Ujungpandang, 30 September 1998
Kepada
Yth. Bapak H.M. Soeharto
di Jakarta
PANCASILA TINGGAL SIMBOL [1]
Dengan hormat,
Setibanya surat ini, semoga Bapak sekeluarga dalam keadaan sehat wal afiat serta dalam lindungan Allah swt dan diberi kekuatan lahir dan bathin.
Membaca koran yang terbit di daerah sangat membosankan bagi saya. Saya pribadi sangat salut terhadap ketegaran Bapak menghadapi kenyataan ini. Hanya dengan iman yang kuat Bapak sanggup menghadang badai yang begitu dahsyat. Bahwa Bapak akan menggugat balik apabila hujatan tersebut tidak terbukti kebenarannya, adalah langkah yang sangat tepat.
Sepertinya, sekarang ini jaman sudah edan. Orang-orang hanya mau enaknya saja tanpa mau tahu bagaimana cara mengusahakannya. Ibarat menanam padi tinggal memanen, kalau perlu tinggal menunggu nasinya saja. Mereka haus ambisi dan kekuasaan, disangkanya memimpin sebuah negara sama dengan memimpin satu RT/RW.
Pancasila yang selama ini kita bangga-banggakan hanya tinggal sebagai simbol. Saya berharap pada Bapak, agar dapat meyakinkan kami yang masih mencintai dan menghormati serta menyayangi Bapak bahwa hujatan-hujatan mereka tidak benar.
Semoga Tuhan YME memberikan kepada kami pemimpin yang pantas, bukan yang haus kekuasaan dan hanya tahu mencari kejelekan orang lain. Lewat surat ini pula saya haturkan rasa hormat serta terima kasih kepada Bapak selama memimpin bangsa Indonesia. Yang jelas saya menikmati pembangunan yang Bapak laksanakan.
Amin ya Robbal’ alamin. (DTS)
Hormat saya,
Wassalam,
Farida Dewi Yanti
Ujung Pandang
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 747. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.