Presiden di Taman Fatahillah :
DENGAN MEMBAIKNYA KEHIDUPAN EKONOMI KITA BERALIH KE PEMBANGUNAN SOSBUD [1]
Jakarta, Pelita
Dengan membaiknya kehidupan ekonomi Indonesia sekarang, maka kini beralih untuk menangani pembangunan di bidang sosial budaya.
Meskipun biaya untuk itu sangat terbatas namun dari tahun ke tahun anggarannya makin besar.
Hal tersebut dikemukakan oleh Presiden Soeharto semalam dalam sambutannya pada peresmian pembukaan Balai Seni Rupa Jakarta dan Pameran se-Abad Seni Rupa Indonesia di Gedung ex Kantor Walikota Jakarta Pusat Jl. Taman Fatahillah.
Upacara peresmian gedung tersebut menjadi Balai Seni Rupa Jakarta dihadiri oleh Ny. Tien Soeharto, Wakil Presiden Hamengkubuwono IX, Menteri Sesneg Sudharmono, Ketua dan Wakil Ketua DPRD DKI, para seniman dll.
Presiden mengutarakan ia sangat menghargai usaha Pemerintah2 Daerah khususnya Pemda DKI dalam menangani bidang sosial budaya ini. Telah banyak yang diusahakan DKI dalam hal ini seperti pembangunan Gelanggang2 Remaja. Kampus Mahasiswa dsb.
Sekarang ditambah lagi dengan diresmikannya Balai Seni Rupa Jakarta ini, akan dapat mendorong perkembangan kehidupan seni rupa di Ibukota yang mempunyai penduduk beraneka ragam.
Bukan Untuk Orang Berada Saja
Menurut Presiden perkembangan seni rupa baik tradisionil maupun modern harus terus dibina agar ia tidak terpengaruh oleh kebudayaan asing. Untuk itu harus dibangun kebudayaan yang berkepribadian nasional. Sebab karya seni bukan hanya untuk orang2 berada saja tetapi rakyat banyak juga berhak menikmatinya, katanya.
Dengan diresmikannya Balai Seni Rupa Jakarta ini, oleh Presiden ditekankan agar para seniman Indonesia ikut bertanggungjawab untuk meningkatkan karyanya dan akan menjadi wadah pengembangan cipta/karyanya sebagai sumbangan kepada Nusa dan Bangsa. Agar dengan karya2 yang baik itu dapat kita wariskan kepada generasi yang akan datang, demikian Presiden Soeharto.
Dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”, Presiden meresmikan Balai Seni Rupa Jakarta dan sekaligus membuka pula pameran se-Abad Seni Rupa Indonesia. Sebelum dilakukan acara peninjauan Presiden telah membubuhkan tandatangannya pada prasasti di dinding muka gedung Balai Seni Rupa Jakarta.
Sudah Lama Kosong
Sebelum sambutan Presiden, Gubernur DKI Jakarta H Ali Sadikin dalam laporannya mengatakan sudah sejak lama Jakarta merasakan kekosongan di dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan kita khususnya di bidang seni rupa. Golongan Seniman para pencinta Seni Rupa dan masyarakat umumnya telah berulang kali mendatangi Pemerintah DKI untuk mendesak agar memberikan perhatian juga terhadap karya2 seniman seni rupa antara lain yang berbentuk lukisan2 yang sebetulnya berprestasi tinggi.
Menurut Bang Ali, “ketika Basuki Abdullah menyelenggarakan Pameran Seni Rupa awal tahun ini terpancinglah antusiasme masyarakat.”
Sehingga disamping pameran itu sendiri berlangsung sukses, juga terpadulah kehendak2 yang hidup dalam masyarakat itu dengan pemikiran Pemerintah DKI dalam suatu gagasan yakni Pembangunan sebuah Balai Seni Rupa Jakarta.
Oleh karena itu dengan meneliti kemampuan Pemerintah Daerah dan memperhatikan keinginan masyarakat yang menghendaki pengisian kekosongan itu segera mungkin. Maka Pemerintah DKI menentukan untuk memugar dan memanfaatkan gedung ini untuk Balai Seni Rupa Jakarta.
Dalam hubungan pengisian Balai Seni Rupa, Pemerintah DKI menerima sumbangan2 pertama yang sampai saat ini berjumlah 107 lukisan, yakni koleksi2 dari Menlu Adam Malik. Yayasan Mitra Budaya dan perorangan lainnya termasuk Basuki Abdullah, Alex Papadimitrou, Taufiq Ismail dan Ir.Ciputra.
Selanjutnya Ali Sadikin mengemukakan, gembira mengetahui bahwa Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen P&K bermaksud akan membangun sebuah Balai Seni yang bersifat Nasional di Jakarta, dan sudah pula merintis usaha pengumpulan berbagai macam karya seni rupa dari seluruh Indonesia.
Kami mendukung sepenuhnya maksud tersebut dan tidak keberatan apabila setelah peresmiannya nanti Balai ini diambil alih oleh Pemerintah Pusat, demikian Gubernur. (DTS)
Sumber: PELITA (21/08/1976)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 81-83.