Kesepakatan Presiden Soeharto-PM Eisaku Sato[1]
SABTU, 13 Mei 1972, Pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan Presiden Soeharto selama kunjungannya di Jepang terungkap didalam pernyataan bersama pemerintah Indonesia dan Jepang yang dikeluarkan hari ini secara serentak di Tokyo maupun di Jakarta. Pembicaraan-pembicaraan tersebut menyangkut bidang politik dan ekonomi, baik yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Menyangkut hubungan kedua negara, dalam pernyataan tersebut Presiden Soeharto dan PM Sato mengatakan bahwa keduanya menyaksikan dengan puas kemajuan-kemajuan besar yang hingga kini telah tercapai dalam rangka bantguan resmi Jepang kepada Indonesia, dan menegaskan kembali perlunya kerjasama ini ditingkatkan di tahun-tahun mendatang. Dalam hubungan ini Presiden Soeharto mencatat kebutuhan Jepang akan minyak yang berkadar belerang rendah guna menanggulangi masalah pengotoran lingkungan yang semakin gawat dalam rangka usaha Jepang untuk menyelaraskan berbagai segi pembangunan ekonomi dan sosialnya. Untuk ini Presiden Soeharto telah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan menyediakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk mengadakan minyak berkadar belerang rendah kepada Jepang sejumlah 58 juta kiloliter untuk masa waktu 10 tahun, supplay mana adalah di luar supplay melalui saluran-saluran komersial yang sekarang sudah berjalan.
Dalam pada itu Jepang akan memberikan kepada Indonesia suatu pinjaman tanpa ikatan berupa bantuan proyek dengan syarat-syarat lunak, termasuk pembiayaan kebutuhan-kebutuhan rupiah sejumlah 62 milyar yen. Bantuan ini dimaksudkan untuk pengembangan sektor perminyakan di Indonesia, dan tidak merupakan bagian dari bantuan Jepang kepada Indonesia dalam rangk aIGGI serta bukan pula merupakan pembayaran di muka untuk minyak yang akan diserahkan(AFR).
Catatan:
Berdasarkan penuturan Koos Arumdanie, seorang mantan wartawati Istana Negara pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang pada masa-masa awal pemerintahannya, bukan sebagaimana dispekulasikan kebanyakan orang, yang ditudingnya sebagai pembukaan kran investasi asing (Jepang ke Indonesia). Intensitas Presiden Soeharto ke Jepang sebenarnya dalam rangka menagih pampasan perang dari Jepang. Namun untuk menjaga harga diri kedua negara (terutama Jepang), upaya itu dilakukan secara halus (termasuk dalam hal ekspos/pembahasaan ke media). Kenyataannya Indonesia memang sangat memerlukan dana pembangunan setelah mengalami kemerosotan ekokomi luar biasa parah, dimana tahun 1965 mengalami inflasi hingga 650%.
[1] Dikutip Langsung dari Buku Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973, hal. 439.