Arifin M Siregar: Pak Harto Tidak Mementingkan Popularitas

Tidak Mementingkan Popularitas [1]

Arifin  M Siregar [2]

 

 Pertama kali saya mendapat kesempatan berkenalan dengan Bapak Soeharto adalah ketika saya menjadi salah seorang Direktur Bank Indonesia. Pada waktu itu saya pernah beberapa kali mewakili Gubernur Bank Indonesia dalam sidang kabinet. Pada kesempatan seperti inilah saya berkenalan dengan Bapak Presiden.

Disamping itu, selaku Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), saya juga telah beberapa kali menghadap Bapak Presiden, untuk melaporkan kepada beliau mengenai kegiatan-kegiatan organisasi. Setiap kali bertemu muka dengan beliau, saya sangat terkesan akan kemampuan beliau menangkap inti dari permasalahan-permasalahan yang diajukan kepada beliau. Kemampuan beliau juga sangat menonjol dalam mengaitkan sesuatu masalah dengan masalah lainnya, khususnya hubungan antara masalah­masalah ekonomi dengan gejala-gejala lain yang timbul dalam masyarakat.

Dengan demikian saya mendapat kesan bahwa apabila pembantu-pembantu beliau ataupun orang lain memberikan informasi atau gagasan kepada beliau, maka beliau dengan cepat dapat menangkap makna dan inti dari persoalan-persoalan yang dikemukakan tadi. Dan apabila diharapkan dari beliau keputusan-keputusan yang perlu diambil, maka beliau akan meminta informasi sebanyak­banyaknya. Biasanya beliau sangat sabar mendengarkan pendapat dan keterangan-keterangan yang diberikan para pembantu beliau. Tetapi beliau mencoba memperoleh keterangan bukan saja dari seseorang tertentu, melainkan dari beberapa orang, bahkan mungkin juga dari beberapa kalangan. Kemudian beliau mengkaji dan mencoba menarik kesimpulan dari semua masukan yang beliau terima dari berbagai pihak itu.

Sesudah membahas segalanya itu dengan seksama, barulah beliau mengambil putusan. Dan apabila keputusan itu telah diambil, maka beliau mengemukakannya kepada pejabat yang bertanggungjawab di bidang yang bersangkutan dengan memberikan alasan­alasan kenapa beliau mengambil keputusan tersebut. Oleh sebab itu pembantu-pembantu beliau merasa amat puas akan proses pengambilan keputusan yang beliau tempuh. Walaupun mungkin saja usul dari pejabat tersebut tidak sepenuhnya diterima Presiden, tetapi ia merasa memperoleh pengertian yang luas tentang latar belakang keputusan yang diambil oleh Bapak Presiden. Proses seperti itu hanya dapat terjadi karena wawasan Bapak Presiden yang begitu luas. Suatu keputusan yang diambil di bidang ekonomi tentu tidak hanya mempunyai dampak di bidang ekonomi saja, tetapi juga terhadap berbagai segi lainnya dari kehidupan masyarakat. Sebagai Kepala Negara tentu saja beliau perlu memperhatikan dampak dan pengaruh dari pelaksanaan suatu keputusan di berbagai bidang. Hal inilah yang menurut hemat saya sangat mengesankan dari Bapak Presiden.

Sewaktu saya menjabat Gubernur Bank Indonesia ada suatu, masalah pelik yang perlu ditangani, yaitu devaluasi. Pada bulan September 1986, pemerintah mendevaluasikan lagi rupiah setelah Maret 1983. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat menurunnya harga minyak secara drastis ketika itu, disamping karena danya perasaan kegelisahan sehubungan dengan isu devaluasi yang beredar dalam masyarakat. Pemerintah perlu mengambil keputusan dengan cepat, karena kalau tidak demikian, maka akan terjadi spekulasi yang lebih besar lagi di bidang moneter. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah kenyataan bahwa beberapa waktu sebelumnya banyak pejabat penting, termasuk Bapak Presiden sendiri, telah mengemukakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi. Sesungguhnya, ketika itu memang tidak ada niat pemerintah untuk mengambil langkah tersebut. Beberapa pejabat teras, termasuk saya sendiri, mengemukakan bahwa berdasarkan perkembangan waktu itu, memang tidak akan diadakan devaluasi. Hal tersebut terjadi kira-kira setahun sebelum jatuhnya harga minyak di bulan Agustus-September 1986.

Namun anjloknya harga minyak pada bulan Agustus-September 1986 tersebut mengharuskan diambilnya tindakan devaluasi tadi. Setelah terjadi penurunan-penurunan beberapa bulan sebelumnya, maka di bulan Agustus harga minyak menurun lagi dengan amat tajam, sampai pernah berada dibawah 10 dollar Amerika per barrel. Jadi perlu ditekankan bahwa desas-desus mengenai devaluasi telah terjadi lama sebelumnya, lebih dari satu tahun, sedangkan pemikiran untuk mengambil langkah tersebut baru terjadi kira-kira beberapa minggu sebelum keputusan diambil. Ketika kami —lama sebelum September 1986— mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi, memang itulah pendapat dan keyakinan pemerintah untuk waktu tersebut. Akan tetapi setelah anjloknya harga minyak pada bulan Agustus-September 1986, maka keadaan telah berubah dengan amat drastis.

Berdasarkan pengkajian yang mendalam, rekan-rekan di bidang keuangan semuanya berpendapat bahwa dipandang dari berbagai sudut, salah satu cara yang terbaik untuk mengatasi keadaan ekonomi dan untuk mempercepat laju pertumbuhan di tahun tahun mendatang, adalah melakukan devaluasi. Dengan langkah tersebut maka kita akan dapat meningkatkan daya saing kita di dunia inter­nasional; dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas dan mengurangi laju pertumbuhan impor. Apabila devaluasi tidak dilakukan, maka akan terjadi over-valuation rupiah. Jika hal tersebut berlangsung lama dan diperkuat pula oleh desas-desus mengenai devaluasi, maka akan terdapat kecenderungan di masyarakat untuk banyak sekali membeli devisa, baik guna keperluan impor barang-barang maupun untuk hal-hal lainnya dan akan terjadi hambatan-hambatan terhadap ekspor. Sebagai akibatnya, ekspor akan menurun dan penggunaan devisa akan  melonjak,  sehingga akan terjadi defisit yang lebih besar dalam neraca pembayaran. Pada waktu itu, salah satu kendala yang kita hadapi adalah keterbatasan devisa. Maka dengan devaluasi tersebut diharapkan keadaan neraca pembayaran dan cadangan devisa kita akan bertambah baik, sehingga dapat menggalakkan kegiatan pembangunan.

Hanya, kesulitan yang kami alami ketika itu adalah bagaimana reaksi masyarakat terhadap devaluasi tersebut, terutama apabila di ingat bahwa sebelumnya banyak pejabat, termasuk Bapak Presiden, telah mengemukakan bahwa pemerintah tidak akan mengambil langkah tersebut. Apakah nanti masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, termasuk terhadap Bapak Presiden sendiri? Rakyat biasa yang tidak memahami perubahan situasi ekonomi yang sangat drastis itu mungkin merasa dikelabui, karena sebelumnya para pejabat penting telah mengutarakan dengan nada yang pasti bahwa tidak akan ada devaluasi. Hal inilah yang sangat menyulitkan kami pada waktu itu.

Sewaktu kami mengusulkan kepada Bapak Presiden mengenai perlunya devaluasi dan setelah beliau seperti biasanya mempertimbangkan untung dan ruginya, maka beliau dengan tegas menyatakan menyetujui usul tersebut. Beliau menyatakan sadar akan kemungkinan pengaruh negatif dari kebijaksanaan itu. Saya ingat bahwa yang datang menghadap Bapak Presiden ketika itu adalah Menteri Keuangan Radius Prawiro, Menmud/Sekkab Moerdiono, Menko Ekuin Ali Wardhana dan saya sendiri. Saya tek san sekali akan sikap beliau pada saat itu yang tidak berbeda dengan sikap beliau bila menyambut kami dalam kesempatan-kesempatan yang lain. Seperti biasanya, beliau mendengarkan dengan seksama informasi, data-data dan usul-usul yang kami kemukakan. Kemudian semuanya itu beliau pelajari, dan baru setelah itu beliau memutuskan. Dan dalam situasi demikian beliau bersikap biasa-biasa saja.

Dari kenyataan ini jelas bahwa beliau adalah seorang yang memang berani mengambil keputusan yang tidak populer. Kita mengetahui bahwa di banyak negara, kadang kala seorang pemimpin tidak ingin mengambil keputusan yang tidak populer di kalangan masyarakat, walaupun ia berpendapat bahwa kebijaksanaan tersebut sebenarnya harus dilakukan. Akan tetapi Bapak Presiden mempunyai sikap yang sangat berbeda. Beliau bersedia mengambil langkah yang pada waktu tertentu dianggap tidak disenangi oleh masyarakat, demi kebaikan bangsa dan kesinambungan pembangunan di masa-masa mendatang.

Tentu saja saya mengajukan usul devaluasi itu dengan perasaan yang berat. Dan saya ingat sekali bahwa ketika Pak Radius mengumumkan kebijaksanaan tersebut, saya dengan Pak Moerdiono memperhatikan bagaimana wajah beliau ketika menyampaikannya di depan TVRI. Kami berdua sangat prihatin terhadap kemungkinan dampak negatif dari keputusan itu. Dan, memang, setelah keputusan tersebut diumumkan, banyak kecaman datang dari berbagai kalangan. Saya ingat bahwa diantara orang-orang yang mengecam itu terdapat seorang mantan menteri yang mengeluarkan pendapatnya melalui salah satu media massa yang berpengaruh.

Perkembangan selanjutnya membuktikan bahwa kebijaksanaan devaluasi sangat menentukan bagi berkembangnya ekspor non-migas kemudian. Kalangan pengusaha, dan bahkan juga para pengamat, yang sebelumnya sudah banyak mengeluarkan kecaman, harus mengakui bahwa perbaikan ekonomi Indonesia, terutama di bidang ekspor non migas banyak dipengaruhi oleh kebijaksanaan devaluasi itu. Hal ini membuktikan bahwa wawasan Bapak Presiden memiliki jangkauan, yang sangat luas dan jauh ke depan. Kesediaan beliau mengambil langkah-langkah yang tidak populer dipandang dari segi jangka pendek, demi kebaikan negara dan pembangunan di masa­masa mendatang, juga merupakan hal yang menonjol dalam diri beliau dalam membimbing dan memimpin bangsa kita.

Setelah saya menjadi Menteri Perdagangan, persoalan yang saya hadapi, agak berbeda dari apa yang saya hadapi sewaktu saya menjadi Gubernur Bank Indonesia. Tugas yang dilakukan di Depar­temen Perdagangan juga mempunyai dampak yang sangat luas, akan tetapi tidak sebesar dampak devaluasi. Sewaktu saya baru diserahi tugas sebagai Menteri Perdagangan, Bapak Presiden pernah mengutarakan kepada saya, alangkah baiknya kalau saya dapat banyak berhubungan langsung dengan pengusaha-pengusaha. Beliau berpendapat bahwa dengan banyaknya hubungan dengan dunia usaha, maka saya bisa memperoleh informasi yang berguna dari mereka. Hal ini beliau tekankan, sebab beliau yakin bahwa pandangan mereka bisa menjadi masukan yang bermanfaat bagi saya didalam mempersiapkan dan melaksanakan kebijaksanaan.

Setelah berada di Departemen Perdagangan, maka tugas saya yang pertama adalah melanjutkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh pendahulu saya. Namun perlu dikemukakan bahwa sampai beberapa waktu yang lalu, Departemen Perdagangan banyak sekali mengatur tata-cara perdagangan internasional yang pada waktu itu dianggap tepat bagi kegiatan pembangunan kita. Sebelum tahun 1982/1983, pemerintah banyak mengatur perekonomian melalui apa yang dikenal dengan ”regulasi”. Setelah tahun 1982/1983, keadaan berubah. Harga minyak turun dengan drastis, dan kita berkeinginan untuk mengurangi ketergantungan kita kepada minyak. Untuk tujuan tersebut perlu diciptakan iklim berusaha yang lebih menggairahkan dan ekspor non minyak didorong lebih lanjut guna memperbaiki neraca pembayaran dan meningkatkan kegiatan ekonomi di dalam negeri. Dalam hubungan ini, diambillah kebijaksanaan untuk memberikan peluang­peluang yang lebih besar kepada dunia usaha melalui langkah­langkah deregulasi. Jadi perubahan penting yang terjadi adalah dari regulasi menjadi deregulasi. Karena itu diambillah langkah-langkah deregulasi di berbagai bidang yang dikelola Departemen Perdagangan.

Sebagai akibat dari kebijaksanaan regulasi sebelumnya, terdapat kesan seolah-olah pemerintah hanya mau mengatur dan kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan dunia usaha. Di lain pihak, pemerintah berkesan seolah-olah para, pengusaha hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri saja, sehingga apa-apa yang mereka lakukan tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian terdapat kesan seolah-olah pemerintah dan dunia usaha berjalan sendiri-sendiri dan tidak terdapat kerjasama yang saling menguntungkan.

Saya berpendapat bahwa kedua persepsi yang ekstrim seperti ini kurang tepat. Kalau kita melihat kepada Jepang, kita dapati bahwa pemerintah dan dunia usaha di Jepang beranggapan bahwa apa yang dilakukan dunia usaha juga baik bagi pemerintah, dan sebaliknya, apabila terdapat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tepat. Sebagai ilustrasi, di Jepang pemerintah dan dunia usaha bekerjasama dengan erat memenangkan tender di pasaran internasional, bekerjasama merebut pasaran dan bekerjasama pula mempertahankan pasaran tadi. Juga di dalam negeri terdapat kerjasama yang serasi antara pemerintah dan dunia usaha Jepang. Inilah yang disebut dunia internasional dengan ungkapan Japan Incorporated. Hal yang seperti ini juga dilakukan Korea Selatan.

Pada hemat saya, segi segi positif yang mereka lakukan di bidang kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha, baik di Jepang maupun di Korea Selatan, dapat pula kita lakukan di Indonesia. Hal pertama yang harus kita laksanakan adalah menghilangkan syak wasangka, baik di kalangan  pemerintah maupun di dunia usaha. Hal yang kedua adalah perlunya mencari bidang-bidang ter­tentu dimana kerjasama itu perlu dicetuskan. Inilah ide saya mengenai apa yang saya namakan Indonesia Incorporated. Disamping itu memang perlu pula dilakukan kerjasama dan koordinasi yang lebih baik antara instansi-instansi pemerintah sendiri. Walaupun telah terdapat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti, namun harus pula diakui bahwa masih banyak hal yang perlu kita tingkatkan, demi tercapainya koordinasi yang lebih baik antara instansi­instansi pemerintah serta koordinasi antara pemerintah dan dunia usaha.

Departemen Perdagangan telah mencoba melaksanakan gagasan Indonesia Incerporated. Apabila misalnya saya pergi ke luar negeri untuk melihat kemungkinan-kemungkinan pasaran baru, atau untuk memperluas pasaran yang telah ada, saya biasanya mengikutsertakan para pengusaha. Sebelum berangkat saya bertanya kepada mereka apa yang dapat saya lakukan untuk mendorong kepentingan mereka, umpamanya untuk memperluas pasaran dalam kawasan tertentu. Sebagai contoh, pada waktu kami mengunjungi Jerman Barat, salah seorang anggota rombongan kami, seorang pengusaha, menyatakan bahwa perusahaannya sedang dalam proses tender yang akan ditentukan oleh sebuah perusahaan Jerman. Pengusaha itu berharap sekali saya sebagai Menteri Perdagangan bersama dengan rombongan dapat meluangkan waktu untuk berkunjung ke perusahaan Jerman itu, untuk menunjukkan dukungan pemerintah Indonesia terhadap pengusaha Indonesia tadi. Hal itu kami lakukan. Kemudian memang ternyata bahwa perusahaan Indonesia itu berhasil memenangkan tender tersebut. Juga, disamping itu, pada beberapa tempat yang kami kunjungi, kalau diadakan penandatanganan kerjasama antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan asing, dan saya diminta untuk memberikan bobot kepada perusahaan tersebut dengan menyaksikan penandatangan kerjasama, maka saya dengan senang hati melakukannya. Inilah yang saya rasa merupakan salah satu perwujudan dari Indonesia Incorporated. Akan tetapi, terus terang, masalah ini belum pernah saya bicarakan secara khusus dengan Bapak Presiden. Namun demikian, kesan yang saya peroleh adalah bahwa beliau menyetujuinya.

Dalam hubungan ekonomi luar negeri, Bapak Presiden dapat dikatakan berfungsi sebagai pemimpin kelompok Selatan yang ingin terus mengadakan dialog Utara-Selatan. Akhir-akhir ini kita lihat bahwa beliau juga menganjurkan agar diperkuat kerjasama Selatan­Selatan. Bapak Presiden menyambut baik hasil-hasil yang telah di capai panitia yang diketuai Julius Nyerere. Prakarsa beliau dalam memperkuat hubungan Selatan-Selatan ini juga kelihatan dari kesediaan beliau untuk menghadiri KTT Selatan-Selatan di Kuala Lumpur pada bulan Juli 1990. Masalahnya sekarang adalah bagai­mana bentuk yang akan diambil oleh kerjasama ini. Salah satu kesukarannya adalah bahwa negara-negara Selatan pada umumnya mengkonsentrasikan hubungan dagangnya dengan kawasan-kawasan tertentu yang memang telah merupakan mitra dagang  tradisional, terutama Amerika Serikat, Jepang dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Di sini masalahnya adalah bagaimana meyakinkan dunia usaha di negara-negara Selatan untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar kepada negara-negara Selatan yang lain.

Mengenai hubungan antara Bapak Presiden dengan para pembantu beliau, saya mendapat kesan bahwa beliau menganggap para pembantu beliau itu bukan sebagai menteri atau pejabat saja, akan tetapi juga sebagai manusia yang mempunyai keluarga dan masalah-masalah tersendiri. Hal ini beliau tunjukkan dengan kunjungan­kunjungan yang beliau lakukan pada kesempatan-kesempatan atau peristiwa-peristiwa yang penting bagi suatu keluarga, seperti apabila terjadi perkawinan dari anggota keluarga pembantu beliau. Kita semua mengetahui bahwa beliau selalu menyempatkan diri menghadiri resepsi yang begitu banyak jumlahnya itu. Bahkan sering ter­jadi bahwa beliau bertindak sebagai saksi perkawinan, sehingga terdapat julukan di antara rekan-rekan bahwa beliau adalah “saksi profesional” dalam perkawinan anak atau anggota keluarga para pembantu beliau.

Saya pribadi dan keluarga merasa sangat terharu dan berterima kasih sekali kepada Bapak Presiden bahwa beliau meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah kami sewaktu ayah kami meninggal dunia tahun 1985. Kami juga sangat terkesan bahwa beliau datang ke rumah kami dan tidak hanya bersalaman dengan kami akan tetapi juga tinggal di sana untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga banyak pelayat lain juga menyatakan kekaguman mereka. Mereka mengatakan bahwa sikap Bapak Presiden memang amat mengesankan. Peristiwa ini memperlihatkan sifat beliau sesungguhnya yang selalu memberikan perhatian yang besar kepada para pembantu beliau.

***



[1]     Arifin  M Siregar, “Tidak Mementingkan Popularitas “, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 129-137.

[2]     Menteri  Perdagangan  dalam  Kabinet  Pembangunan  V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.