PAK HARTO DAN “ALON2 WATON KELAKON”

PAK HARTO DAN “ALON2 WATON KELAKON” [1]

Wawancara khusus “SUARA KARYA” dengan Presiden

 

Jakarta, Suara Karya

“SETELAH Batalyon 530 dan 454 berhasil dikembalikan ke Kostrad dan Angkatan2 lainnya menyatakan rela berada dibawah perintah saya, pada saat itu sebetulnya saya sudah bisa bergerak, segera menangkap Untung dan merebut kembali RRI. Tapi ini tidak saya lakukan karena saya harus betul2 tahu lebih dulu, apa sebenarnya latar belakang dari Gerakan 30 September itu.”

Hal ini dikemukakan Presiden Soeharto dalam suatu wawancara khusus dengan “Suara Karya”, sebagai salah satu contoh mengapa anak petani dari desa Kemusu yang bernama Soeharto itu, dalam kepemimpinannya sejak ia muncul sebagai penyelamat Republik ini mulai dari peristiwa kudeta G30S/PKI sampai tahun terakhir masa jabatannya yang pertama sebagai Presiden RI, memakai langgam yang dinilai sebagai “alon2 waton kelakon”.

Kalau didepan namanya tidak ada sebutan Jendral, agaknya tak ada orang yang mengira, bahwa Presiden yang diwawancarai “Suara Karya” ini, adalah pula seorang militer. Sikap dan gayanya menjelaskan pendapat dan pemikiran2nya, merupakan perpaduan antara sikap dan gaya seorang politikus, negarawan dan guru sekaligus.

Dan satu2nya ciri yang agaknya dapat dianggap “membocorkan rahasia” bahwa ia seorang militer, adalah ke-blak2annya menjawab setiap pertanyaan yang begitu spontan dan terus terang.

Banyak yang Gregetan

Agaknya banyak orang yang gregetan, malah tak kurang yang sinis melihat langgam kepemimpinan Soeharto yang dinilai sebagai “alon2 waton kelakon itu”, hingga hal ini merupakan pertanyaan pertama yang diajukan “Suara Karya”, apakah ini memang hanya sekedar sebagai taktik “penyempitan front pertempuran” seperti anggapan sebagian orang, atau sejauh mungkin menghindarkan korban dikalangan bangsa sendiri, suatu sikap yang tampaknya memang terkait dan melekat pada diri Presiden Soeharto selama ini.

Dengan senyum yang selalu terpancar di wajahnya, yang sekali2 diseling rekahnya tawa spontan, serta cerutu Tarumartani keluaran Yogya yang terjepit antara telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Presiden Soeharto menjelaskan, “alon2 waton kelakon” (biar lambat asal selamat, red) mempunyai kebalikan yang berbunyi “Kebat kliwat”, yang kira2 berarti: “cepat tapi tidak berhasil”.

“Dan saya berpendirian, bahwa yang dilakukan itu hendaknya terlaksana dan berhasil dengan baik,” kata Soeharto.

Terlaksana dan berhasilnya suatu rencana atau tindakan, memerlukan ketelitian sebelum tindakan itu dijalankan. Ketelitian dalam menelaah dan menilai keadaan dan ketelitian dalam mengambil putusan, hingga setiap putusan yang diambil bisa menjamin suksesnya tindakan tersebut.

Agaknya pengalaman2 Soeharto sebagai perwira TNI selama masa perjuangan bersenjata, antaranya dalam peristiwa 1 Maret 1949 dimana Letnan Kolonel Soeharto dan pasukannya berhasil menduduki Yogyakarta, selama enam jam yg mempunyai Impact sangat besar dalam perjuangan RI di forum Internasional, dan pengalaman sebagai Panglima Mandala untuk mengembalikan Irian laya kepangkuan republik di jaman Trikora, dimana diplomasi dan gerakan2 militer merupakan jepitan kakak tua yang kelihatan berjalan lambat tapi kemudian berhasil dengan baik, semakin mempertebal keyakinan. Soeharto kepada inti pengertian insafi yang terkandung dalam pepatah “alon2 waton kelakon” dan “kebat Kliwat”.

“Coba saja” katanya menyinggung kejadian sekitar tanggal 30 September. “Pagi2 buta tanggal 1 Oktober 1965 saya hanya memperoleh keterangan dari beberapa kolega di rumah, baik dari saudara Mashuri (sekarang Menteri P dan K, red) yang menjadi sekretaris RT yang saya ketuai, saudara Kusmarjono dan kemudian saudara Hamid, seorang tetangga yang juga bekas tentara yang memberitahukan adanya tembak menembak serta ada beberapa perwira diculik oleh pasukan yang tidak dikenal. Perwira yang diculik itu antara lain Jendral Yani dan lain2nya termasuk juga lenderal Nas.”

Pimpinan TNI/ AD Kosong

Dengan berita tentang terjadinya penculikan terhadap perwira2 yang waktu itu menjadi pimpinan TNI/ AD yang belum saya ketahui nasibnya dan Jenderal Nas, kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali bahwa sejak itu pimpinan TNI/AD telah kosong, artinya TNI/AD mengalami situasi dimana tidak ada yang memimpin karena pimpinannya diculik atau diambil pasukan yang tak dikenal.

Sebagai seorang militer yang waktu itu menjabat Panglima Kostrad, Soeharto tahu betul betapa pentingnya arti pimpinan bagi suatu Angkatan, apalagi menghadapi suasana genting seperti itu, hingga ia memberanikan diri mengambil oper pimpinan TNI/AD.

Tindakan mengambil oper pimpinan ini, bukan tanpa perhitungan dan dasar sama sekali. “Saya tidak ragu2”, kata Soeharto, “pertama karena TNI/AD harus ada pimpinan dan kedua ada kebiasaan selama ini bila lenderal Yani tidak ada ditempat, maka sayalah yang selalu ditunjuk sebagai wakilnya, sebagai pengganti menjabat Panglima TNI/AD.

Keputusan eepat lenderal Soeharto sebagai seorang militer waktu itu, didorong minimal oleh maksud untuk segera mengamankan TNI/AD agar tidak terlepas dari kepemimpinan yang sudah kosong. Sebuah tindakan yang memang sesuai dengan sikap seorang militer setelah mengetahui situasi sebelumnya.

Ada Pasukan Sekitar Monas

Melanjutkan penuturannya sekitar tanggal 1 Oktober 1965 ini dengan ingatannya yang tampak begitu tajam hingga se-olah2 baru kejadian kemarin, Jenderal Soeharto pagi2 itu berangkat ke Kostrad menyupiri sendiri jeepnya dengan berpakaian seragam tempur. “Di Kostrad rupanya belum ada yang tahu, tapi saya sendiri tahu,” kata Soeharto, “bahwa sekitar Monas ada pasukan Baret Hijau yang saya kenal sebagai Batalyon2 dari Kostrad sendiri yang dipersiapkan untuk upacara peringatan hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965.

Sewaktu Jenderal Soeharto lewat, pasukan yang berkumpul sekitar Monas dan Istana, juga memberikan hormat kepadanya, padahal Kostrad sendiri, setelah ditanyakan, tak ada yang tahu “Ada perwira2 yang diculik dan batalyon2 dari Kostrad berada disekitar Monas dan Istana, padahal Markas Kostrad sendiri tidak tahu, tentu ada apa2 yang harus dieari penyelesaiannya, untuk apa itu batalyon2 dari Kostrad ada disekitar Monas dan Istana” Pikir Soeharto.

Batalyon2 yang ada sekitar Monas dan Istana adalah Bn 530 dan 454 yang setelah ditanyakan mengatakan bertugas untuk mengamankan Presiden.

Gambaran belum pasti tentang apa yang sebenarnya teIjadi, karena itu masih terus diadakan penelitian dan pencarian keterangan2 hingga akhirnya ada siaran RRI yang mengatakan, bahwa ada gerakan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang melakukan penangkapan2 terhadap sejumlah perwira dan katanya juga mengamankan Presiden.

“Dengan adanya laporan2 dan keterangan2 ini, saya akhirnya bisa mengira” kata Jenderal Soeharto, “apa yang kira2 sudah terjadi, Saya mengenal siapa Untung karena memang ia bekas atau berada dibawah komando saya sejak di Jawa Tengah.

Untung adalah bekas salah seorang Komandan Peleton, kemudian menjadi Komandan Kompi dan Komandan Batalyon. Pada mulanya Komandan Peleton di Bn Digdo, yaitu Bn 444 yang bermarkas di Kloco. Dan saya tahu betul, kata Soeharto, seluruh riwayat kesatuan di Solo dan Yogya, karena beliau pernah ditugaskan sebagai Komandan Brigade, yang kemudian dipindahkan sebentar ke Salatiga, selanjutnya ke Solo untuk memperbaiki kesatuan2 di Solo.

Di Solo ada empat Batalyon, yaitu Bn Hardo, Bn Slamet Riyadi, Bn Sunitiyoso dan Bn Digdo. Diantara empat Batalyon ini yang dikenal sebagai Batalyon kiri (istilah yang dipakai waktu itu) adalah Bn Digdo, karena sejak 1945 kader2 Bn 444 dibawah Digdo ini sudah diasuh oleh Alimin, sampai2 Alimin sendiri tidur di asrama Kloco (asrama Bn 444) untuk memberi indoktrinasi, hingga kader2 Bn 444 betul2 menjadi kader mereka. (PIJ, red)

Sudah Jelas

Setelah mengetahui data2 tentang gerakan ini yang dipimpin oleh Untung dengan latar belakang riwayatnya seperti disebutkan tadi, saya berkesimpulan, kata Jendral Soeharto, bahwa gerakan ini tentu tidak berdiri sendiri, dan tentu ada kekuatan dibelakangnya. Ini saja-pun sebenarnya sudah memungkinkan bertindak, tapi itu pun belum dilakukan karena masih memerlukan keterangan2 lebih lanjut.

Keterangan2 ini kemudian datang melalui pengumuman kedua lewat RRI tentang pembentukan Dewan Revolusi serta susunan keanggotaannya. Dengan pengumuman berikutnya seperti pembubaran kabinet dan pengumuman pangkat, akhirnya kita sudah mengetahui dengan lebih pasti apa gerakan yang dipimpin Untung, apa latar belakangnya dan kemana tujuannya.

“Mestinya pada saat itu saya sudah bisa bertindak dengan menangkap Untung dan merebut kembali RRI,” kata Presiden Soeharto. “Tapi itu masih toh belum saya lakukan, hingga memang agaknya menimbulkan kesan alon2 itu tadi. Bagi saya sudah jelas situasi dan kekuatan lawan. Tapi ini saja belum menjamin berhasilnya gerakan yang akan diambil, atau kelakon (terlaksananya) tindakan dengan baik.”

Bersamaan dengan usaha melengkapkan informasi tentang situasi lawan, Soeharto juga mengumpulkan bahan2 tentang situasi kekuatan sendiri. Kepada kedua Batalyon Kostrad yang ada disekitar Monas dan Istana diadakan pendekatan dan diberi penjelasan2, bahwa mereka telah diperalat. Kalau tadinya mereka ditugaskan untuk mengamankan Presiden, dijelaskan bahwa Presiden justru tidak ada di Istana.

Dengan penjelasan2 lebih lanjut tentang situasi yang sebenamya tentang pembentukan Dewan Revolusi oleh Untung dan sebagainya, akhirnya kedua Batalyon ini dapat “dilepaskan” dari gerakan dan kembali ke Kostrad.

Dengan kembalinya kedua Batalyon ini, sekali lagi saya pun sudah bisa bertindak. Tapi ini juga belum saya lakukan, karena sesuai dengan latar belakang yang sampai demikian jauh sudah saya ketahui, gerakan ini bersifat nasional, dan bukan hanya terbatas dalam TNI/AD saja, seperti kemudian ternyata memang hendak dikesankan keluar oleh PKI. Andaikata memang hanya terbatas dalam lingkungan TNI/AD, tidak perlu mereka membentuk Dewan Revolusi, apalagi membubarkan kabinet. Semua ini harus diketahui dengan jelas oleh masyarakat termasuk Angkatan2 lain di luar TNI/AD”.

Pengumuman mereka tentang adanya “Dewan Jendral” yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, rupanya mau mengesankan bahwa gerakan ini adalah terbatas hanya antara apa yang mereka namakan perwira2 yang berpikiran maju dan Jendral2 TNI/AD yang mereka culik, hingga adanya “Dewan Jendral” inilah yang mereka gunakan sebagai alasan untuk melancarkan gerakan.

Setelah Batalyon 530 dan 454 berhasil dipisahkan dari gerakan, Angkatan2 lain juga didekati “Memang Angkatan2 Laut, Udara dan Kepolisian tidak berhasil saya hubungi langsung waktu itu, tapi mereka sudah menyatakan akan mematuhi komando saya”.

Jelas kita sudah mengetahui keadaan lawan (gerakan) latar belakang dan tujuannya, kita sudah mengetahui posisi kita sendiri dan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh semua kesatuan, saya berikan perintah agar semua pasukan dikonsinyir untuk dapat melakukan konsolidasi.

Masyarakatpun sudah tahu latar belakang gerakan dari pengumuman2 yang mereka keluarkan melalui RRI. Sesudah ini semua, barulah saya bertindak.

Kepada seluruh perwira staf saya jelaskan situasi, dan bagi kita hanya ada satu pilihan, “der op of der onder” (menang atau kalah) gerakan ini harus kita hadapi, sebab kalau tidak, menyerah pun kita akan dibunuh karena di belakangnya adalah PKI.

Tindakan pertama adalah merebut kembali RRI dan setelah itu mengeluarkan pengumuman pertama yang menjelaskan kepada masyarakat apa yang telah terjadi, yaitu bahwa ada pasukan yang menangkapi Jendral2 yang hingga waktu itu belum diketahui nasibnya, hanya diketahui ada beberapa yang luka2. Juga dijelaskan dibentuknya Dewan Revolusi oleh mereka yang mengadakan gerakan serta dibubarkannya kabinet. Semua ini tidak bisa diartikan lain daripada suatu perebutan kekuasaan (kudeta).

Jangan Dinilai Negatif

Dari semua kejadian sekitar tanggal 1 Oktober itu, kata Presiden, memang ada momentum2 dimana saya dapat bertindak cepat. Tapi beliau belum bertindak karena sebelumnya harus betul2 tahu tentang situasi.

lnilah agaknya yang dinilai orang sebagai “alon2 waton kelakon”, padahal setiap tindakan yang main kebut2an belum tentu menjamin suksesnya tindakan, bahwa malah bisa mencelakakan (kebat kliwat). lnilah menurut Presiden yang menjadi falsafah dalam kepemimpinan yang dilakukannya. “Jangan diambil arti negatifnya, yaitu alon2nya, tapi ambil arti positifnya, yaitu kelakonnya.”

Dengan senyum khas Soeharto yang tak lepas dari wajahnya, Presiden menambahkan

“Saya bisa menerima tindakan2 saya dinilai sebagai “alon2 waton kelakon”. tapi lantas penafsirannya jangan dari segi “alon2nya” melainkan dari segi “kelakonnya”, dari segi positifnya yang berarti suksesnya tindakan itu”.

Bagi orang yang tidak mengerti tentang falsafah yang terkandung dalam pepatah ini, memang penafsiran negatif dari segi “alon2nya” saja, bisa dinilai sebagai falsafah

“andong di Yogya klek, klek, klek, klek asal jalan”, kata Presiden Soeharto.

Tapi alon2 dengan pelaksanaan yang kelakon (berhasil) justru memberi ruang gerak pada kita untuk mematangkan persiapan agar dapat mengambil putusan yang setepat-­tepatnya.

Tentang 11 Maret

Dengan latar belakang pemikiran seperti diuraikan diatas, Presiden Soeharto kemudian sampai kepada pertanyaan berikutnya, bagaimana sebenarnya proses pemikiran yang akhimya sampai pada penyusunan konsep Surat Perintah 11 Maret.

Menjawab pertanyaan ini Presiden kembali membikin resume dari kejadian2 sebelumnya, baik gerakan pada tanggal 30 September 1965 maupun 1 Oktober dan kelanjutan sesudah itu. Dari semua ini jelas bahwa telah terjadi penyelewengan2 dari kemurnian pelaksanaan UUD 45. “Ada penyelewengan dari konstitusi, hingga baik dalam pelaksanaan demokrasi maupun pelaksanaan Pancasila, telah rnemungkinkan diberinya kesempatan lagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak, mengembangkan diri hingga pada akhirnya mereka merasa mampu untuk melakukan kudeta. Ini penilaian kita,” kata Soeharto. Atau bisa pula terjadi, bahwa pihak PKI­-lah yang pandai menunggangi keadaan, lantas mengadakan kudeta.

Situasi setelah terjadinya G30S/PKI telah menyebabkan timbulnya konflik antara pimpinan nasional dengan rakyat, dengan pemuda mahasiswa, dan lain sebagainya yang rnenghendaki adanya perbaikan yang berarti perlu adanya koreksi dari situasi yang tadinya memungkinkan PKI menjadi besar dan melakukan kudeta.

Oleh karena Bung Karno yang telah diangkat sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memimpin bangsa waktu itu, maka koreksi yang diminta rakyat dengan sendirinya ditujukan kepada Bung Karno.

Otot2an dengan Bung Karno

Tentang PKI ini, menurut Presiden Soeharto, beliau sejak tahun 1956, yaitu setelah pemilihan umum pertama, telah mengemukakan kepada Bung Karno tentang kekhawatirannya melihat perkembangan PKI. Waktu itu Soeharto menjadi Panglima Divisi di Semarang.

Pada suatu waktu Bung Karno berkunjung ke Jawa Tengah, dan di dalam mobil sewaktu Soeharto mendampingi Sukarni, ditanyakan:

“Ini Pak, apakah PKI tidak merupakan bahaya bagi Pancasila karena perkembangannya yang kelihatannya semakin besar. Lantas apakah kita nanti bisa membendung bahaya komunis ini?”

Atas pertanyaan Soeharto ini, Bung Karno Menjawab.

“Adalah kenyataan bahwa PKI melalui pemilihan umum memperoleh keuangan, dus kekuatan itu ada. Oleh karena itu harus kita gunakan, harus kita jadikan PKI Pancasila.”

Panglima Soeharto bertanya lagi

“Apa mungkinkah itu? Apa justru nanti tidak sebaliknya ?”

Sukarno menjawab:

“ltulah petjuangan saya, yang harus mem-Pancasilakan PKI” Sukarno melanjutkan: “Ya, kamu adalah komandan militer, jalankan tugasmu. Lho soal politik adalah kewajiban saya dan itu perjuangan saya untuk mem-Pancasilakan PKI.”

“ltu tahun 1956,” kata Presiden Soeharto,

“saya sudah memperingatkan Bung Karno dan dijawab demikian. Dan setelah saya lihat cara2 Bung Karno setelah pemilihan Umum 1956 itu dalam menyusun Kekuatan sampai kepada Nasakom untuk mempersatukan Nasionalis, Agama dan Komunis, memang saya sudah mengetahui jalan pikiran Bung Karno.”

Malah bukan hanya dalam rangka mempersatukan bangsa, tapi Idea Nasakom ini juga dilemparkan Bung Karno kepada negara2 di PBB, dengan membawa delegasi besar ke sidang umum PBB waktu itu, sebagai demonstrasi telah berhasil menggalang persatuan dan kerjasama antara kaum Nasionalis, Agama dan Komunis.

Jadi setelah mengetahui jalan pikiran Bung Karno ini, dan sesudah terjadi G30S/PKI, menurut Presiden Soeharto, pada suatu kesempatan kembali beliau menanyakan hal ini kepada Bung Karno. Perjuangan beliau katanya adalah untuk mem-Pancasilakan PKI, tapi nyatanya sekarang PKI kok berontak.

Menurut Presiden Soeharto, sambil senyum2 beliau waktu itu menanyakan kembali pada Bung Karno:

“Pak, ini nyatanya bagaimana, apakah bapak mem-Pancasilakan komunis ?” Kenyataannya, bukan kita yang akan mem­-Pancasilakan komunis, tapi Pancasila yang hendak di komuniskan.

Tapi rupanya Bung Karno belum sadar, bahwa PKI betul2 merupakan bahaya dan telah melakukan kudeta. Bung Karno tetap bertekad bahwa PKI bisa di Pancasilakan.

Tentang hal ini, menurut Presiden Soeharto, antara bulan Oktober 1965 sampai Maret 1966, antara beliau dan Bung Karno sering terjadi otot2an, disatu pihak, melihat kenyataan2 yang ada Soeharto berpendapat PKI tidak bisa dibenarkan, sedangkan dilain pihak Bung Karno berpendapat masih bisa di Pancasila-kan, walaupun situasi konflik sudah semakin hebat dan keadaan sudah semakin tidak stabil Pada akhirnya Jendral Soeharto sampai kepada kesimpulan, bahwa tidak ada gunanya lagi menyakinkan Bung Karno tentang kekeliruan pendiriannya ini.

Sidang Kabinet 10 Maret 1966

Presiden Soeharto kemudian sampai pada penuturan sekitar tanggal 11 Maret serta proses sehari sebelumnya mengenai sidang kabinet tanggal 10 Maret. Dengan menghubungkan ketidakhadiran beliau dalam sidang kabinet waktu itu karena sakit, Presiden menjelaskan bahwa beliau mendapat laporan dari Jendral Basuki Rachmat, Jendral Jusuf dan Jendral Amir Machmud yang menghadiri sidang kabinet, bahwa sidang telah menjadi kacau, karena katanya ada pasukan yang mengepung Istana, dan Bung Karno serta beberapa Menteri meninggalkan Istana dan berangkat ke Bogar.

“Setelah mempelajari situasi, saya mengutus Jenderal2 Basuki Rachmat, Jusuf dan Amir Machmud ke Bogor, dengan perintah melapar kepada Bung Karno, serta meminta, apabila Bung Karno masih mempercayai saya, maka berilah wewenang untuk mengatasi keadaan. Sama sekali saya tak tahu menahu mengenai konsep Super Semar (Surat Perintah 11 Maret), yang minta adalah agar diberi wewenang untuk mengatasi keadaan yang semakin kacau ,” kata Presiden Soeharto.

Super Semar hanya Sekali Gunakan

Tanpa menjelaskan proses pembuatan konsep Super Semar dan penandatanganannya karena beliau memang tak hadir waktu itu, Presiden Soeharto katakan, bahwa konsep surat perintah ini memang dibuat dan ditandatangani di Istana Bogor, apalagi disitu ada Menteri2 seperti Subandrio dan Chaerul Saleh.

Setelah Jendral Soeharto menerima surat perintah ini, langkah pertama yang diambilnya adalah membubarkan PKI, karena inilah yang menjadi tuntutan pertarna dari (Tri Tuntutan Rakyat). Apalagi semua data menunjukan bahwa PKI adalah kekuatan yang menggerakkan G30S, hingga tidak bisa lain PKI harus dibubarkan.

“Dan hanya sekali itulah Super Semar saya gunakan,” kata Presiden.

Sebenarnya Super Semar memberi wewenang yang tidak terbatas kepada Jendral Soeharto, yang berarti pula bahwa beliau mendapat tanggungjawab yang sungguh besar.

Setelah membenarkan, bahwa dengan surat perintah ini Beliau rnernperoleh wewenang yang sungguh besar, menjawab pertanyaan, pertimbangan2 rasionil apakah waktu itu yang ada pada beliau untuk menerirna tanggungjawab tersebut.

Presiden rnenjelaskan, bahwa betapapun juga, negara, bangsa, Pancasila dan konstitusi harus diamankan diatas segala-galanya. Seperti telah saya uraikan tadi, demikian Soeharto, telah terjadi penyelewengan2 yang rnenyebabkan timbulnya G30S/PKI, hingga untuk mengatasi adalah dengan mengamankan dan memurnikan pelaksanaan konstitusi dan Pancasila. Dan tugas yang diberikan oleh surat perintah tersebut memang untuk mengamankan negara, bangsa dan konstitusi.

“Oleh karena itu sebagai tongkat dari langkah2 yang saya ambil, adalah melaksanakan kernurnian konstitusi,” kata Soeharto, “yang kemudian dapat saudara lihat dengan menggunakan Super Semar untuk membubarkan PKI.”

Tindakan penertiban selanjutnya yang diambil Soeharto adalah menghilangkan situasi konflik dengan landasan menjalankan kernurnian konstitusi.

“Sebenarnya bagi orang yang ambisius,” kata Soeharto, “bagi orang yang haus kekuasaan, tidak perlu demikian.”

Punya kekuasaan yang terbatas, kan bisa saja Bung Karno disepak, (Maksudnya diturunkan sebagai Presiden, red.).

Tapi ini pun bertentangan dengan konstitusi, padahal justru penyelewengan2 dari konstitusi yang harus kita betulkan. Dan kalau saya bertindak demikian, berarti saya pun rnenyeleweng dari konstitusi,” kata Soeharto.

Lewat Lembaga Konstitusi

Untuk mengatasi situasi konflik antara rakyat dan Presiden serta mengadakan koreksi sesuai dengan konstitusi, maka penyelesaiannya adalah harus melalui lembaga MPR(S).

Oleh karena itu langkah yang diambil adalah memanggil MPRS bersidang hingga rnelalui wakil2nya rakyat bisa menilai kebijaksanaan Presidennya. Begitulah berlangsungnya SU MPR(S) ke IV, dimana diminta pertanggungan jawab Presiden Sukarno tentang apa yang telah terjadi.

Sebagai Mandataris MPR(S) kepada Bung Karno diberi kesempatan untuk memberi pertanggunganjawab.

“Sebetulnya pada waktu itu, sebagai pemegang TAP IX (pengukuhan Super Semar, red.) saya tugaskan untuk menyusun kabinet. Tapi saya menolak,” kata Soeharto, “karena menurut konstitusi yang membentuk kabinet adalah Presiden. Akhirnya setelah ditugaskan menyusun kabinet bersama-sama dengan Presiden, barulah terbentuk Kabinet Ampera.”

Pada sidang Umum MPR(S) berikutnya (Sidang Istimewa, Red) ternyata Bung Karno tidak memberikan pertanggunganjawab hingga ia diberhentikan sebagai Mandataris, (Pidato Nawaksara tidak diterima MPR(S) sebagai pertanggungan jawab, red.) dan Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden, yang kemudian pada tahun berikutnya (1968) diangkat sebagai Presiden.

“Agaknya cara yang saya tempuh dalam mengatasi situasi konflik dan penggunaan Super Semar ini, juga menimbulkan kesan se-olah2 saya berlanggam alon2. Tapi memang inilah tuntutan konstitusi kita dan murnikan pelaksanaannya,” kata Soeharto.

”Walaupun Super Semar sudah dikukuhkan secara konstitusionil dengan TAP IX, yang sekaligus oleh SU MPR(S) waktu itu ditugaskan untuk menyusun kabinet, saya toh tidak mau langsung diangkat sebagai Presiden. Ini pun bisa menimbulkan kesan alon2, tapi jangan lupa,” kata Soeharto, “bahwa betapapun salahnya Bung Karno, masih saja ada rakyat yang mencintai beliau.”

“Sebetulnya tidak rasionil lagi bahwa masih ada rakyat yang mecintai Bung Karno yang telah membuat kesalahan2 yang menimbulkan malapetaka. Tapi secara rasionil kita pun harus mengakui bahwa masih ada kenyataan seperti itu. Dus kecuali kita memang harus mematangkan keadaan, juga saluran2 konstitusilah yang harus kita gunakan untuk mengatasi keadaan”.

Selalu Minta Petunjuk dan Perlindungan Tuhan YME

Berbeda dengan keadaan pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, keadaan menjelang 11 Maret 1966 dengan situasi konflik yang ada, memberi cukup waktu kepada Jendral Soeharto, disamping pertimbangan2 rasionil, juga katakanlah memohon petunjuk dan lindungan kepada Tuhan YME, menghadapi segala kemungkinan menerima tanggungjawab yang begitu berat dengan Super Semar.

Atas pertanyaan tentang hal ini, Presiden Soeharto menjawab, bahwa memang dalam setiap menghadapi keadaan sulit maupun bahagia beliau selalu meminta perlindungan dan petunjuk Tuhan YME.

“Bagi saya yang sudah melihat perkembangan keadaan sejak 1956, apa yang terjadi waktu itu bukanlah merupakan kejadian yang khusus dan tidak terduga. Bahwa saya sudah menyampaikan adanya kemungkinan2 langkah PKI ini kepada Bung Karno,” Kata Soeharto.

Sebuah cerita dari mulut ke mulut yang sempat beredar waktu itu mengatakan, bahwa dalam sidang2 kabinet maupun pertemuan2 lain dengan Bung Karno, Jendral Soeharto dikatakan sering tidak pernah mau duduk walaupun kursi sudah disediakan. Bahkan hal ini juga disangkutpautkan dengan ketidakhadirannya pada sidang kabinet tanggal 10 Maret 1966.

Atas pertanyaan tentang hal ini, Presiden Soeharto menjelaskan, bahwa:

“Saya kira penilaian seperti itu datang dari orang yang ingin menggambarkan kepada rakyat, bahwa saya se-olah2 telah bersikap tidak sopan terhadap Bung Karno, terhadap orang tua, ditinjau dari persamaan ketimuran. Padahal seperti saya katakan tadi, betapapun juga salahnya Bung Karno, masih banyak rakyat yang mencintainya, hingga setiap sikap yang tidak sopan terhadapnya menurut perasaan ketimuran, akan mengurangi simpati rakyat. Dus cerita2 seperti ini sebetulnya sengaja dilemparkan untuk menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap saya dan menimbulkan antipati. Sebagai orang Timur, tak mungkin saya bersikap seperti itu”.

“Memang,” demikian Soeharto melanjutkan, dalam rangka diskusi dengan Bung Karno yang juga disaksikan oleh Panglima2 Angkatan, saya selalu bicara terus terang, bahwa tidak jarang sampai otot2an, tapi tetap dalam suasana dimana sikap ketimuran tidak ditinggalkan, sambil gelak tertawa, malah jadi tidak benar bahwa saya tidak menghormati Bung Karno sebagai orang tua, apalagi menunjukkan sikap angkuh, karena saya sejak kecil sudah dididik untuk taqwa kepada Tuhan, hormat kepada orang tua dan guru, apalagi waktu itu Bung Karno masih sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Jadi bila ada cerita semacam ini, itu adalah hanya untuk menarik opini masyarakat, bahwa Jendral Soeharto sudah bersikap yang bertentangan dengan adat ketimuran, dan kini setelah berkuasa dan dipercaya, justru bersikap tidak hormat kepada orang tua.

Tentang Pembangunan

Wawancara khusus yang untuk pertama kalinya diadakan “Suara Karya” dengan Presiden Soeharto ini, agaknya akan terasa kurang lengkap tanpa menyinggung masalah pembangunan. Tahun takwin ini merupakan tahun terakhir Pelita I.

Atas pertanyaan, bagaimanakah evaluasi beliau tentang Pelita I dan bagaimanakah seharusnya Pelita2 selanjutnya, Presiden menjawab, bahwa seperti telah sering beliau kemukakan, Pelita I ini harus menjadi landasan bagi Pelita berikutnya, Pelita II, III, IV dan seterusnya, hingga pada akhirnya berhasil menciptakan kondisi sebagai landasan yang baik bagi tercapainya masyarakat adil dan makmur melalui pengembangan industri dengan dukungan pertanian. Ini jangka jauh, kata Presiden.

Pelita I dimulai dengan pertanian yang didukung industri, sedangkan landasan yang sebaiknya adalah industri yang didukung pertanian. Dengan demikian kita harus mengembangkan pertanian terus menerus, sedangkan industri harus ditingkatkan, hingga sampai pada keadaan dimana industri menonjol dengan pertanian sebagai pendukung. Ini berarti dalam pengembangan industri, kita mulai dengan industri yang mendukung pertanian, industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, bahan baku menjadi bahan jadi, untuk kemudian meningkat pada industri mesin2. lnilah yang harus kita lakukan secara bertahap.

Apa Rahasia Suksesnya

Sesudah Jerman Barat terkenal dengan “keajaiban” ekonominya dan Jepang dengan kepulihannya yang begitu mengagumkan dunia, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemerintahan Soeharto juga berhasil menciptakan keajaiban ekonomi dengan pembangunan2 yang dilakukannya. Dalam hubungan ini atas pertanyaan, disamping pragmatisme yang sudah diketahui umum, kerjasama dengan kaum tehnokrat dan sebagainya, rahasia apakah yang ada dibalik sukses itu. Presiden katakan, bahwa rahasia itu sebenarnya tidak ada.

“Yang ada,” kata Presiden, “adalah tekad bulat untuk mengerahkan segala potensi yang ada untuk melaksanakan pembangunan. Dengan dukungan semua pihak, potensi yang ada itu dapat kita gunakan. Ini berarti pula kita berusaha membangun sesuai dengan kemampuan, hingga ada keseimbangan antara keinginan dan kemampuan. Dus keinginan yang besar saja tanpa adanya kemampuan atau kemampuan itu terbatas hingga tidak memungkinkan ditentukannya tahapan2 sasaran untuk mewujudkan keinginan dengan sendirinya pembangunan yang kita lakukan takkan berhasil.”

Dengan ketawanya yang berderai Presiden Soeharto menambahkan: “Lha, disini lagi berlaku pepatah alon2, tapi kelakon. Ini berarti menilai dan mengenai kemampuan, mengetrapkan kemampuan itu dan nrimo sasaran yang bisa dicapai. Bila tidak nrimo ya itu, kebat kliwat tadi”. Jadi kembali falsafah “alon2 waton kelakon” tadi jangan diambil segi negatifnya, kata Presiden. Kebat kliwat, ingin cepat tapi keliwat, bahkan bisa masuk jurang.

Jangan Menyimpang dari Konstitusi

Pada akhirnya sebagai penutup wawancara khususnya dimana Presiden juga didampingi oleh Sekretaris Negara Sudharmono SR, Sekretaris Militer/Aspri Presiden Bidang Keamanan Mayjen Tjokropranolo dan Kepala Dokumentasi dan Mass Media Sekneg, Drs.G. Dwipajana tentang pesan2 yang mungkin disampaikan dalam hubungan dengan peristiwa 11 Maret ini.

Presiden mengulangi, bahwa Super Semar hanya satu kali beliau gunakan.

“Oleh karena cita2 kita adalah berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara, maka setiap langkah jangan bertentangan dengan konstitusi. Hal ini selalu saya pegang teguh,” kata Presiden.

“Landasan sudah ada, dan dalam setiap langkah yang kita ambil, jangan sampai menyimpang dari itu. Dalam melaksanakan pembangunan pun kita hams tetap berpegang pada konstitusi, hingga jangan sampai ada tradisi yang menodai sejarah kita. Dan itu telah saya buktikan”, kata Presiden, serta menegaskan bahwa selama landasan itu belum kita robah, kita akan tetap berpegang teguh pada landasan tersebut. (DTS)

Sumber: SUARA KARYA (12/03/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 275-287.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.