latihan, kami duduk dengan santai berbincang-bincang dengan beliau. Pembicaraan berkisar pada one way ticket, artinya berangkat ke Malaysia hanya satu kali menyebrang, sesudah itu tidak kembali. Mengapa timbul kesan seperti itu? Karena kita menghadapi lawan yang besar dan tangguh. Oleh sebab itu latihan-latihan kami lakukan dengan sungguh-sungguh. Kami latihan sampai enam bulan lamanya; dalam jangka waktu itu Pak Harto terkadang meninggalkan kami, akan tetapi kemudian datang lagi. Pak Harto teru menunggu latihan-latihan kami sampai pada waktu latihan di pantai selatan Banyumas.
Demikianlah setelah selesai menempuh berbagai latihan itu, saya, yang pada waktu itu berpangkat kolonel, melapor kepada Pak Harto yang sudah berpangkat mayor jenderal, bahwa kami siap untuk berangkat ke Sumatera Timur dalam rangka tugas Dwikora. Ini merupakan daerah etape terakhir sebelum kami didaratkan di Malaysia. Di pantai Timur Sumatera ketika itu masih ada dua brigade lainnya, yakni Brigade Witarmin, yang berinduk pasukan di utara (Pangkalan Brandan), dan Brigade Musa di selatan (Pekan Baru). Setiap brigade berkekuatan penuh 5000 orang dan dilengkapi dengan peluru kendali ENTAC.
Sebelum pendaratan dilakukan, Pak Harto datang dan memeriksa pasukan serta berdialog langsung dengan para prajurit satu per satu. Saya masih ingat yang ditanyakan oleh beliau antara lain:

“Di mana keluargamu sekarang dan bagaimana perasaanmu mau bertempur?”

Dialog-dialog tersebut dilakukan Pak Harto sampai pada regu yang paling kecil; bahkan beliau ikut tidur di barak-barak prajurit. Di situlah kehebatan Pak Harto; beliau bersatu dengan anak buah, sehingga antara pemimpin dan bawahan timbul rasa saling percaya-mempercayai yang cukup dalam. Namun rencana pendaratan tersebut kemudian terpaksa dibatalkan, karena meletusnya peristiwa G-30-S/PKI. Dalam hubungan ini Pak Harto mengirim telegram dari Markas Kostrad agar saya membawa Brigade IV/Diponegoro ke Jawa Tengah.
Waktu itu saya masih bertanya-tanya, mengapa ada perubahan rencana tersebut. Lalu saya menghadap Pak Harto di Markas Kostrad Jakarta pada tanggal 13 Oktober 1965. Saya datang sekitar pukul 15.00 dan Pak Harto sedang tiduran di veldbed memakai kaos oblong. Pak Harto langsung bertanya:

“Kamu sudah tahu situasinya?”

Kemudian saya sampaikan hal-hal yang saya ketahui, dan Pak Harto melengkapi saya dengan informasi-informasi yang belum saya ketahui. Setelah itu saya ditugaskan untuk menyusul Sarwo Edhie yang sedang menumpas PKI di Jawa Tengah.
Berbeda dari komandan lainnya, Pak Harto menanyakan terlebih dahulu, apakah saya sanggup melaksanakan tugas tersebut. Komandan yang lain tidak bersikap demikian, karena sudah pasti nada instruksinya adalah sebagai berikut:

”Kamu saya perintahkan berangkat!”

Di situlah kelebihan Pak Harto yang saya rasakan, sehingga saya sanggupi apa yang ditugaskan beliau. Dengan pola kebijakan yang demikian itu, maka tugas tidak terasa sebagai beban. Saya tidak merasakan tugas itu semata-mata sebagai keinginan komandan saja; karena saya juga mempunyai keinginan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Pola kepemimpinan seperti itu menurut saya sangat bijaksana dan dapat melahirkan solidaritas dan kesamaan pandangan atas tugas-tugas yang terbentang di muka kita.
Baru seminggu saya di Solo, Pak Harto datang menginspeksi. Dan pada waktu bertemu dengan saya, beliau tidak bertanya macam­macam. Yang ditanyakan beliau justru masalah-masalah logistik; soal makanan selalu menjadi perhatian utama beliau.
Dalam menumpas PKI, Pak Harto memang tidak mau kompromi. Bung Karno sendiri menganggap sikap Pak Harto tersebut sebagai suatu sikap yang koppig (keras kepala). Sikap Pak Harto yang demikian itu dapat kita lihat dalam kasus matinya Aidit. Berkaitan dengan kasus ini pada tanggal 23 November 1965 saya melapor kepada Pak Harto di Gedung Agung, Yogya. Pertama-tama saya kemukakan kesalahan saya, yaitu saya telah membunuh Aidit. Saya kemukakan pula bahwa kalau saya dianggap salah oleh Bung Karno dan mau dihukum gantung, saya sudah siap untuk dihukum, bukan orang lain.
Ketika itu Pak Harto menjawab:

“Tidak! Saya yang akan mempertanggungjawabkannya”.

Mulai saat itulah saya menilai bahwa sikap keras Pak Harto, tidaklah untuk mempertahankan kepentingan pribadinya, tetapi justru memperlihatkan suatu sikap seorang pemimpin yang bertanggungjawab, demi kepentingan nasional. Seandainya beliau bukan seorang komandan yang mau bertanggung­ jawab, sudah pasti risiko apapun akan menjadi beban dan tanggungjawab saya. Di sinilah nampak jelas kebesaran Pak Harto, dan saya berutang nyawa pada beliau.
Apa yang saya lakukan itu, bukanlah dengan maksud untuk mempersulit keadaan ataupun kedudukan Pak Harto sebagai Panglima Kostrad. Pak Harto memang tidak pernah memberi perintah kepada saya untuk membunuh Aidit. Hal itu saya lakukan atas inisiatif saya sendiri, karena adanya beberapa pertimbangan tertentu. Pertama, rasa dendam saya terhadap orang-orang PKI dalam peristiwa Madiun pada tahun 1948, dimana saya hampir mati dibantai mereka. Kedua, hati nurani saya mengatakan, jika Aidit ini saya tawan dan saya serahkan hidup-hidup, nanti sudah pasti ia akan bebas, dan kalau bebas, maka perjalanan sejarah akan menjadi lain. Karena itu saya melihat mati hidupnya Aidit berkaitan erat dengan persoalan sejarah bangsa Indonesia. Jadi menurut saya lebih baik Aidit itu dihukum mati lebih dahulu dan kalau saya nanti dianggap salah, saya bersedia mati untuk itu, yang penting sejarah bangsa ini tertolong!
Selesai penumpasan PKI di Jawa Tengah, saya ditarik ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan dan kemudian menjadi Komandan Tempur (Kopur) II di Jakarta. Berikutnya saya ditugaskan di Sumatera Utara sebagai Panglima Kodam 11/Bukit Barisan, pada tahun 1971-1972. Dan pada tahun 1973 saya diangkat menjadi Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah. Sesudah itu, saya menjadi anggota DPR-RI. Baru lebih kurang enam bulan, saya sudah di-recall. Tentu saja saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa saya di recall. Ternyata dalam rangka tugas baru. Saya diangkat menjadi Gubernur Lampung menggantikan Soetiyoso yang meninggal dunia.
Selama saya menjabat sebagai Gubernur Lampung, sering saya mendapat kesan bahwa Pak Harto lebih banyak tahu mengenal Lampung daripada saya sendiri. Misalnya saja, Pak Harto lebih tahu mengenai berapa banyak modal asing yang ditanam di Lampung. Ketika itu pula saya sering bertemu dengan Pak Harto. Saya datang menghadap beliau, antara lain untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan melaporkan berbagai masalah yang saya temui di lapangan. Gagasan yang pernah saya sampaikan, antara lain adalah tentang penyelamatan hutan. Hutan tidak boleh dibiarkan habis dibabat ataupun dibakar oleh orang-orang yang tidak mempunyai tanah. Karena itu hutan harus ditata sebagai kawasan lingkungan yang baik, dan proporsi idealnya adalah 30% dari kawasan sekitarnya. Untuk maksud itu saya mengusulkan agar mereka yang tinggal di hutan, dipindahkan ke daerah rawa-rawa danlokasi itu dijadikan daerah pertanian. Jadi upaya tersebut juga untuk menambah produksi beras.
Terhadap usul tersebut Pak Harto memberikan tanggapannya dalam bentuk yang tid.ak saya duga sebelumnya. “Bagaimana dengan biaya pemindahan penduduk tersebut?”, tanya beliau. Lalu saya usulkan seperti biaya yang dikeluarkan untuk transmigrasi saja. “Tidak, terlalu mahal”, kata Pak Harto. Beliau menyarankan sebaiknya setiap keluarga dipindahkan dengan dikasih engsel pintu empat buah, paku ukuran tiga sentimeter sebanyak dua kilogram, dan 28 lembar seng. Tentu saja saya heran akan jalan keluar yang begitu praktis dan sederhana itu. Tapi tanpa banyak tanya lagi langsung saya realisasikan. Dalam tempo tiga tahun saya dapat memindahkan 58.000 kepala keluarga. Di daerah baru tersebut kemudian berdirilah 98 desa baru dengan laban pertanian yang subur, dan setiap kepala keluarga memiliki tanah seluas dua hektar.
Namun demikian, saya melakukan berbagai kebijaksanaan dengan penuh keleluasaan. Presiden memberikan kepercayaan sepenuhnya pada saya. Yang penting kita yang diberi kepercayaan, harus hati-hati dan jangan menyalahgunakannya. Kalau ternyata kita sampai membuat kesalahan, kita harus lapor segera, jangan sampai ditegur. Kalau sampai dipanggil, tentunya kita akan malu. Demikianlah suatu ketika beliau pernah datang di Lampung. Perhatian Pak Harto tidak kepada yang besar-besar saja, tetapi juga pada hal-hal yang kecil. Pada kesempatan itu beliau meninjau kebun kelapa, yang lokasinya di sebelah kiri jalan dari Tanjung Karang, kira-kira lima kilometer sebelum lapangan terbang; Rejosari, nama daerahnya. Komentar beliau ketika itu:

“Wah, kelapanya kurus-­kurus, ya, apa tidak bisa disuburkan?”

Kemudian setelah selesai kunjungan Pak Harto di Lampung, lalu saya perintahkan agar pohon-pohon kelapa tersebut diberi pupuk. Tiga bulan kemudian saya lapor pada Pak Harto, bahwa pohon-pohon kelapa yang di pupuk itu sudah mulai subur. ltulah salah satu cara Pak Harto menegur bawahan.
Saya pernah juga dipanggil dan ditegur dengan sindiran oleh Pak Harto. Beliau mengatakan: “Wah, kira-kira bagaimana dengan Gunung Balak, kalau bisa dikosongkan lagi, itu bagus, ya”. Dan kemudian saya ditanya ada berapa orangnya yang pindah lagi ke situ.

“Kira-kira 300 kepala keluarga, Pak”, jawab saya. “Tidak, lebih, coba lihat lagi”, demikian Pak Harto menegur saya.

Dan ternyata memang lebih banyak keluarga yang tinggal di tempat itu daripada yang saya duga.
Saya memanciang kritik maupun teguran yang ditujukan kepada saya, sebagai konsekuensi dari kedudukan saya. Hal ini memang disebabkan oleh banyaknya masalah yang dihadapi seorang gubernur. Dan kritik itu akan selalu ada. Pembangunan pun dikritik orang, sebab ia tidak selamanya membawa dampak positif; selalu ada saja aspek negatifnya. Contohnya, listrik masuk desa; dengan adanya listrik, maka desa yang tadinya gelap lalu menjadi terang. Tentunya rakyat senang, tetapi saya sebagai gubernur, justru merasa susah. Sebab selalu orang memaki-maki saya. Suatu hari saya pernah ditegur orang:

“Coba Pak Gubernur pikir, waktu desa saya tidak ada listrik, tidak ada orang yang mati tersengat listrik; pokoknya saya minta ganti rugi”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang dihadapi oleh Pak Harto jauh lebih berat, sebab beliau yang mengurus kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Beliau setiap saat harus menangani berbagai masalah dari 180 juta rakyat Indonesia di 27 provinsi. Dalam hubungan inilah saya salut pada Pak Harto, saya anggap beliau adalah orang yang tangguh dan paling sabar serta tabah.
Oleh sebab itu kita dapat memahami jika rakyat tetap menghendaki Pak Harto sebagai Presiden Rl. Dan figur kepemimpinan Pak Harto harus kita dukung sepenuhnya. Seandainya masih ada orang-orang yang tidak setuju dan menolak kepemimpinan beliau, maka hal itu menjadi urusan kita untuk meyakinkannya. Sekali lagi saya tekankan, bahwa saya merasa puas dengan kepemimpinan beliau sebagai Presiden RI.
Walaupun begitu, kami di DPA pernah membahas kepemimpinan nasional. Kemungkinan kalau ada peralihan kepemimpinan nasional di kemudian hari, maka perlu dijunjung suatu tata cara yang terbaik, sehingga rakyat Indonesia mampu menumbuhkan tradisi yang baik. Sebab, kedua Presiden RI muncul dalam situasi yang boleh dikatakan tidak normal. Misalnya munculnya Bung Karno, karena revolusi. Dan Pak Harto naik, karena peralihan orde, dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pokok-pokok pikiran tersebut nantinya akan diajukan kepada Presiden. Policy tersebut adalah sesuai dengan fungsi DPA sebagai lembaga pemberi saran. Saya yakin bahwa Pak Harto mempunyai pendirian yang tegas mengenai hal itu, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara DPA dengan beliau tidak akan ada.

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.