LEMBAGA KEPRESIDENAN MENURUT UUD 1945

LEMBAGA KEPRESIDENAN MENURUT UUD 1945

Oleh : J.C.T. Simorangkir

BERHUBUNG makin dekatnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh\ Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1982 pada Maret 1983 yad., kiranya ada baiknya kita tuliskan beberapa hal sekitar dan tentang lembaga kepresidenan itu.

Oleh MPR melalui Ketetapannya No. III/MPR/1978, Pasal 1 (2), Lembaga Presiden itu disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara, di samping DPA, DPR, BPK dan Mahkamah Agung. Dalam Tap, yang sama MPR menyebut dirinya sendiri sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

Sudah barang tentu penyebutan lembaga2 negara tsb, demikian pula pembedaannya (yang satu Tinggi, yang lainnya Tertinggi) adalah dengan mengingat serta berdasarkan UUD 1945.

Hubungan Presiden sebagai Lembaga Tinggi Negara dibanding dengan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara bersumber pada rumusan2 konstitusional seperti : Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden; Presiden tidak "neben" akan tetapi "unter-geordriet" kepada Majelis.

Pemilihan Presiden

Berbeda dengan misalnya Amerika Serikat, di mana Presiden dipilih langsung oleh para warga-negaranya yang berhak memilih, maka UUD 1945 kita menetapkan bahwa Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh MPR, jadi bukan langsung oleh para pemilih (Pasal 6 (2) UUD 1945).

Para pemilih warganegara Indonesia dalam suatu pemilihan umum memilih secara langsung (umum, bebas dan rahasia) para anggota DPR, yang kesemuanya otomatis menjadi anggota MPR.

Kemudian, bersama anggota MPR lainnya, yakni utusan2 dari daerah2 dan golongan2, merekalah bersama2 selaku MPR memilih Presiden.

Pemilihan Presiden oleh MPR itu menurut Pasal 6 (2) UUD 1945 dilakukan dengan suara terbanyak dan kalau MPR berhasil memilih Presiden dengan aklamasi atau suara mutlak, maka hal itu tidaklah bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 tsb. apalagi dengan mengingat Pembukaan UUD yang menganut paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Dalam pemilihan Presiden oleh MPR nanti, tentu tidak, boleh dilupakan ketentuan konstitusional lainnya, bahwa Presiden yang akan dipilih dan ditetapkan itu haruslah orang Indonesia asli. Kedengarannya memang agak diskriminatif, tetapi inilah ketentuan yang dirumuskan oleh para "founding fathers" kita melalui, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yang sudah barang tentu dengan alasan2 yang dapat dipertanggung­jawabkan.

Dalam suasana ”melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”, maka bagi MPR Hasil Pemilu 1982 yang akan mengadakan pemilihan Presiden pada bulan Maret 1983 nanti, agaknya belum ada pilihan lain daripada memilih dan menetapkan seorang Presiden yang adalah orang Indonesia asli.

Sumpah Presiden

Kalau beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 1 Oktober 1982, bangsa dan rakyat Indonesia menyaksikan dan mengikuti pengambilan sumpah janji para anggota DPR/MPR.

Hasil Pemilu 1982 yang merupakan suatu peristiwa nasional yang disiarkan melalui mass-media, surat kabar, RRI, TVRI secara nasional pula maka pengambilan sumpah Presiden terpilih pada waktunya nanti, pasti tidak akan kalah pentingnya.

Sumpah janji para anggota yang terhormat Badan Tinggi/Tertinggi Negara (DPR/ MPR) itu diatur dalam suatu undang2 sedang sumpah/janji Presiden adalah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945.

Tidak kurang daripada para penyusun UUD 1945 itu sendiri yang merumuskan perihal sumpah/janji Presiden.

Melalui Pasal 9 UUD 1945 ditetapkan, bahwa sebelum memangku jabatannya. Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh2 dihadapan MPR atau DPR.

Ia bersumpah/berjanji dengan sungguh2 bahwa ia akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden dengan sebaik baiknya dan seadil-adilnya, bahwa ia akan memegang teguh UUD, bahwa ia akan menjalankan segala undang2 dengan peraturannya dengan selurus-lurusnya dan bahwa ia akan berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

Kalau ada pertanyaan apa sebab dalam UUD 1945 diatur secara khusus akan sumpah janji Presiden (dan Wakil Presiden).

Sedang sumpah/janji anggota dan Ketua MPR tidak, maka menurut pendapat kita hal itu disebabkan al. karena kedudukan yang sangat sentral daripada Presiden Republik Indonesia itu dalam sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945.

Tugas/Wewenang/Kewa jiban/Tanggung Jawab Presiden

Setelah dipilih, diambil sumpah/janji (dilantik), maka resmilah ia akan memangku jabatan Presiden. Cukup banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan jabatan Presiden.

Berbeda dengan berbagai negara yang menganut dan mempraktikkan pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif ("separation of power") maka UUD 1945 tidaklah menganut teori trias politika itu."

Pasal 4 UUD 1945 menentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (kekuasaan eksekutif), sedang dalam pasal berikutnya.

Pasal 5 UUD 1945 terdapat ketentuan yang mengatakan, bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang2 (kekuasaan legislatif) dengan persetujuan DPR.

Selanjutnya "keikut sertaannya" Presiden di bidang yudikatif sampai derajat tertentu dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 24 dan 25 UUD 1945, yang menentukan, bahwa susunan dan kekuasaan badan2 kehakiman serta syarat2 untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakini diatur dan ditetapkan dengan undang­undang.

"Diatur dan ditetapkan dengan undang-undang" berarti dalam sistem UUD 1945 "oleh Pemerintah bersama DPR".

Dalam Penjelasan Umum UUD 1945 dengan jelas dinyatakan, bahwa Presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.

Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden (concentration ofpower and responsibility upon the President).

Jadi kecuali tidak menganut teori trias politika, maka UUD 1945 juga tidak mengenal "the King can do no wrong". DPR Indonesia dapat senantiasa mengawasi tindakan2 Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa minta pertanggung-jawaban Presiden.

Sejarah kepresidenan Republik Indonesia, khususnya yang mengenai pertanggung jawaban Presiden, sudah pemah membuktikan perwujudan daripada ketentuan ini.

Presiden pertama RI (mendiang Dr.Ir. Soekarno), berdasarkan fungsi pengawasan DPR (GR) sudah pernah diminta pertanggung-jawabannya oleh MPR(S), dengan segala akibatnya itu.

Masa Jabatan Presiden

Presiden (dan Wakil Presiden) memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Demikian dinyatakan dalam Pasal 7 UUD 1945.

Pada dasarnya Jabatan Presiden itu adalah lima tahun. Ada kemungkinan jabatan itu bisa lebih dari lima tahun, tetapi ada juga kemungkinan kenyataan jabatan itu kurang dari lima tahun.

Kemungkinan pertama bisa terjadi, apabila sesuatu masa jabatan telah berakhir lalu, ia terpilih kembali berdasarkan kemungkinan yang diberikan secara konstitusional oleh kalimat terakhir dari pasal 7 UUD 1945, yang mengatakan "dan sesudahnya ia dapat terpilih kembali".

Kemungkinan kedua, yakni masa jabatan yang kurang dari lima tahun dapat terjadi misalnya apbila Presiden meninggal dunia, atau apabila ia menarik diri sebelum berakhir masa jabatan lima tahun itu, atau apabila ia sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR menurut hasil pengawasan DPR, dan hal itu dibenarkan oleh MPR dalam suatu sidang istimewa MPR.

Kemungkinan "dipilih kembali sesudah berakhir suatu masa jabatan" yang termuat dalam Pasal 7 UUD 1945, tidak disertai ketentuan berapa kali ia dapat dipilih kembali.

Di berbagai negara luar Indonesia kita jumpai adanya pembatasan, misalnya seseorang tidak boleh dipilih untuk jadi Presiden atau Kepala Negara lebih dari duakali berturut2. Pembatasan semacam itu tidak ada dalam UUD 1945.

Jadi seorang Presiden Republik Indonesia tiap kali berakhir masa jabatannya, ia tiap kali pula dapat dipilih kembali tanpa pembatasan.

Dengan jalan terus menerus dipilih kembali jadi Presiden sesudah berakhir sesuatu masa jabatan, maka akhirnya ia akan menjadi Presiden terpilih untuk seumur hidup !

Apakah demikian maksud penyusun UUD 1945? Yang jelas adalah, bahwa sejarah kepresidenan di Negara Republik Indonesia, sebagai terbukti dengan Tap. MPRS no. XVIII/MPRS/1966, yang menarik kembali Tap. MPRS no. III/MPRS/ 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi menjadi Presiden RI Seumur Hidup. Tidaklah membenarkan pengangkatan seumur hidup itu.

Dalam konsiderans TAP.no. XVIII/MPRS/1966 tsb dengan tandas dinyatakan, bahwa UUD 1945 tidak mengenal Lembaga Presiden Seumur Hidup.

Kita ketahui pula dari sejarah yang sama, bahwa penarikan kembali Pengangkatan Presiden seumur hidup itu disampaikan kepada Presiden/Mandataris MPRS dengan permintaan maaf.

Maka berhubung dengan hal2 tsb. bagian akhir dari UUD 1945 Pasal 7 yang berbunyi: ”… dan sesudahnya dapat dipilih kembali” perlu mendapat perhatian kita semua."

Wanita Indonesia Bisa Jadi Presiden/Wakil Presiden

Pasal 6 UUD 1945, yang sudah disinggung di atas, mengatakan, bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli. Pasal ini sama sekali tidak mensyaratkan, bahwa orang Indonesia asli itu haruslah seorang pria. Jadi pasal 6 ini dapat kita baca: Presiden ialah orang Indonesia asli, pria atau wanita.

Jadi menurut Pasal 6 ini, wanita Indonesia bisa jadi Presiden atau wakil Presiden), asal tentu disetujui dan dipilih oleh MPR. Kecuali Pasal 6, baik juga kita perhatikan Pasal 27 UUD 1945 ayat (1)kalimat bagian pertamanya, yang menentukan. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Istilah Segala ‘Warga negara adalah mencakup baik pria maupun wanita. Jadi Pasal 27 (1) kalimat bagian pertama ini dapatlah dibaca : Segala warganegara, baik warga negara pria maupun warga negara wanita, bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Maka adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945, jika dikatakan, bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang ber UUD 1945, seorang wanita Indonesia asli dapat dipilih menjadi Presiden/Wakil Presiden. (RA)

Jakarta, Sinar Harapan

Sumber : SINAR HARAPAN (25/10/1982)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 911-915.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.