1982-10-01 Hadiri Upacara Sumpah/Janji Anggota MPR/DPR, Presiden Soeharto Uraikan Pedoman Pokok Rancang GBHN

Hadiri Upacara Sumpah/Janji Anggota MPR/DPR, Presiden Soeharto Uraikan Pedoman Pokok Rancang GBHN

JUM’AT, 1 OKTOBER 1982 Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini menghadiri upacara pengambilan sumpah/janji para anggota MPR/DPR di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Presiden antara lain telah mengungkapkan beberapa pedoman pokok yang digunakannya didalam merancang GBHN yang diajukannya. Pertama, kita memandang pembangunan bangsa kita dalam arti yang seluas-luasnya, sebagai langkah nyata untuk makin mendekati cita-cita kemerdekaan. Ini berarti kita memandang pembangunan sebagai pengamalan Pancasila baik di bidang politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dengan sikap dasar ini kita meletakkan pembangunan bangsa itu pada kerangka sejarah yang ada kesinambungannya dengan cita-cita kemerdekaan.
Kedua, kita memandang tahap pembangunan lima tahun mendatang sebagai kesinambungan, peningkatan dan perluasan dari segala hasil positif yang dapat kita capai hingga sekarang, dengan sekaligus mengadakan koreksi dan penyempurnaan yang diperlukan. Ini berarti yang telah baik kita lanjutkan dan kita mantapkan, sedang yang belum baik akan kita perbaiki.
Ketiga, pembangunan kita pandang sebagai perjuangan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, yang kita jalankan secara sistematis dan berencana, secara realistis dan benar-benar didukung oleh kekuatan nyata bangsa kita. Ini berarti dalam menyusun GBHN yang akan datang kita perlu memperhatikan hasil-hasil yang telah kita capai sampai sekarang ini, dengan menggali segala potensi yang dapat kita kembangkan secara maksimal di masa datang.
Keempat, dengan pedoman-pedoman tersebut, tahap pembangunan yang akan datang memperhatikan aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat. Dalam hal ini maka pengalaman, kritik, keluhan dan harapan-harapan selama pemilihan umum yang lalu mendapat perhatian dan disalurkan secara positif, kreatif dan realistis dalam penyusunan Rancangan GBHN ini.
Pada kesempatan ini Kepala Negara mengemukakan dua masalah politik dalam rangka pemantapan stabilitas politik. Pertama, penegasan bahwa semua kekuatan sosial politik menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik. Dalam hal ini Presiden mengatakan bahwa dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik tidak berarti demokrasi kita menjadi layu, atau perbedaan pendapat harus mati. Sebaliknya, dalam alam Demokrasi Pancasila, semua kekuatan sosial politik mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menawarkan program-program yang terbaik bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat dalam rangka melaksanakan pembangunan Masyarakat Pancasila.
Kedua, masalah pengangkatan anggota ABRI sepertiga jumlah anggota MPR yang didasarkan pada konsensus nasional. Dikatakan oleh Presiden bahwa dalam rangka menumbuhkan kehidupan demokrasi dan berhubung adanya keinginan untuk meniadakan ketentuan pengangkatan sepertiga jumlah anggota MPR, maka perlu ditemukan jalan konstitusional yang lain, agar Pasal 37 UUD 1945 itu tidak mudah digunakan untuk mengubah UUD 1945. Menurut Presiden Soeharto, hal itu dapat dilakukan apabila MPR menetapkan perlu adanya referendum untuk meminta pendapat rakyat, apakah rakyat setuju atau tidak setuju apabila MPR berkehendak mengubah UUD dengan menggunakan Pasal 37. Dengan adanya cara ini maka ketentuan Undang-undang mengenai pengangkatan sepertiga jumlah anggota MPR dapat diubah. Demikian Presiden. (AFR)

_______________________________

Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983”, hal 595-596. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta, Tahun 2003.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.