PRESIDEN: KITA BISA LEGA, TAHUN 1989 TIDAK SURAM DAN GELAP
Jakarta, Antara
PRESIDEN SOEHARTO menyatakan bangsa Indonesia dapat menyongsong tahun 1989 dengan rasa lega walaupun masih menghadapi kemungkinan pukulan dari luar dan keterbatasan keuangan negara. Ketika menyampaikan.
Pidato Akhir Tahun 1988 yang disiarkan RRl dan TVRI ke seluruh pelosok tanah air. Sabtu malam, ia mengingatkan bahwa gambaran umum di akhir tahun 1988 menunjukkan mendung perekonomian masih menggantung.
“Namun, gambaran” tahun depan semestinya tidaklah suram dan gelap karena Bangsa Indonesia sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan, kalau angin segar sempat menghalau awan gelap “perekonornian dunia, kita dapat mengharapkan masa yang cerah,” katanya.
Menurut Kepala Negara, Bangsa Indonesia harus memasuki Tahun 1989 dengan waspada karena bila pukulan dan goncangan ekonomi dunia muncul, masih akan terasa berat.
“Kita memang telah mengambil langkah-langkah penyesuaian sehingga struktur ekonomi kita makin sehat dan lancar dengan topangan kekuatan sendiri yang makin luas,” kata Kepala Negara.
Presiden kemudian menegaskan “kita bertambah tangguh dalam meredam goncangan-goncangan yang datang dari luar. Namun, kita harus siap-siaga berjaga jaga dan waspada sebab pukulan dan goncangan ekonomi dunia, bila nanti muncul, masih akan terasa berat bagi kita.”
Oleh karena itu Presiden mengajak segenap Bangsa Indonesia memasuki Tahun 1989 dengan membulatkan tekad untuk bekerja sebaik-baiknya disertai tanggung jawab sebesar-besamya untuk mempertinggi efisiensi dan produktivitas, meningkatkan disiplin nasional serta mengencangkan dan mempertebal rasa kesetiakawan an sosial.
“Marilah kita masuki Tahun 1989 dengan tekad untuk menanggulangi bersama masalah yang kita hadapi,” ucapnya.
Suasana Menggembirakan
Presiden Soeharto mencatat bahwa di Tahun 1988, Bangsa Indonesia diliputi suasana gembira karen a berhasil menyelenggarakan Sidang Umum MPR secara lancar, sukses dan selamat.
Dalam tahun itu pula, pertanggungan jawaban terhadap tantangan dan aspirasi baru telah dirumuskan Bangsa Indonesia dalam konsensus nasional yang dituangkan dalam GBHN serta keputusan MPR lainnya.
“Kesegaran kita rasakan karena dalam menjawab tantangan dan aspirasi baru, kita mampu mengembangkan wawasan mendasar yang semakin luas dan dalam,” katanya.
Ia juga berpendapat GBHN 1988 telah memberikan arah yang makin jelas bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, Tahun 1988 akan ditinggalkan dengan rasa lega.
“Kita merasa lega karena setelah dua dasawarsa membangun ada tanda-tanda jelas bahwa kita akan berhasil meletakkan kerangka landasan pembangunan dalam Repelita IV,” demikian Kepala Negara.
Dengan keberhasilan peletakan kerangka landasan di bidang ideologi dan politik, tingkah laku dan budaya politik lama telah diganti dengan yang baru, yang bersuasana kekeluargaan dan lebih bermartabat.
Menurut Presiden, tingkah laku dan budaya politik lama, yang didasarkan kepada anggapan bahwa politik merupakan pembentukan dan pengerahan kekuatan untuk memenangkan diri dalam adu kekuatan, terbukti mengandung benih yang dapat memecah belah serta menimbulkan ketegangan, pertentangan dan pergolakan bangsa.
Sebaliknya, dalam tingkah laku dan budaya politik baru, pengerahan kekuatan sosial politik dapat dipusatkan untuk bersama-sama memberi sumbangan sebesarbesarnya kepada pelaksanaan pembangunan nasional demi persatuan dan kesatuan dalam suasana kekeluargaan.
“Kita merasa lega, karena walaupun dihadang rintangan dan hambatan serta berbagai pukulan berat dari luar, kita berhasil meletakkan kerangka landasan di bidang ekonomi. Tahun 1988 kita lewati dalam situasi ekonomi yang relatif stabil dan menunjukkan kecenderungan membaik,” katanya.
Dijelaskannya bahwa kerangka landasan di bidang ekonomi itu mutlak diperlukan untuk mencapai sasaran utama pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama.
“Kita juga merasa lega karena dengan kerangka landasan politik yang kita letakkan, mekanisme kepemimpinan nasional dapat kita pelihara sesuai aturan-aturan konstitusional,” tegasnya.
Regenerasi
Dalam kaitan terpeliharanya mekanisme kepemimpinan nasional itu, Kepala Negara mengatakan bahwa proses regenerasi terus berlangsung secara wajar dan alamiah dalam suasana kekeluargaan secara tertib, teratur lancar dan penuh pengertian.
Generasi Pembebas dan Generasi Penerus, menurut dia, selama ini juga telah bekerjasama bahu membahu untuk melangsungkan regenerasi sebaik-baiknya karena mereka memiliki konsepsi, persepsi dan pegangan serta tolok ukur yang sama mengenai pembangunan nasional.
“Kesemuanya itu berhasil kita capai berkat kekokohan bangunan politik yang kita susun, kemantapan ketahanan nasional yang kita kembangkan dan keberhasilan pembangunan di semua bidang yang kita capai,” kata Kepala Negara beberapa saat menjelang Tahun Baru 1989.
Ia berpendapat, semua perkembangan dan pertumbuhan Bangsa Indonesia yang terjadi hingga akhir Tahun 1988 telah memberikan keyakinan bahwa proses peralihan ke tahap pemantapan kerangka landasan serta era tinggal landas dan proses regenerasi dalam kehidupan bangsa dan negara, akan dapat berlangsung tertib, lancar dan teratur.
Di sela-sela kelegaan, menjelang akhir Tahun 1988 Presiden juga mengingatkan keprihatinan dan kesedihan karena bencana alam yang melanda beberapa wilayah tanah air dan beberapa negara lain yang merenggut nyawa manusia dan kerusakan harta benda.
“Walaupun keadaan kita sendiri masih serba terbatas, panggilan kemanusiaan telah mendorong kita mengulurkan tangan meringankan beban penderitaan, bangsa lain dan sebagai ungkapan keprihatinan Bangsa Indonesia,” ujarnya.
Sehubungan dengan ajakannya agar Bangsa Indonesia waspada terhadap goncangan ekonorni dunia, Presiden mengatakan bahwa walaupun telah tercapai kesepakatan OPEC, belum dapat dipastikan bahwa tingkat harga rata-rata minyak bumi ditahun mendatang tidak lebih rendah dari tahun ini.
Sementara itu, tambahnya, nilai tukar sejumlah mata uang asing yang kuat didunia juga masih belum menentu.
“Kita memang telah mulai berhasil menganekaragamkan sumber-sumber penerimaan negara dan devisa dalam era pasca minyak. Penerimaan negara dan ekspor non-migas telah makin besar melampaui penerimaan negara dan ekspor rnigas,” kata Kepala Negara.
“Namun” kata Kepala Negara mengisyaratkan “pengaruh migas masih besar dalam perekonomian negara kita.” Presiden kemudian menjelaskan bahwa setiap satu dolar penurunan harga minyak bumi berakibat besar bagi anggaran negara dan penerimaan devisa.
Presiden menegaskan bahwa membaiknya perkembangan perekonomian di tahun-tahun terakhir Pelita IV akan tetap dipertahankan, terutama karena Indonesia telah melakukan langkah-langkah untuk mengembangkan iklim usaha yang sehat dan dinamis melalui rangkaian deregulasi dan debirokratisasi.
Sumber : ANTARA(01/01/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 1-4.