Memahami Falsafah Hidup Pak Harto[1]
—Bagian 2: Dinamika Rakyat Kecil—
Oleh:
Abdul Rohman
Sebelum garis takdir mengantarkanya menjadi Presiden sebuah negara besar dan multi kultural yang bernama Indonesia, Pak Harto ditempa dan berdialektika secara langsung dengan pergumulan kesulitan hidup masyarakat bawah pedesaan. Tanggung jawab macam apa yang harus dilakukan ketika dipercaya menjadi Presiden, dielaborasi dari pengalaman riilnya ketika hidup bersama masyarakat bawah pada masa kecil. Ia memahami dinamika hidup masyarakat bawah bukan hanya dari teori atau pendapat para pembantu dan penasehat-penasehatnya saja, melainkan dari apa yang ia rasakan sendiri. Pak Harto tidak hanya mengetahui kesulitan-kesulitan hidup masyarakat bawah, akan tetapi juga pernah merasakan pahit getirnya kehidupan masyarakat bawah. Ia tidak hanya mengetahui adanya tekanan hidup yang dialami masyarakat bawah, akan tetapi juga menjiwai suasana kebatinan masyarakat kecil dengan segala tekanan hidup dan faktor-faktor penyebabnya.
Menelusuri penuturan masa kecilnya dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, dapat kita ketahui pada aspek-aspek apa saja perinteraksian mendalam dengan dinamika masyarakat kecil itu dialami oleh Pak Harto. Melalui buku itu, ia mengisyaratkan menyimpan memori yang amat kuat seputar permasalahan dinamika rakyat bawah pada saat bergumul dengan petani desa, bekerja sebagai pembantu klerek bank desa (volks bank) dan menyaksikan keluh kesah berbagai lapisan masyarakat yang mengadukan permasalahan kepada sosok kyai sufistik sekaligus konsultan masyarakat Kyai Daryatmo[2]. Memori dinamika rakyat kecil juga diperolehnya ketika masa-masa revolusi fisik, dimana masyarakat bawah —dengan segala tekanan hidup yang dialaminya— secara sukarela berpartisipasi menjadi penyangga ketahanan logistik para pejuang kemerdekaan.
Pengalaman hidup pada saat bergumul dengan para petani desa telah menjadi referensi dalam menemukan permasalahan-permasalahan mendasar terwujudnya ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia. Petani merupakan ujung tombak terdepan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Menyelesaikan problematika yang dihadapinya sama artinya dengan meletakkan dasar yang kokoh bagi ketahanan pangan bangsa. Pengalaman menjadi pembantu klerek sebuah volks bank juga mengantarkanya untuk memahami beban keuangan keluarga serta permasalahan penyediaan permodalan usaha bagi rakyat kecil. Begitu pula pergumulannya dengan berbagai keluh kesah masyarakat yang diadukan kepada Kyai Daryatmo. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi seperti kalangan terpelajar, pedagang, pegawai, petani hingga para pedagang kecil yang meminta Kyai Daryatmo untuk membantu mengurai permasalahan hidup yang dihadapinya. Dari sana Pak Harto memahami berbagai tekanan permasalahan hidup yang dihadapi masyarakat bawah hingga para pejabat dan kalangan terpelajar.
Pemahaman dan penjiwaan mendalam terhadap berbagai permasalahan tekanan hidup masyarakat itu menjadi sumber inspirasi dan pendorong bagi Pak Harto untuk mengalokasikan seluruh energi hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia. Komitmen Pak Harto untuk mewujudkan kesejahteraan umum terungkap melalui statemen tanpa teks pada saat peresmian pembukaan pembangunan Pasar Klewer Solo pada tanggal 9 Juni 1971 (satu bulan sebelum pemilu 3 Juli 1971)[3]. Komitmen itu akhirnya dikenal sebagai “statemen politik pembangunan” oleh para pembantu-pembantu terdekatnya. Statemen yang diungkapkan secara datar itu sebenarnya memiliki bobot sebagai “sumpah” dari sosok kesatria nusantara yang tidak tega melihat keluarga besarnya (rakyat Nusantara) terjebak dalam kubangan penderitaan dan tekanan hidup paska kemerdekaan. Tidak berbeda dengan Perdana Menteri Majapahit yang bertekad mempersatukan kembali keluarga besar nusantara dalam naungan koordinasi kekaisaran Majapahit setelah dijumpainya kenyataan bahwa keluarga besar Nusantara tercerai berai. Melihat tekanan dan penderitaan hidup rakyat Nusantara, Pak Harto tergerak hatinya dan terbakar tekadnya untuk secara sungguh-sungguh memanfaatkan jembatan emas kemerdekaan —yang dirintis para pendahulunya— dengan melakukan pembangunan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Menurutnya, masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan pembangunan di segala bidang. Keadilan dan kemakmuran bangsa dapat diwujudkan melalui pembangunan yang seimbang antara sektor industri dan agraria. Sebuah fakta bahwa sejak kemerdekaan, energi bangsa banyak dihabiskan untuk konsolidasi politik. Untuk itu saatnya bangsa Indonesia mengalokasikan segenap energinya untuk membangun dan menyingkirkan berbagai kendala penghambat pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat.
Selain motivasi panggilan nurani manakala menyaksikan tekanan hidup dan penderitaan rakyat, komitmen Pak Harto untuk mendorong pembangunan juga memiliki keterkaitan dengan eksistensi peradaban Nusantara. Menurutnya, sebuah Negara akan diliputi kesuraman apabila tidak mampu menyediakan kesejahteraan bagi warganya. “Negara akeh pepeteng, jalaran kurang sandang kurang pangan lan penguwasa datan darbe watak ber budi bawa leksana, tur ora ana janma kang handana warih, ing kono negara bakal dikuasai dhemit lan banaspati” (kehidupan negara akan gelap gulita, apabila kurang sandang kurang pangan dan penguasanya tidak berjiwa besar dan berhati mulia; lagi pula tidak ada orang yang mampu mewujudkan kesejahteraan, disitu negara akan dikuasai oleh dhemit dan banaspati[4])[5]. Apabila negara terus diliputi kekacauan, maka bangunan peradaban Nusantara —yang telah dibangun berabad-abad dan direbut kembali kedaulatannya melalui proses perjuangan kemerdekaan yang panjang— tidak bisa ditegakkan. Negara yang kuat juga ditopang oleh rakyat yang kuat dan sejahtera. “Kawula iku minangka tamenging Negara, samangsa ana panca baya” (rakyat itu merupakan perisainya Negara manakala ada bahaya)[6]. “Negara bisa tentrem lamun murah sandhang kalawan pangan, marga para kawula padha seneng nyambut karya, lan ana panguasa kang darbe sifat berbudi bawaleksana” (Negara itu dapat tenteram kalau murah sandang pangan, sebab rakyatnya gemar bekerja dan ada penguasa yang mempunyai sifat adil dan berjiwa mulia)[7]. Maka upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat pada dasarnya merupakan upaya menegakkan eksistensi negara itu sendiri.
Merupakan sebuah fakta bahwa selama 20 tahun sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia disibukkan oleh agenda rekonsiliasi nasional. Suatu tantangan berat apabila dilihat dalam perspektif ukuran negara, kondisi geografis yang rumit, populasi yang besar maupun keragaman budaya, etnik, bahasa, dialek dan agama. Selama rentang waktu 20 tahun itu bangsa Indonesia dilanda konflik internal termasuk pertikaian partai-partai politik, masalah ekonomi dan pemberontakan dalam masyarakat non konsensus (masyarakat yang belum berorientasi pada satu idiologi kebangsaan). Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain pemberontakan PKI Muso Madiun (1948), DI/TII Kartosoewiryo (1949-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), Republik Maluku Selatan (1950-1963), PRRI/Permesta (1957-1961) dan G 30-S PKI (1965). Akibat semua itu bangsa Indonesia menghadapi masalah kelangkaan persediaan bahan pokok, hiperinflasi, kerusakan infrastruktur yang parah dan banyaknya pengangguran[8].
Kemurnian motif dan kekuatan tekad Pak Harto untuk membangun —yang didasarkan pada kedalaman pemahaman tentang hakekat hidup, hakekat kenusantaraan dan penjiwaannya pada problematika hidup masyarakat kecil— pada akhirnya menjadi magnet bagi keterlibatan seluruh komponen bangsa dengan memberikan dukungan penuh terhadap agenda-agenda pembangunan yang dicanangkannya. Pada saat kemunculannya dalam kancah kepemimpinan nasional, Pak Harto merupakan sosok visioner yang memang diperlukan untuk mengatasi keadaan. Ia tidak hanya memiliki visi yang kuat, akan tetapi juga memiliki road map (agenda yang jelas) dan sembodo[9] dengan melakukan ikhtiar secara sungguh-sungguh mewujudkan visi dan road map itu.
Kemurnian visi, kejujuran tekad dan kesungguhan tanggung jawab —yang diletakkan pada kondisi faktual kebutuhan riil bangsa dan masyarakat Indonesia— itu menjadi energi mestakung[10] yang telah melempar Pak Harto pada altar kepemimpinan tertinggi bangsa Indonesia. Kemurnian visi, kejujuran tekad dan kesungguhan tanggung jawab itu juga menjadi jawaban atas pertanyaan “kenapa Pak Harto dipercaya oleh rakyat untuk memimpin Indonesia dalam jangka waktu yang panjang?”.
Hal kontradiktif dapat kita saksikan pada era reformasi. Orientasi kepemimpinan bangsa telah banyak bergeser kedalam motif-motif pragmatis. Maraknya indikasi money politics (politik uang) dalam rekruitmen kepemimpinan (pemilu legislatif, pemilu kepala daerah dan pemilu presiden serta jabatan-jabatan strategis) merupakan indikasi kuat adanya pergeseran orientasi kepemimpinan. Proses politik untuk rekruitmen kepemimpinan telah ditarik dari ranah publik (untuk tujuan kemajuan seluruh elemen bangsa) keranah privat (kepentingan pribadi-pribadi). Transaksi antara calon pemimpin dengan rakyat —sebagai pemegang saham negara dan bangsa Indonesia— bukan lagi terletak pada kemurnian visi, road map yang base on reality (memiliki landasan pijak yang kuat dengan kebutuhan riil masyarakat) serta kekuatan tekad untuk mewujudkannya. Pola relasi antara pemimpin dan rakyat pada era reformasi digantikan dengan transaksi sejumlah materi tertentu dan menomorduakan dialektika program. Apabila transaksi yang bersifat material telah dipenuhi, para pemimpin terpilih tidak jarang melepaskan diri dari tanggung jawab kepemimpinan dengan jalan menyibukkan diri dalam skenario politik citra ataupun politik kesan. Para pemimpin tidak jarang membangun argumentasi-argumentasi yang bersifat klise dengan menyalahkan kebijakan/ pemimpin sebelumnya hanya untuk menutupi inkompetensi dirinya.
Degradasi kemurnian motif kepemimpinan pada masa reformasi[11] telah mengantarkan bangsa Indonesia kedalam kancah dialektika pembangunan yang kaya ide, kaya kebijakan dan kaya program akan tetapi miskin prestasi. Pragmatisme level-level pemegang kepemimpinan di Indonesia (mulai dari pusat hingga daerah) telah menyebabkan terjadinya pemborosan atau in-efisiensi anggaran pembangunan. Tidak sedikit aplikasi program pembangunan hanya mampu memenuhi “standar manajemen keproyekan[12]”, namun tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya hendak diselesaikan.
Degradasi kemurnian motif kepemimpinan pada masa reformasi dapat disebabkan oleh rendahnya pemahaman terhadap hakekat hidup, hakekat kepemimpinan, hakekat kenusantaraan dan penjiwaannya terhadap problematika hidup masyarakat kecil. Kepemimpinan yang esensinya amanah (kepercayaan) telah bergeser sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Begitu pula keberadan masyarakat kecil, seringkali tidak secara sungguh-sungguh dijadikan sebagai sumber motifasi dan sumber inspirasi dalam perumusan kebijakan. Masyarakat kecil lebih banyak diperlakukan dalam skenario program charity[13] dan bukan kebijakaan pemberdayaan. Sedangkan para pemimpin seringkali terbuai untuk dapat memperoleh kemanfaatan pribadi dalam struktur elit pelaku ekonomi pasar[14].
Terlepas adanya pergeseran iklim perekonomian dunia, kebijakan ekonomi pasar nyaris tanpa batas yang dianut oleh pemerintahan reformasi merupakan bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat bawah. Berbeda dengan kepemimpinan Pak Harto yang secara konsisten menerapkan kebijakan ekonomi pasar terkelola. Kebijakan Pak Harto ini diletakkan dalam kerangka berfikir bahwa rakyat kecil harus diberikan perlindungan dari persaingan pasar yang tidak sehat dan tidak memihak. Pak Harto memahami sepenuhnya, bahwa esensi pembangunan adalah kesejahteraan seluruh rakyat. Terlebih lagi rakyat merupakan perisai terakhir bagi eksistensi sebuah negara, manakala alat-alat negara tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara baik. Dalam perspektif itu, membiarkan rakyat kecil tanpa perlindungan —melalui kebijakan-kebijakan yang memihak— sama artinya merobohkan satu pilar penting tegaknya sebuah negara.
***
[1] Disarikan dari Buku “Politik Kenusantaraan”
[2] G. Dwipayana & Ramadan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Kharisma Bunda, 1989), hlm 6 s/d 18.
[3] Pemilu pertama yang mengantarkan Pak Harto duduk dalam kursi kepresidenan
[4] Dhemit dan banaspati merupakan simbul-simbul keangkaramurkaan atau bentuk-bentuk mentalitas tidak beradab (un-civilized).
[5] Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik, (Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 124.
[6] Ibid, hlm 112.
[7] Ibid, hlm 108.
[8] Sri Hadi, Mengenang Prestasi Ekonomi Indonesia 1966-1990-an, (Jakarta: UI Press, 2006), hlm 4-6
[9] Memiliki konsistensi antara visi yang di gagas dengan kesungguhan tanggung jawab dalam mewujudkannya.
[10] Semesta mendukung. Artinya keberadaanya memperoleh dukungan segenap penghuni alam raya, sehingga mampu melewati atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar.
[11] Fenomena itu setidaknya dapat disaksikan dengan jelas hingga 10 tahun perjalanan reformasi.
[12] Proyek terlaksana dengan memenuhi syarat-syarat administrasi yang ditetapkan.
[13] Program yang esensinya menempatkan masyarakat kecil sebagai obyek santunan.
[14] Ekonomi pasar nyaris tanpa kendali merupakan idiologi kebijakan ekonomi pada era reformasi. Kebijakan ini dinilai banyak pihak lebih banyak menguntungkan pelaku ekonomi raksasa/asing dan menyudutkan masyarakat kecil.