Bapak H.M. Soeharto Yang Saya Cintai[1]
Bismar Siregar[2]
“Cintailah saudaramu seperti mencintai dirimu sendiri,” demikian nasehat bijak yang saya ingat ketika memilih judul untuk tulisan ini. Saya bukan orang yang berada di sekitar Pak harto, yang menyanjung dan memuja-mujanya selagi Pak Harto berada di masa jaya kekuasaannya.
Setelah Pak Harto dimakzulkan dan kawan-kawan akrabnya yang benalu-benalu berupaya menjauhkan diri, saya bertemu Prof. Malik Fajar dalam suatu resepsi. Dalam pembicaraan yang akrab, tokoh Muhammadiyah itu mengatakan bahwa keislaman seseorang dapat dilihat melalui adakah dia tetap berkawan pada saat seseorang ditinggalkan, bahkan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Ucapan Yang Spontan
Pada suatu hari Kamis di tahun 200, Pak Harto dijadwalkan hadir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Beliau tidak dapat hadir berdasarkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa Pak Harto tidak layak diadili karena sakit. Lalu banyak yang memprotes dan berdemonstrasi dengan segala kebencian.
Saya mencermati situasi. Rupanya banyak pendapat yang menuduh bahwa penjelasan dokter itu di rekayasa dan saya merasakan adanya ketidaksenangan di balik semua itu. Saya sendiri menganggap perbuatan seperti itu bertentangan dengan Pancasila, falsafah bangsa kita. Tetapi patut diakui dalam situasi demikian memanas, ada keinginan sementara pihak untuk membalaskan dendam. Ada yang senang jika Pak Harto mendapat perlakuan-perlakuan yang buruk, naudzubillahi min dzalik.
Esok harinya salah satu stasiun televisi nasional meminta tanggapan saya atas gagalnya persidangan kemarin. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana, namun begitu saja keluar ucapan spontan dari mulut saya, “Mengadili Soeharto dalam keadaan sakit, haram hukumnya.”
Jangankan orang lain, saya sendiri terkejut setelah mengucapkan kalimat yang melawan arus itu. Saya sendiri pun tak sadar bagaimana bisa mempunyai keberanian untuk mengungkapkan yang demikian, di saat masyarakat diliputi emosi meluap-luap menuntut peradilan rakyat atas diri Pak Harto. Pada saat itu pula Sya’adilah Mursyid menghubungi saya seraya bertanya, “Apakah Pak Bismar bersedia datang ke Cendana, sekedar berbincang-bincang dengan Pak Harto?”.
Saya teringat sabda Rasulullah Muhammad SAW, “Datangilah orang yang ditimpa musibah dan berilah ia nasehat. Bila engkau mampu berbuat demikian, kuburmu kelak akan diterangi malaikat !” Maka tanpa ragu dan bimbang, berpedoman pada iman dan takwa saya melangkahkan kaki ke Cendana, suatu tempat yang sama sekali belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Dalam keadaan demikian sangat dibutuhkan keikhlasan yang dilandasi prasangka baik.
Dzikir Termulia
Pertemuan saya dengan Pak Harto berlangsung sambil minum teh serta menyantap makanan ringan. Tiba-tiba Pak Harto menanyakan hal yang sungguh tidak saya duga, “Saudara Bismar, Dzikir apakah yang paling dimuliakan Allah untuk dipanjatkan seorang hamba-Nya?”
“Biasanya ulama akan mengatakan bahwa itu adalah dua kalimah syahadah, tetapi ada yang lebih mulia, yakni Alhamdulillah,” jawaban saya meluncur begitu saja. “Apa sebabnya?” tanya Pak Harto.
“Dua kalimah syahadah itu pertanda dari kemusliman diri kita, tetapi belum tentu memberi nilai atas apa yang terjadi. Sebaliknya jika mengucapkan Alhamdulillah tidak hanya pada saat kita mendapat kurnia rahmat, tetapi juga ketika ditimpa musibah sekalipun, maka maknanya adalah bahwa kita tidak menyesali musibah itu, tetapi lebih cenderung mensyukurinya. Ada hikmat yang terkandung di dalamnya,” kata saya.
Kemudian saya merujuk kepada firman Allah Swt, “Tidak akan terjadi apapun terhadap hamba-Ku dalam silih bergantinya malam dan siang, kecuali seizin-Ku.” Kemudian saya menguraikan, “Alhamdulillah diucapkan setelah ‘Innalillahi wa innailaihi raaji’uun, istigfar, serta tahmid,” saya menguraikan.
Ikhlas Memaafkan
Setiap saya datang ke rumah Pak Harto, atau saat menjenguknya di rumah sakit, selalu terpancar wajah yang ceria disertai senyum dan berucap Alhamdulillah. Saya merasa Pak Harto benar-benar menghayati dan mengamalkan akhlak islami.
Pada minggu ketiga januari 2008, saat menjenguk Pak Harto di RS Pusat Pertamina, sudah ada terlihat gejala beliau mendekati akhir hayatnya. Para dokter sudah memberi tahun dan beliau dibimbing untuk terus mengingat Allah. Saya menyaksikan betapa beratnya Pak harto meninggalkan alam fana in i dan bertanya kepada dokter, “Apakah ganjalan meninggalkan alam fana ini karena peralatan medis dalam tubuh beliau?. Bilakah menurut perhitungan dokter, tanpa peralatan pendukung pernafasan, beliau dapat dengan mudah meninggalkan alam fana? Apakah tiak bijaksana jika melepaskan peralatan tersebut?”
Dokter langsung menjawab, “Akan segera dibicarakan dalam majelis dokter”.
Alhamdulillah, lagi-lagi si Bismar yang digelari “tokoh spiritual Pak Harto”, ini mampu memberi nasehat demikian. Bukankah dalam surat ke-103: Al Asyr, Allah Swt mewajibkan kita saling mengingatkan tentang kebenaran?. Dengan dicabutnya alat tersebut, tibalah waktu bagi Pak Harto menuju Khaliknya. Innalillahi wa innailaihi raajiiuun. Insya Allah dengan penuh ketenangan Pak Harto menghadap-Nya.
Di rumah duka, saya duduk di samping kepala Pak Harto, menatap wajahnya yang ikhlas Lillahi Ta’ala. Saya bacakan untuknya Bismillah, serta dzikir yang paling mulia: Alhamdulillah.
Sangat sendu perasaan saya ketika teringat perbincangan kami pada suatu waktu ketika Pak Harto berkata, “Saudara Bismar, saya tidak pernah menyimpan kebencian terhadap mereka yang mencaci-maki, memfitnah, dan menghujat saya, karena itu tidak membantu ketenangan jiwa saya menghadap Tuhan. Ikhlas saya memaafkan mereka. Biarlah segala sesuatu menajdi urusan Tuhan!”.
Ketika itu saya memperkuatnya dengan pesan Ilahi, “Apabila engkau memaafkan kesalahan orang kepadamu, walau ia belum meminta maaf kepadamu, maka Aku memaafkan seluruh dosamu. Sebaliknya, sekali engkau berucap ‘tiada maaf bagimu, ‘ Aku pub berbalik kata juga ‘bagimu tiada maaf dari Aku.'”
Masih akan kikirkah kita memberi maaf atas kesalahan seseorang?
***
[1] Penuturan Bismar Siregar sebagaimana dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 596-599.
[2] H. Bismar Siregar, SH, dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara pada 15 September 1928. Ia adalah Sarjana Hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sepanjang perjalanan kariernya dicurahkan untuk menegakkan hukum di Indonesia dengan menjadi hakim di berbagai Pengadilan Negeri. Puncak kariernya adalah menjadi Hakim Agung. Purna tugas dari Hakim Agung, masih aktif mengajar di berbagai Perguruan Tinggi, termasuk Universitas Muhammadiyah. Juga aktif dalam Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Red= dikalangan aktivis hukum, Bismar dikenal merupakan sosok Hakim yang berani, bersih, tegas dan tidak mengenal kompromi.