Pak Harto Dan Trilogi Pembangunan (4)
Pembangunan dan Pemerataan[1]
Oleh
Abdul Rohman
Pembangunan di Segala Bidang
Setelah mengukuhkan stabilitas, road map kemandirian bangsa diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto melalui dua tahap pembangunan jangka panjang (PJP) dalam kurun 25 tahunan yang diderivasikan melalui program pembangunan lima tahunan (Pelita). Melalui skenario pembangunan yang dilakukan dalam dua tahapan pembangunan jangka panjang (PJP) itu Indonesia diproyeksikan akan keluar sebagai salah satu negara terbesar di dunia, baik secara ekonomi, kemampuan teknologi, maupun hankam. an peningkatan pendapatan perkapita yang dijalankan secara terus menerus selama 50 tahun sejak 1967, aSkenario orde baru adalah mewujudkan Indonesia mencapai tinggal landas, yaitu mengantar pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar 7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dua kali lipat dalam kurun 10 tahun dan dengan dukungan sistem maupun institusi handal. Pertumbuhan stabil dalam kisaran rata-rata 7% pertahun dkan mengantarkan Indonesia setara dengan negara maju pada tahun 2017-2020[2].
PJP I dilaksanakan mulai tahun 1969/1970 s/d 1993/1994 dan diterjemahkan kedalam 5 tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pelita pertama dilaksanakan pada tahun 1969/1970 s/d 1973/1974 yang dilakukan oleh Kabinet Pembangunan I (1969-1972) dan Kabinet Pembangunan II (1972-1977). Pada tahap ini dilaksanakan program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi serta pembangunan sektor pertanian dan sektor industri yang mendukung industri pertanian. Kebijakan rehabilitasi ekonomi dilakukan melalui kebijakan fiskal (pengurangan pengeluaran APBN yang tidak penting, membatasi pengeluaran sesuai penerimaan, penghapusan subsidi besar-pembiayaan defisit APBN oleh perbankan-bantuan pemerintah untuk menutup kerugian BUMN, peningkatan penerimaan negara, program surplus APBN dan alokasi bantuan luar negeri untuk pembangunan), kebijakan moneter, kebijakan tingkat suku bunga, kebijakan neraca pembayaran dan program penyelesaian utang luar negeri (pembayaran pokok diperpanjang 30 tahun (1970-1999), pembayaran bunga diperpanjang 15 tahun (1985-1999), bunga tidak dikenakan pada jumlah utang yang dijadwalkan kembali dan kesepakatan opsi untuk menunda pembayaran pokok selama delapan tahun pertama hingga delapan tahun terakhir (1992-1999) dengan bunga empat persen)[3].
Mulai Pelita II dilaksanakan dengan program pembangunan ekonomi sepenuhnya (yang dilaksanakan secara berkelanjutan dalam rentang waktu tahun 1970-1993) dengan melanjutkan program rehabilitasi-stabilisasi ekonomi dan melaksanakan program-program pembangunan baru. Program pembangunan dalam Pelita II (1974/1975-1978/1979) memfokuskan pembangunan sektor pertanian dan sektor industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Pembangunan dalam tahap ini dilaksanakan oleh Kabinet Pembangunan II dan dilanjutkan oleh Kabinet Pembangunan III (1977-1982).
Pelita II dilanjutkan dengan Pelita III (1979/1980-1983/1984) yang memfokuskan pada program pembangunan pertanian untuk terwujudnya swasembada pangan dan sektor industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Program-program pembangunan dalam Pelita III dilaksanakan oleh Kabinet Pembangunan III dan diteruskan oleh Kabinet Pembangunan IV (1982-1987). Sedangkan Pelita IV dilaksanakan pada tahun 1984/1985 s/d 1988/1989 dengan menfokuskan pembangunan pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha pencapaian swasembada pangan dan pembangunan sektor industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri. Program pembangunan pada Pelita IV dilaksanakan oleh Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V (1987-1992).
Pelita V 1989/1990-1993/1994 didesain untuk konsolidasi insfrastruktur perekonomian bangsa —yang telah dicapai sebelumnya— dan percepatan penguasaan high tech (teknologi tinggi) agar berdiri secara kokoh dan stabil sebagai pijakan program tinggal landas (take off) mensejajarkan diri dengan negara-negara maju. Program pembangunan dalam Pelita V dilakukan oleh Kabinet Pembangunan V dan Kabinet Pembangunan VI (1992-1997). Pelita V merupakan fase terakhir skenario PJP I.
Pelita VI (1994/1995-1998/1999) merupakan tahapan pertama kerangka pembangunan tinggal landas atau PJP II (1994/1995-2019/2020) yang diproyeksikan untuk mensejajarkan diri dengan negara-negara maju. Pada tahap ini dilakukan dengan percepatan alih teknologi tinggi dan pemantapan eksistensi industri-industri strategis yang dibangun sebelumnya. Fase ini ditandai dengan pembuktian eksistensi industri-industri strategis seperti PT IPTN (industri kedirgantaraan dan persenjataan udara), PT PAL (industri kelautan dan persenjataan laut) dan PT PINDAD (industri alat utama sistem persenjataan) yang mulai menunjukkan hasil produksinya berbasis high tech. Pemerintah juga berusaha memutus ketergantungan produksi otomotif dari luar dengan program mobnas (mobil nasional) yang dilakukan melalui proyek mobil TIMOR.
Pelita VI dilaksanakan oleh Kabinet Pembangunan VI dan Kabinet Pembangunan VII (1997-1998). Pelita VI dan secara keseluruhan skenario PJP II (skenario tinggal landas atau program mensejajarkan diri dengan negara maju) pada akhirnya terputus oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 yang salah satu dampaknya memicu krisis politik dan disusul krisis multi dimensional. Pemerintahan Presiden Soeharto sebenarnya sering ditimpa krisis seperti krisis moneter internasional tahun 1971, krisis pangan tahun 1972, krisis pertamina tahun 1975, devaluasi rupiah tahun 1978, lonjakan BBM tahun 1982, dan merosotnya harga minyak pada tahun 1986, namun krisis-krisis itu dapat diatasi dengan baik. Sedangkan krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 —sebagaimana telah dikemukakan dalam tulisan berjudul “Pak Harto dan Misteri Kemelut 1998— telah dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional untuk mendorong munculnya krisis politik di Indonesia —yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto—, sehingga tidak terdapat kepemimpinan kuat dan soliditas segenap komponen bangsa untuk secara efektif menanganinya. Akibatnya bukan saja krisis ekonomi-moneter-politik telah memutus agenda tinggal landas, akan tetapi memicu munculnya krisis multi dimensional dan bahkan mendekonstruksi capaian-capaian positif PJP I seperti lepasnya aset-aset produktif kepada kepemilikan asing.
Pemerataan Pembangunan dan Program Pro Rakyat
Selain menekankan pertumbuhan, kepemimpinan Presiden Soeharto juga memperhatikan aspek pemerataan pembangunan yang menandakan kebijakannya pro rakyat. Pemerataan itu diaplikasikan melalui delapan jalur pemerataan yaitu:
Pertama, pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok yang ditekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan, kebutuhan sandang dan papan. Tiga kebutuhan pokok tersebut selalu mengalami peningkatan seiring peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok bukan saja menekankan pada upaya menutupi defisit kebutuhan yang terjadi dalam wilayah tertentu, akan tetapi juga memperhitungkan peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk. Kebutuhan pangan dilakukan dengan mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi usaha pertanian. Pemenuhan kebutuan sandang dilakukan dengan mendorong industri sandang yang bisa dijangkau oleh masyarakat luas. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan papan, pemerintah menyelenggarakan program Perumnas dan kredit perumahan sehingga mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah sebagai tempat tinggalnya.
Kedua, pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pemenuhan kebutuhan ini tidak hanya pada aspek keterjangkauan masyarakat dalam pembiayaan, akan tetapi penyediaan infrastruktur dan sumber daya profesional yang merata diseluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, pemerataan pembagian pendapatan. Jalur pemerataan ketiga ini terkait dengan jalur keempat ‘kesempatan kerja’ yang dilakukan dengan political will perluasan kesempatan kerja untuk memperbanyak lapangan kerja dengan mendorong investasi sebanyak mungkin.
Keempat, pemerataan kesempatan kerja. Selain memperbanyak lapangan kerja, jalur ini juga dilakukan dengan memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan terapan seperti BLK (Balai Lapangan Kerja) untuk melahirkan tenaga-tenaga terampil sehingga dapat terserap di berbagai lapangan pekerjaan.
Kelima, pemerataan kesempatan berusaha. Jalur ini dilakukan dengan kebijakan untuk mempermudah permodalan usaha yang salah satunya melalui kebijakan perkreditan. Kebijakan permodalan usaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan penguatan permodalan usaha bagi masyarakat.
Keenam, pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya generasi muda dan wanita. Jalur ini dilakukan dengan menggalakkan PKK untuk mendorong kreatifitas produktif bagi kalangan wanita. Sedangkan pemerataan pembangunan bagi generasi muda dilakukan dengan menggairahkan kegiatan-kegiatan kepemudaan sehingga dapat menstimulus kreatifitasnya dalam mengintegrasikan dirinya dengan agenda pembangunan bangsa.
Ketujuh, pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Jalur ini dilakukan dengan memberikan perhatian khusus bagi daerah-daerah tertinggal atau kantong-kantong wilayah yang kurang menikmati akses pembangunan untuk diberikan intervensi khusus sehingga dapat mensejajarkan diri dengan daerah-daerah lain.
Kedelapan, kesempatan memperoleh keadilan. Jalur ini tidak hanya menekankan pada terpenuhinya pemerataan keadilan hukum, akan tetapi keadilan dalam bidang-bidang lain seperti keadilan dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pendidikan dan pemerintahan. Semua warga negara berhak memperoleh keadilan dalam semua bidang kehidupan tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, ras dan antar golongan.
Selain melalui delapan jalur pemerataan itu, kebijakan pembangunan pro rakyat tercermin dari gencarnya pemerintahan Presiden Soeharto melakukan penguatan kelembagaan dan pencerdasan petani, gerakan posyandu dan penggalangan koperasi. Penguatan kelembagaan dan pencerdasan petani dilakukan dengan gerakan Klompencapir (kelompok pendengar pembaca dan pemirsa) dalam rangka menggalakkan masyarakat —khususnya petani dan nelayan— agar well informed terhadap dinamika pembangunan khususnya pembangunan pertanian. Kegiatan ini didukung temu wicara-temu wicara —yang dihadiri Presiden Soeharto sendiri— secara intensif sehingga menggairahkan petani untuk mencari informasi, membangun kelembagaan dan mendialektikakan kemajuan dirinya dengan sesamanya. Melalui kegiatan Klompencapir ini informasi pengembangan usaha pertanian —termasuk teknologi-teknologi baru— dengan cepat ditransformasikan dan diserap petani. Dukungan political will yang kuat dari Presiden Soeharto juga membangkitkan gairah petani untuk berpacu memajukan usaha taninya.
Kegiatan Posyandu juga mendorong gairah para ibu untuk peduli terhadap kesehatan diri dan anak-anaknya. Begitu pula dengan penggalakan koperasi beserta pengembangan infrastruktur pendukungnya telah mendorong gairah masyarakat untuk membangun jaringan usaha bersama sehingga memberi kontribusi dalam menggerakkan kekuatan ekonomi rakyat. Kesemuanya merupakan bukti kebijakan Presiden Soeharto sangat pro rakyat sehingga program pembangunan menyentuh hingga lapisan terbawah.
***