Memahami Falsafah Hidup Pak Harto (4)[1]
— Tanggung Jawab Kepemimpinan—
Oleh:
Abdul Rohman
Transformasi kenusantaraan yang diperoleh Pak Harto melalui para leluhurnya tentunya juga menyangkut aspek-aspek tanggungjawab kepemimpinan. Salah satu ukuran kepemimpinan yang baik bukan terletak pada kemampuan dan kesediaannya memenuhi semua keinginan masyarakat. Salah satu tanggung jawab kepemimpinan yang baik adalah kemampuannya membersihkan unsur-unsur keburukan yang ada dalam masyarakat setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya pembinaan. Unsur-unsur keburukan yang berkembang dalam masyarakat merupakan virus yang apabila dibiarkan akan menjadi penghambat terbentuknya peradaban yang baik. “Yen wong becik kang kuwasa, kabeh kang ala didandani lamun kena, dene yen ora kena, disingkirake mundhak nulari (cuplak andheng-andheng)”, (Kalau orang baik yang berkuasa, maka semua yang jelek kalau dapat diperbaiki, sedangkan kalau tidak dapat, maka harus disingkirkan, ‘agar tidak menular kejelekannya’). Kontroversi terhadap sikap tegas Pak Harto dalam menangani para penjahat (gali-gali) yang kemudian populer disebut dengan kebijakan “penembakan misterius” atau Petrus dapat dijelaskan dengan cara pandang diatas.
Sikap tegas yang ditunjukkan Pak Harto —contohnya dalam kasus Petrus— sering disalahpahami dan dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk tindakan otoriter. Sejumlah kalangan menilai tindakan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena melakukan eksekusi terhadap para penjahat tanpa melalui proses peradilan. Dalam permasalahan tersebut Pak Harto mengungkapkan bahwa tindakan tegas kepada para penjahat itu sebenarnya bukanlah tindakan misterius, karena dilakukan oleh alat negara yang resmi. Kebijakan itu juga diambil dalam menghadapi gangguan ketentraman masyarakat yang sudah melampaui batas. Sebagai contoh adalah maraknya ancaman perampokan, pembunuhan, pencurian, maupun pemerkosaan. Modus kejahatan dalam masyarakat juga semakin keterlaluan seperti perampokan disertai pembunuhan dan pemerkosaan anggota keluarga, didepan mata anggota keluarga yang dirampok. Dalam situasi seperti itu pemerintah harus melakukan tindakan tegas. Pemerintah mendeklarasikan perang melawan penjahat dengan melakukan pengejaran terhadap para gali, perampok, pemerkosa, pencuri maupun pembunuh. Bagi para penjahat yang melakukan perlawanan dan tidak bisa ditangkap hidup-hidup —untuk diadili—, aparat melakukan tembak di tempat. Terkadang mayat penjahat yang ditembak itu ditinggalkan di jalanan sebagai shock therapy, dalam rangka menumbuhkan efek jera sosial sehingga tidak ada yang berani melakukan kejahatan[2].
Kebijakan Pak Harto tersebut tentu tidak keliru, termasuk dalam perspektif penegakan HAM. Perang melawan kejahatan seperti perang melawan narkoba, perang melawan teoris, gerombolan pencuri maupun bentuk-bentuk kejahatan lain merupakan kebijakan yang lazim dilakukan di negara-negara modern seperti halnya Amerika Serikat maupun Eropa. Proses peradilan selalu menuntut adanya bukti formal. Sedangkan modus operadi kejahatan semakin canggih dan dalam beberapa kasus sangat sulit dilakukan pembuktian formal. Aparat penegak hukum di lapangan juga perlu diberikan perlindungan atas tindakannya dalam melakukan pengejaran terhadap para penjahat. Keragu-raguan aparat hukum di lapangan akan menyebabkan nyawa penegak hukum itu sendiri menjadi taruhan. Minimnya perlindungan terhadap aparat hukum akan menyebabkan perang melawan penjahat menjadi lembek dan kejahatan akan terus merajalela.
Sebagai contoh adalah lemahnya perlindungan pada aparat hukum pada era reformasi yang tindakannya seringkali disudutkan dalam perspektif HAM. Penggunaan argumentasi HAM secara membabi buta telah menimbulkan keragu-raguan bagi aparat hukum untuk bertindak. Akibatnya fenomena kejahatan marak terjadi dalam tubuh masyarakat. Berbagai media ramai memberitakan kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan, perampokan dan yang lebih mengerikan lagi kasus-kasus tersebut juga dilakukan oleh elit penyelenggara negara[3].
Kebijakan tegas dalam menumpas pelaku kejahatan tersebut tampaknya dilatarbelakangi oleh cara pandang Pak Harto mengenai tanggung jawab dirinya sebagai penguasa tertinggi di negeri ini. Ia harus melindungi dan membersihkan para warganya dari perilaku-perilaku jahat sebagian orang. Ia berani menanggung resiko —atas jerih payah aparat keamanan dibawahnya dalam memberantas kejahatan— dengan menarik tanggung jawab pada dirinya walaupun harus dituduh sebagai penguasa otoriter dan pelanggar HAM. Atas ketegasan dan keberanian itu, masyarakat Indonesia tidak lagi diliputi cekaman rasa takut terhadap para perampok, gali, preman dan pelaku kejahatan sejenisnya karena mempercayai para penyelenggara negara tidak akan tinggal diam.
Adapun kritikan yang datang dari sejumlah kalangan terhadap kebijakan Pak Harto dalam penanganan para penjahat dimungkinkan oleh adanya pandangan ideal, keterkaitan emosional dan motif politik. Pertama, merupakan sudut pandang ideal teori penegakan hukum dari kalangan teoritisi dan akademisi. Mereka lupa bahwa konsepsi ideal itu tidak mesti dapat digeneralisasi kedalam semua situasi dan kondisi. Sebagai bukti adalah upaya idealisasi proses penegakan hukum pada era reformasi yang selalu kalah cepat dengan perkembangan modus operandi pelaku kejahatan. Maraknya perilaku kejahatan tidak diimbangi dengan tingkat kecepatan para aparat untuk mengungkapnya. Akibatnya berbagai bentuk kejahatan selalu terulang dan sulit dikendalikan. Kedua, adanya keterkaitan emosional sejumlah kalangan terhadap para pelaku kejahatan. Adanya keterkaitan tersebut menjadikannya melakukan pembelaan atas nama HAM. Ketiga, adanya latar belakang politik dengan menggunakan kasus tersebut untuk menyudutkan kepemimpinan Pak Harto. Namun semua itu tereliminasi oleh pengakuan masyarakat Indonesia, khususnya grassroot, bahwa Pak Harto dinilai lebih berhasil dalam menciptakan keamanan masyarakat.
Selain komitmen perang terhadap pelaku kejahatan, Pak Harto juga menekankan “politik karya” bagi masyarakat dan disiplin kepemimpinan pada semua level penyelenggara negara. “Negara bisa tentrem lamun murah sandhang kalawan pangan, marga para kawula pada seneng nyambut karya, lan ana penguasa kang darbe sifat berbudi bawaleksana” (Negara itu dapat tenteram apabila murah sandang pangan sebab rakyatnya gemar bekerja dan ada penguasa yang mempunyai sifat adil dan berjiwa mulia). Pak Harto menyadari sepenuhnya bahwa seorang pemimpin harus mampu merumuskan agenda yang jelas bagi tumbuhnya kreatifitas masyarakat dalam skala kebangsaan. Ketidakmampuan seorang pemimpin dalam merumuskan road map akan menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat yang saling berebut untuk meneguhkan eksistensinya masing-masing. Begitu pula bagi pimpinan puncak penyelenggara negara tatkala tidak ditopang oleh kepemimpinan yang kompeten di lapangan. Esksistensinya akan terdelegitimasi oleh inkompetensi dan kesungguhan para pelaksana lapangan.
Untuk membangkitkan kreatifitas positif bagi segenap masyarakat, Pak Harto menekankan perlunya “politik karya”. Semua warga Indonesia didorong mengalokasikan energinya untuk pembangunan di segala bidang dan segala level kehidupan. Sebagai panduan arah pembangunan, maka dirumuskan rencana pembangunan lima tahun dan Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN). Dalam hal penyediaan kualitas pimpinan lapangan, Pak Harto bertindak cepat manakala terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara yang ada dibawahnya. Kedua hal tersebut mendorong gairah masyarakat untuk melakukan partisipasi pembangunan menurut kemampuan dan wilayahnya masing-masing.
Fenomena pada era reformasi adalah kesenjangan antara orientasi pembangunan pada tingkat pusat dan daerah. Pusat dan daerah terbelah dalam agendanya sendiri-sendiri tanpa upaya sinkronisasi satu sama lain secara baik. Akibatnya tidak sedikit dijumpai letupan-letupan keberhasilan —dalam kasus-kasus dan daerah tertentu—, namun semua potensi bangsa tidak cukup efektif dikonsolidasi dalam kesatuan gerak percepatan kepentingan makro pembangunan. Begitu pula dalam penyelesaian kasus-kasus penyelewengan aparatur negara —khususnya kasus-kasus korupsi pimpinan daerah— seringkali berlarut-larut. Akibatnya proses pembangunan daerah tersendat-sendat dan kepentingan rakyat banyak tidak jarang terbengkalai dalam waktu panjang. Proses pembangunan pada era reformasi tidak bisa dikonsolidasi kedalam kesatuan gerak linear melainkan sering terhenti oleh sebab-sebab yang sebenarnya bisa diantisipasi[4].
“Politik karya” dalam skala kebangsaan memiliki kaitan erat dengan ketentraman negara. Politik karya pada esensinya merupakan upaya menciptakan lingkungan atau atmosfer bagi tumbuhya kreatifitas masyarakat dalam menciptakan prestasi-prestasi positif dalam kehidupannya. Produktifitas positif masing-masing warga akan menjadi jembatan dalam mewujudkan ketentraman hidup, baik dalam skala pribadi masing-masing warga maupun dalam skala negara. Energi setiap warga dapat dihindarkan dari kreatifitas negatif yang dapat merugikan warga lainnya maupun negara. “Ing wektu akeh wong kang seneng uripe marga panggautane akeh pametune, ing kono negara bisa tentrem, ora ono wong colong jupuk darbeking negara” (pada saat banyak orang senang hidupnya karena hasil kerjanya banyak, disitu negara tenteram, tidak ada orang yang mengambil atau mencuri kepunyaan negara)[5].
Politik karya tidak bisa diterapkan secara asal-asalan dengan menempatkan rakyat hanya sebatas obyek pasif. Seorang pemimpin harus mampu melakukan pemetaan persoalan dengan menyelami dan memahami suasana kebatinan masyarakatnya. Pada tahap berikutnya, seorang pemimpin dituntut mampu melakukan elaborasi suasana kebatinan tersebut kedalam sebuah kebijakan tepat. “Ratu iku durung mesti kepenak uripe, lamun ora bisa ngaweruhi kawulane” (Pemimpin itu belum tentu enak hidupnya/ disandera oleh beban kepemimpinanya manakala tidak mampu mengetahui aspirasi rakyatnya)[6]. Melalui cara berfikir tersebut dapat kita mengerti kenapa Pak Harto mengawali pembangunan melalui tahapan pembangunan pertanian, setelah sebelumnya menetapkan kebijakan stabilitas keamanan dalam masyarakat. Hasil inward looking (pemetaan persoalan dengan menyelami dan memahami suasana kebatinan masyarakat) menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia memiliki latar belakang sebagai petani dan hidup dalam kultur agraris. Potensi tersebut tidak mampu mensejahterakan rakyat karena dalam beberapa dekade terakhir, rakyat Indonesia dihantam konflik horizontal yang tidak kunjung usai.
Setelah menetapkan kebijakan dalam masalah stabilitas, sektor pertanian merupakan sektor prioritas dalam pembangunan Indonesia. Penguatan sektor pertanian juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa salah satu kekuatan negara bertumpu pada kemampuannya dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahap berikutnya pembangunan usaha pertanian dikolaborasikan dengan pembangunan industri yang mendukung usaha pertanian, pembangunan industri teknologi tinggi dan pembangunan sektor jasa tanpa meninggalkan usaha-usaha pertanian. Strategi tersebut ternyata efektif untuk mendorong Indonesia mencapai swaswembada pangan dan secara perlahan-lahan juga berhasil dalam melakukan pembangunan sektor industri.
Setelah infrastruktur pembangunan dalam negeri diperkuat dan didukung oleh stabilitas —dalam rangka menumbuhkan kegairahan kreatifitas positif seluruh warga— langkah Pak Harto selanjutnya adalah memperkuat peran strategis Indonesia dalam pergaulan regional maupun internasional. Kemanfaatan ekonomi yang diperoleh Indonesia dalam hubungan Internasional —misalnya hubungan dagang antar negara— banyak diraih melalui peran strategisnya dalam turut serta mewujudkan perdamaian dunia dalam skala regional maupun internasional. “Negara kuwat, iku amarga kawulane seneng uripe lan disuyudi dening liyan Negara” (Negara itu kuat kalau rakyatnya senang hidupnya dan dihormati oleh negara lain)[7].
Pola hubungan antar negara tidak semata-mata dibalut oleh semangat pragmatis kepentingan perdagangan. Relasi antar negara dibangun atas dasar kesamaan motivasi dalam mewujudkan ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan bersama. Hal itu menjelaskan kenapa pada kepemimpinan Pak Harto, Indonesia memiliki wibawa dihadapan bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia. Kekuatan motif dan tekad untuk turut serta mewujudkan tata dunia baru yang tertib, damai dan sejahtera telah mengantarkan Indonesia menjadi negara yang disegani. Kewibawaan tersebut justru tidak diperoleh dari latar belakang superioritas ekonomi maupun militer, sebagaimana eksistensi Amerika Serikat maupun Jepang yang disegani karena dua faktor tersebut.
Perspektif inward looking (pemetaan persoalan dengan menyelami dan memahami suasana kebatinan masyarakat) yang dilakukan Pak Harto itu tampaknya dapat memberikan penjelasan, kenapa pembangunan pada era reformasi mengalami ketersendatan. Selain oleh faktor-faktor sosial politik yang sering mengganggu, kebijakan pembangunan pada era reformasi dilakukan dalam perspektif outward looking (mengacu model/konsepsi kebijakan di negara-negara barat) dan kurang diiringi pemetaan yang mendalam terhadap permasalahan mendasar yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia. Hal itu dibuktikan dari kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih banyak bertumpu pada ekonomi makro dan kurang dapat menumbuhkan sektor riil.
***
[1] Disarikan dari Buku “Politik Kenusantaraan”
[2] G. Dwipayana & Ramadan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Kharisma Bunda, 1989), hlm 389 s/d 390.
[3] Sebagaimana terjadi dalam kasus Pembunuhan Nasrudin, Direktur anak Perusahaan RNI.
[4] Oleh konflik politik dan konflik sosial berkepanjangan maupun konflik-konflik peraturan perundang-undangan antar satu peraturan dengan peraturan yang lain sehingga tidak terdapat ketegasan treatmen dalam menentukan arah pembangunan.
[5] Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik, (Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 122.
[6] Ibid
[7] Ibid