BANTUAN AS DAN JEPANG PADA RRC DAPAT MERESAHKAN NEGARA ASTENG

PENEGASAN PRESIDEN SOEHARTO :

BANTUAN AS DAN JEPANG PADA RRC DAPAT MERESAHKAN NEGARA ASTENG

Raksasa Komunis ltu Tetap akan Lakukan Infiltrasi dan Subversi

Presiden Soeharto menegaskan bantuan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang kepada RRC untuk memperkuat industrinya dapat meresahkan negara-negara Asia Tenggara karena raksasa komunis itu tetap akan melakukan infiltrasi dan subversi serta membantu gerakan anasir terlarang komunis dalam negeri dikawasan ini.

Berbicara dengan para wartawan di atas pesawat Garuda DC-10 "Kalimantan", yang membawanya dari Tokyo ke Jakarta Jum’ at kemarin, Presiden menegaskan ia berbicara secara terus terang kepada Presiden Ronald Reagan dan PM Zenko Suzuki mengenai keresahan negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia, terhadap bantuan Jepang senilai 166 miliar yen kepada RRC.

Dengan demikian peningkatan kemampuan RRC atas bantuan Jepang dan AS, berarti juga peningkatan kemampuan subversi dan infiltrasi RRC.

Kalaupun dinilai bahwa peningkatan kemampuan RRC untuk mengimbangi Uni Sovyet, sementara negara-negara di kawasan Asia Tenggara, juga meningkatkan kemampuan pertahanan keamanannya, maka hal ini tidak banyak berarti, kata Presiden Soeharto.

Kepada kedua pemimpin negara itu saya katakan, perimbangan kekuatan di kawasan ini mutlak perlu. Walaupun Jepang telah memberikan dana bantuan sebesar 166 miliar yen baru-baru ini kepada RRC kata Presiden pula.

Peningkatan Militer Jepang

Menjawab pertanyaan wartawan yang mengikuti rombongan Kepala Negara tentang peningkatan kemampuan militer Jepang, Presiden Soeharto menyatakan jika hal itu dimaksud untuk mempertahankan wilayah, Jepang, maka tindakan tersebut sangat wajar.

Namun kalau peningkatan kemampuan militer Jepang ini tidak hanya melekat kepada masalah pertahanan dan keperluan keamanannya sendiri, maka hal itujelas akan menimbulkan keresahan bagi negara-negara Asia Tenggara.

”Lebih-lebih kalau hal itu ditujukan ke luar wilayah Jepang untuk mempertahankan suplai minyaknya dan mempertahankan industri dan pemasaran produksinya agar tidak terganggu sehingga Jepang perlu membangun armada perangnya. Hal ini akan mengganggu dan merongrong kedaulatan negara dan bangsa sepanjang jalur pelayaran itu," kata Kepala Negara pula.

"Saya tidak keberatan Jepang meningkatkan kemampuan militemya. Tapi harus tegas pengamanan wilayah tersebut harus diserahkan kepada bangsa dan negara sepanjang jalur pelayaran itu dengan cara membantu meningkatkan ketahanan nasional mereka. Kalau ini dilakukan maka kecurigaan kepada Jepang tidak akan ada," ucapnya.

Ia menyatakan, pengembangan kekuatan militer Jepang merupakan realisasi usul Amerika Serikat. Namun PM Suzuki dalam pembicaraan empat mata di Tokyo menjamin bahwa pembangunan kekuatan militer negaranya adalah hanya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan mereka semata-mata.

PM Suzuki mengharapkan kepada Presiden Soeharto, agar hal ini dapat disampaikan kepada Pemimpin ASEAN lainnya, ”Kemampuan militer itu tidak akan keluar dari batas wilayah dan teritorial Jepang," kata PM Suzuki kepada Presiden Soeharto.

Sedangkan kepada Presiden Reagan disampaikan agar Amerika Serikat jangan dinilai sebagai penghalang dalam negosiasi global antara negara-negara maju dan negara berkembang.

Tetap Bantu Indonesia

Dikatakan, Jepang tetap bersedia membantu pembangunan Indonesia bahkan bantuan itu akan ditingkatkan, mengingat pentingnya peranan Indonesia dikawasan Asia Tenggara.

Menurut Presiden Soeharto, walaupun PM Suzuki sebagai Pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) secara luas telah menyampaikan rencana pengunduran dirinya dari jabatan PM Jepang, namun Presiden memperhitungkan siapapun pengganti Suzuki tidak akan membawa banyak perubahan politik luar negeri Jepang, khususnya terhadap Indonesia karena penggantinya juga tokoh LDP.

Peranan yang Sangat Penting

Menjawab pertanyaan wartawan tentang hasil-hasil pembicaraan empat mata dengan Presiden Ronald Reagan Presiden Soeharto menyatakan Pemerintah AS menilai peranan Indonesia dan ASLAN itu sangat penting.

Menurut Presiden, kalau AS menilai penting tentu harus diikuti dengan langkah kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga tidak akan merugikan Indonesia, atau ASEAN.

Dalam hal ini Presiden Soeharto mempertanyakan mengapa terjadi dalam kebijaksanaan ekspor kita, Amerika melepaskan stok timah mereka.

"Kemudian saya gambarkan kepada Presiden Reagan, berapa arti 30.000 ton timah Indonesia yang hanya senilai 400juta dollar AS untuk tiga tahun, sedangkan budget AS kurang lebih 700 miliar dollar AS setahun. Apa artinya yang 400juta dollar dibandingkan dengan anggaran tadi," kata Presiden pula.

”Tapi kalau hal ini sampai menyakiti hati rakyat Indonesia, maka nilainya lebih mahal daripada mengembalikan yang 400juta dollar itu. Karena itu saya katakan hal yang demikian itu supaya dihilangkan yang seolah-olah bertentangan dengan penilaian mereka tentang peranan Indonesia," kata Kepala Negara.

Usaha Pengaitan

Usaha berikutnya dan ekspor kita adalah pengkaitan ekspor komoditas non minyak dengan pembelian barang-barang modal baik dengan menggunakan uang sendiri maupun dana yang diperoleh dari pinjaman, kredit ekspor yang pada gilirannya harus kita bayarkan kembali kepada negara kreditor.

Kita berwenang menuntut agar mereka membeli barang-barang kita yang kita utamakan adalah komoditas non minyak.

Ini antara lain yang kita usahakan adanya kerja sama yang saling menguntungkan dengan sekaligus menghimpun kekuatan kita untuk membangun, katanya.

Temyata dari angka-angka perdagangan yang kita sampaikan kepada negara­negara yang dikunjungi itu belum menguntungkan perdagangan kita, kalau kita lihat dari ekspor komoditas non minyak. Tetapi dari keseluruhan ekspor digambarkan seolah olah hal ini menguntungkan Indonesia.

Sebagai contoh Presiden Soeharto mengungkapkan neraca perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat dengan nilai ekspor sebesar 4,1 miliar dollar AS.

Diantaranya itu 3,5 miliar dollar AS dari ekspor minyak yang berarti ekspor komoditas non minyak hanya sekitar 600 juta dollar AS saja. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia, 1,8 miliar dollar AS, perbandingan ini adalah 1:3.

Dengan menyamakan import mereka dengan ekspor Indonesia, komoditas non minyak tersebut menambah kemampuan kita secara menyeluruh.

Sedangkan dengan Jepang di tahun 1981, ekspor Indonesia mencapai 10,5 miliar dollar AS diantaranya 8,7 miliar dollar AS minyak dan gas alam cair (LNG).

Ini hanya berarti 1,8 miliar dollar AS dari ekspor non minyak, sedangkan Jepang ekspor non minyak ke Indonesia sekitar 4 miliar dollar AS.

"Hal ini merupakan perbandingan yang tidak seimbang," kata Presiden Soeharto.

Begitu pula dengan Korea Selatan, ekspor kita ke Korsel kurang lebih 283 juta dollar AS termasuk minyak senilai 123 juta dollar AS yang berarti ekspor komoditas non minyak hanya sekitar 90 juta dollar AS saja. Sedangkan ekspor Korsel ke Indonesia meliputi 488 juta dollar AS "Ini jelas tidak sebanding," tukasnya.

Ditanggapi Baik

Menurut Presiden Soeharto dalam pembicaraan empat mata dengan Kepala­Kepala Pemerintahan yang dikunjungi masalah ini telah ditanggapi dengan baik.

"Masalahnya sekarang kita harus mengusahakan karena pembangunan kita adalah tantangan yang tidak kecil di mana kita tidak bisa hanya menutut, karena orang membeli tentu ada persyaratan yang antara lain apa sebab ekspor non minyak belum begitu besar dan belum bisa menarik pembeli di pasaran dunia," tambahnya.

Dikatakan, kualitas ekspor non minyak: merupakan suatu tantangan besar bagi kita untuk dapat memperbaiki usaha begitu juga kepada rakyat sebagai produsen. Walaupun hasilnya kita tawarkan kian kemari tapi kwalitasnya tetap rendah, ya tetap tidak ada pembelinya.

Menurut Kepala Negara hal ini juga meliputi komoditas karet, lada, pala dan sebagainya yang semuanya merupakan tantangan besar untuk tidak saja meningkatkan produksinya tetapi juga kwalitasnya.

Hambatan lainnya bagi ekspor kita adalah masalah kuota dan tarif yang. ditentukan terlalu tinggi. Misalnya dengan Pemerintah Amerika Serikat tentang plywood di mana kita menghentikan ekspor logs (kayu bulat) yang bagi kita merupakan industri yang akan menampung banyak tenaga kerja, ternyata di negara tersebut dihalang-halangi dengan tarif yang tinggi.

Karena itu Indonesia meminta kepada negara AS itu agar ditinjau pemasangan tarif yang tinggi itu. Kita tidak menuntut hal yang berlebih-lebihan dan hanya menuntut hal yang wajar, karena kita tidak akan menyaingi negara lain, karena produk kita hanya ldta yang punya dan tidak menyaingi produksi Amerika Serikat.

Teknologi dan Modal

Presiden Soeharto menyatakan, dalam memulai pembangunan industri diperlukan teknologi dan pemusatan modal.

Kita sadar belum sepenuhnya teknologi dan pengembangannya kita miliki, untuk itu kita perlu meningkatkan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain yang memungkinkan Indonesia dapat melaksanakan pembangunan industrinya dengan baik.

Dengan Spanyol kita melakukan kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan agar kebutuhan kita terhadap kekurangan teknologi dapat dipenuhi, dengan belajar dari teknologi negara-negara yang telah maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang yang telah maju dan Spanyol dan Korea Selatan yang setengah maju.

Pembangunan kita memang memerlukan dana. Dalam rangka inilah seolah-olah digambarkan kita datang ke negara-negara maju itu hanya mencari pinjaman dan bantuan saja.

Memang pinjaman dan bantuan kita perlukan, tapi masalahnya sekarang harus kita robah di mana kita berusaha mengerahkan kemampuan kita sendiri, dengan bantuan negara-negara yang maju itu.

Usaha itu antara lain dengan peningkatan hubungan perdagangan sedemikian rupa hingga kita mampu memperoleh pendapatan untuk membiayai pembangunan tsb.

Dalam beberapa masalah dengan Kepala Pemerintahan menurut Presiden, kita tekankan masalah peningkatan perdagangan dengan kebijaksanaan yang telah dirintis sebelumnya mulai tanggal 1 Januari 1982, yaitu mengenai ekspor komoditas non minyak.

Kebijaksanaan lain adalah kita himpun semua kekuatan dan dengan bantuan kekuatan negara lain yang tidak semata-mata mengandalkan kredit dan pinjaman.

Dengan cara itulah kita berusaha meningkatkan produksi terutama produksi petani kita. Tanpa ada pemikiran pemasaran, hasil produksi petani itu tidak ada artinya.

Karena setiap produksi tidak dipasarkan atau tidak laku dijual maka tidak akan menambah kemampuan beli rakyat, karena itu setiap usaha produksi hams disertai dengan usaha pemasaran.

Baik pemasaran di dalam negeri maupun pemasaran di luar negeri yang akan menambah kemampuan petani kita untuk meningkatkan kehidupan mereka danjerih payah mereka, demikian Presiden.

Tiba di Tanah Air

Presiden Soeharto, Ny. Tien dan rombongan tiba kembali di tanah air Jum’ at sore yang disambut di tangga pesawat oleh Wakil Presiden dan Nyonya Adam Malik, Ketua DPR/MPR H. Amir Machmud, Ketua DPA KH DR Idham Chalid, Ketua Bepeka Umar Wirahadikusuma, para Menteri Kabinet Pembangunan HI serta Corps Diplomatik dan Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto.

Tepatjam 17.00 pintu pesawat Garuda DC-10 berbadan lebar itu terkuak dan Presiden bersama Nyonya Tien tersenyum lebar kepada penyambutnya menuruni tangga pesawat.

Di tangga pesawat para cucu memberikan ciuman kangen yang erat dan penuh rasa sayang kepada kakeknya dan Nyonya Tien Soeharto dibawah tatapan mata penjemput di sepanjang hamparan permadani merah. (RA)

Jakarta, Pelita

Sumber : PELITA (23/10/1982)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 906-910.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.