Presiden Soeharto Pidato Kenegaraan 1968
(Pembangunan Sukses Apabila Stabilisasi Ekonomi dan Politik Terwujud)[1]
JUM’AT, 16 AGUSTUS 1968, Untuk kedua kalinya, sebagai tradisi baru Presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka peringatan hari proklamasi kemerdekaan dalam sidang istimewa DPR-GR. Dalam pidato kenegaraan tersebut, Presiden antara lain mengatakan bahwa rencana pembangunan lima tahun hanya dapat dilaksanakan dengan sukses apabila stabilisasi politik dan ekonomi dapat diwujudkan. Oleh karena itu sampai akhir 1968 sampai awal 1969, yaitu sebelum memasuki masa pembangunan, pemerintah mencurahkan segenap perhatian dan kemampuannya untuk mewujudkan stabilisasi politik dan ekonomi di samping mengembalikan keamanan dan ketertiban. Kepada para anggota DPR-GR, Presiden menyampaikan juga bahwa pembelian beras oleh pemerintah untuk tahun 1968 telah mencapai 90% dari target pembelian dari produksi dalam negeri yang telah ditetapkan, yaitu sebanyak 600.000 ton. Ini merupakan suatu hasil yang belum pernah dicapai dalam pembelian di tahun-tahun sebelumnya.
Presiden Soeharto juga mengemukakan bahwa pembukaan UUD 1945 yang mengandung Pancasila harus tetap dipertahankan, tidka boleh di ubah. Menurut Jenderal Soeharto, mengubah UUD 1945 berarti membubarkan negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Selain masalah UUD 1945 dan Pancasila, Presiden juga menyinggung beberapa hal lain, seperti masalah PKI, kepartaian, keagamaan, pers, hubungan pusat dan daerah, masalah aparatur negara, dan masalah Irian Barat. Tentang PKI, diingatkan oleh Presiden bahwa bahaya PKI masih terus mengancvam. Pernyataan mengenai bahaya PKI ini bukanlah dimaksudkan untuk menakut-nakuti, tapi juga menggugah kesadaran dan kewaspadaan, karena banyak di antara kita yang kurang menyadari bahaya-bahaya ini dan bahkan ada juga yang menganggap bahaya PKI telah habis.
Mengenai partai politik dikatakan pula oleh Presiden bahwa ia bukanlah alat untuk memperoleh pengikut sebanyak-banyaknya atau untuk menang dalam pemilihan umum, melainkan juga sebagai alat pendidikan politik. Adanya partai-partai politik dalam suatu negara merupakan juga salah satu pertanda adanya demokrasi, demikian Jenderal Soeharto. Tentang masalah agama, Presiden Soeharto mengatakan bahwa orang yang merasakan bahwa agamanya terdesak adalah orang yang kurang teguh imannya dan kurang mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya. Ini merupakan kesempitan pandangan; bukan kesempitan ajaran agamanya, melainkan kesmepitan pemeluk-pemeluknya sendiri.
Tentang pers, Presiden mengingatkan agar pers tidak hanya menekankan segi komersial, atau sebagai alat politik praktis belaka. Pers hendaknya juga mempunyai idealisme pers nasional yang bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, memperkuat persatuan dan kesatuan Indonesia, menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat dan mempercepat pelaksanaan pembangunan. Mengenai hubungan pusat dan daerah, Jenderal Soeharto mengatakan bahwa ia hendaknya dibangun di atas prinsip yang memperhatikan dua segi, yaitu di satu pihak tetap menjamin sifat negara kesatuan, dan di lain pihak, daerah mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan prakarsa sesuai kemampuannya.
Mengenai masalah aparatur pemerintahan, Jenderal Soeharto mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan upaya penyempurnaan dan pembersihan aparatur pemerintahan. Ini dilakukan dengan cara mengadakan penertiban dengan cara membubarkan badan-badan yang tidak perlu dan menyederhanakan perusahaan-perusahaan negara. Tujuannya ialah agar tercipta aparatur negar ayang kuat, tertib, efektif, efisien dan berwibawa yang mampu melaksanakan tugas-tugas pembangunan.
Mengenai ABRI dikatakan oleh Presiden bahwa ABRI sebagai alat keamanan negara tidak mengurangi fungsinya yang lain sebagai golongan karya dan kekuatan sosial politik. Tidak perlu timbul kekhawatiran akan adanya militerisme di Indonesia, karean peranan dan kedudukan ABRI tunduk kepada segala bentuk peraturan hukum yang berlaku. Dan mengenai hukum itu Presiden mengatakan bahwa sistem konstitusional dan hukum akan dapat ditegakkan dengan sungguh-sungguh, karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Sebelumnya Jenderal Soeharto menginformasikan bahwa antara Indonesia, Belanda, dan Sekretaris Jenderal PBB telah tercapai saling pengertian mengenai masalah Irian Barat. Saling pengertian yang dicapai itu adalah tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Penentuan Pendapat Rakyat akan dilaksanakan sebelum akhir tahun 1969 atas tanggungjawab pemerintah Indonesia.(AFR).
[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973”, hal 34-35. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003.